Taufiq Hidayat
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEDUDUKAN IWAD TERHADAP KEABSAHAN KHULUK (Studi Komparatif Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i) Taufiq Hidayat; Rahmatulloh Panji Maulana
Usratuna: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 5 No 2 (2022): Jurnal Hukum Keluarga Islam
Publisher : STAI Darussalam Nganjuk

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29062/usratuna.v5i2.483

Abstract

Iwad is a ransom property or compensation given to a husband to divorce his wife. Imam Shafi'i argues that iwad is one of the pillars that cannot be abandoned and affects the validity of khuluk. On the other hand, Imam Malik considers that khuluk performed without iwad is still valid. This type of research is library research through a qualitative approach. Analyzed using the descriptive-analytical method and comparative analysis method. As for the results of this research: according to Imam Malik, khuluk may occur without iwad because khuluk is a form of breaking up a marriage like a divorce. Meanwhile, Imam Shafi'i views iwad as an urgent and core part of khuluk, because without Iwad, khuluk will not occur. The urgency of iwad refers to the opinion of Imam Shafi'i who emphasizes in the khuluk lafadz it must be clearly stated the number and type of goods used as ransom property. The method of determining the law used by Imam Malik is more focused on the pattern of determining the law based on the text of al-Bayan bil Qaul, namely an explanation through the hadith of the Prophet or the word of Allah SWT. Meanwhile, Imam Shafi'i, apart from referring to the Qur'an and hadith, Imam Shafi'i also uses qiyas. In this case, it is analogous to the ransom property with buying and selling assets.
Tinjauan Saad al-Dzari’ah Terhadap Aturan Batas Usia Minimal Perkawinan di Indonesia Taufiq Hidayat
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 5, No 1 (2022): EL-USRAH: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v5i1.12271

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 merevisi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menetapkan usia minimal menikah laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun, diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dengan menyamakan usia perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun agar tercapai tujuan perkawinan tanpa berakhir dengan perceraian. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip Saad al-Dzari’ah yang mengedepankan tindakan preventif. Penelitian ini berusaha untuk menelaah bagaimana ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia dan bagaimana tinjauan Saad al-Dzariah terhadap batas usia perkawinan tersebut. Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, batas usia laki-laki dan perempuan 19 tahun dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan. Kedua, kekuatan Saad al-Dzari’ah dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan KHI masih begitu lemah karena tidak adanya aturan yang tegas dan mengikat sehingga masih terbuka lebar potensi perkawinan di usia dini.
Analisis Yuridis Normatif terhadap Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. tentang Perkawinan Beda Agama Rahmatulloh Panji Maulana; Taufiq Hidayat
MAHAKIM Journal of Islamic Family Law Vol 6 No 2 (2022): July 2022
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.207 KB) | DOI: 10.30762/mahakim.v6i2.154

Abstract

Abstract Indonesia is a unitary state consisting of thousands of large and small islands, and consists of various tribes, cultures and religions, and has the motto Bhinneka Tunggal Ika. The motto describes the diversity in Indonesia but all of them are one unit, such a diverse society will mingle and interact together in the life of society, nation and state. Interaction between tribes, races and religions is the initial door for people to know each other so that from this interaction some go to the marriage stage, some even get married even though they are constrained by different religions. This is gradually feared to cause a problem, if it refers to the norms that exist in religion regarding certain boundaries regarding marriage. Recently, there has been a decision by the Surabaya District Court Number 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. which grants requests for interfaith marriages. This determination certainly attracts attention when considering the rules contained in the UUP that marriage is valid if it is carried out according to the laws of each religious belief. The purpose of this study is to examine how the judge's considerations in determining the marriage application case study decision Number 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. and how the applicable regulations and norms regarding marriage. This type of research is (library research), namely by tracing sources of data or literature obtained from applicable regulations, books and others that have relevant. This research is descriptive analytical using a normative juridical approach. The results of this study indicate that the judges allow interfaith marriages by considering that each applicant remains in his position to carry out marriages by sticking to their respective beliefs and referring to Article 35 letter (a) of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration. It is hoped that this paper can provide views to the public regarding the problems of implementing interfaith marriages in Indonesia. Keywords: Determination, interfaith marriage, marriage law. Abstrak Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari atas ribuan pulau besar dan kecil, serta terdiri dari berbagai suku, budaya serta agama, dan memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan tersebut menggambarkan keberagaman di Indonesia tetapi semuanya itu merupakan satu kesatuan, masyarakat yang begitu beragam tersebut akan membaur serta berinteraksi bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Interaksi antar suku, ras dan agama adalah pintu awal masyarakat saling mengetahui sehingga dari interaksi tersebut ada yang berjalan ke tahap perkawinan, bahkan terdapat pula yang melakukan pernikahan walaupun terkendala beda agama. Hal tersebut lambat laun dikhawatirkan menimbulkan sebuah permasalahan, jika merujuk pada norma-norma yang ada dalam agama tentang batasan-batasan tertentu mengenai perkawinan. Dewasa ini muncul sebuah penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. yang mengabulkan permohonan untuk melangsungkan pernikahan beda agama. Penetepan tersebut tentu menarik perhatian jika mengingat aturan yang terdapat dalam UUP bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama kepercayaan. Tujuan penelitian ini adalah menela’ah bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan perkawinan studi kasus putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. dan bagaimana peraturan yang berlaku serta norma-norma mengenai perkawinan. Jenis penelitian ini merupakan (library research), yaitu dengan menelusuri sumber-sumber data atau literatur yang diperoleh dari aturan yang berlaku, buku-buku dan lainnya yang memiliki hubungan relevan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hakim mengizinkan perkawinan beda agama dengan menimbang para pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk melangsungkan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-masing serta merujuk pasal 35 huruf (a) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan pandangan kepada khalayak mengenai problematika pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia. Keywords: Penetapan, perkawinan beda agama, Undang-Undang perkawinan