HANANTO WIDODO
Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya Jl. Ke Ɵ ntang Surabaya 60231

Published : 31 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 31 Documents
Search

Relasi Kekuasaan Antar Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Widodo, Hananto; Prasetio, Dicky Eko; Disantara, Fradhana Putra
Pandecta Research Law Journal Vol 15, No 1 (2020): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v15i1.24554

Abstract

Relasi kekuasaan antar Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama ini dapat dikatakan selalu mengalami pasang surut. Persoalan ini disebabkan pengaturan kewenangan Wakil Presiden dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi yuridis dari kekaburan kewenangan Wakil Presiden serta memberikan rekomendasi ke depan bagaimana seyogyanya kewenangan Presiden dan Wakil Presiden dapat diatur dan dilaksanakan secara proporsional. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan bahan hukum primer berupa UUD NRI 1945 dan bahan hukum sekunder berupa buku dan artikel jurnal berkaitan dengan kewenangan Wakil Presiden. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengoptimalan kewenangan Wakil Presiden dapat dilakukan dengan mengaturnya di dalam Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang diharapkan dapat membagi secara proporsional kewenangan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, diharapkan supaya pengaturan Kewenangan Wakil Presiden diatur secara pasti dalam aturan hukum supaya tidak tergantung pada praktik ketatanegaraan serta faktor non hukum, yaitu faktor politik.  Mengingat pentingnya fungsi Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia maka alangkah baiknya, Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang mengatur mengenai pembagian wewenang antar Presiden dan Wakil Presiden segera dibentuk. The power relations between the President and Vice President in the Indonesian constitutional system so far can be agreed to always overcome the ups and downs. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is unclear. This study aims to analyze the juridical implications of the obscurity of the Vice President’s authority and give approval to the front regarding the authority of the President and Vice President to be able to regulate and implement proportionality. This research is a normative legal research with primary legal material in the form of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and secondary legal material containing books and journal articles about the authority of the president’s representative. From this research it can be concluded that optimizing the authority of the Vice President can be done with a license in the Law on Presidential Institutions which is expected to allocate proportional authority to the powers of the President and Vice President. Therefore, it is hoped that the Vice President’s licensing can be regulated in regulating legislation not dependent on state administration and non-legal factors, namely political factors. Considering the importance of the function of the Vice President in the constitutional system of the Republic of Indonesia, it would be nice, the Law on Presidential Institutions governing the distribution of powers between the President and the Vice President was immediately formed.
PROBLEMATIKA HUKUM DEMONSTRASI DI TEMPAT TERBUKA DI ATAS PUKUL 18.00 (STUDI KASUS AKSI SOLIDARITAS SERIBU LILIN) NOVITA PUTRI, MAYA; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 4 No 4 (2017)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v4i4.23747

Abstract

Aksi solidaritas 1000 Lilin yang dilaksanakan di berbagai kota, termasuk Surabaya dinilai melanggar ketentuan pembatasan waktu yang tercantum dalam Pasal 7 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2012, di mana aksi tersebut dilaksanakan d iatas pukul 18.00 di tempat terbuka, sementara itu dalam Perkapolri tersebut diatur mengenai pembatasan waktu hanya pada pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00 di tempat terbuka, meskipun telah melanggar pembatasan waktu yang telah ditetapkan, aksi solidaritas 1000 lilin di Surabaya dan beberapa kota lainnya masih tetap dilaksanakan. Pengaturan mengenai demonstrasi yaitu UU Nomor 9 Tahun 1998 Juncto Perkapolri Nomor 7 Tahun 2012 menggunakan konsep pemberitahuan di mana konsep tersebut bukan merupakan suatu pembolehan terhadap larangan. Penelitian ini khusus mengkaji kewenangan kepolisian untuk membolehkan aksi demonstrasi tetap dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta akibat hukumnya apabila demonstrasi tersebut dilaksanakan sekalipun melanggar ketentuan batasan atas waktu didalam Perkapolri Nomor 7 Tahun 2012. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai kewenangan kepolisian dalam melakukan pembiaran terhadap pelaksanaan demonstrasi di tempat terbuka di atas pukul 18.00 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta akibat hukum apabila demonstrasi yang melebihi batas waktu yang telah ditentukan tetap dilaksanakan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Jenis bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan non hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum adalah studi kepustakaan. Teknik analisis menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan kepolisian dalam melakukan pembiaran terhadap aksi solidaritas 1000 lilin tidak memiliki kepastian hukum, di mana seharusnya tindakan hukum kepolisian yang berdasarkan kewenangan bebasnya dituangkan dalam izin sebagai bentuk kepastian hukum atas pelaksanaan demonstrasi tersebut. Akibat hukum atas pelaksanaan demonstrasi yang melebihi ketentuan perundang-undangan dan tidak ada izin sebagai bentuk kepastian hukumnya adalah melanggar asas kepastian hukum dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik dan Pasal 510 KUHP, namun dalam pelaksanaannya tidak dikenakan upaya paksa karena kepolisian mempertimbangkan lima prinsip atas penggunaan tindakan kepolisian dalam Pasal 3 Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009, di mana aksi demonstrasi tersebut hanya merupakan tindakan pasif yang berjalan dengan damai.kata kunci : demonstrasi, pembatasan waktu, kewenangan bebas, izin.Abstract ‘The 1000 Candles’ act of solidarity held in various cities, including Surabaya city is considered as violating the time limitation provision contained in Article 7 of Regulation of National Police Chief Number 7 Year 2012, in which the action was held above 6 PM in open area. Meanwhile, according to Regulation of National Police Chief, the time limitation given is only from 6 AM to 6 PM in open area. Therefore, there are still some cities which violating the rules, one of the cities is Surabaya. The regulation of demonstration which is Law Number 9 Year 1998 Juncto. Regulation of National Police Chief Number 7 year 2012 uses notification concept where the concept is not permission for prohibition. This study specifically examines police authority in allowing demonstration to be carried out in accordance with the existed laws and regulations, as well as the legal consequence if the demonstration is violating the time limits provisions in Regulation of National Police Chief Number 7 Year 2012.The purpose of this study is to analyze the authority in conducting demonstration in open area above 6 PM is the authority in accordance with the existed laws and regulations, and legal consequence if the demonstration is held beyond the time limitation provision. The research design used is normative juridical research with statutory approach and concept approach. The types of legal material used consist of primary law, secondary law, and non-law. The technique used to collect the legal materials is literature study technique. Meanwhile, the analysis technique used prescriptive method.The results of the study show the police authority in permitting ‘1000 candles’ act of solidarity does not have legal certainty, whereas the police law of act should be based on authority is set forth in the license as a form of legal certainty over the implementation of the demonstration. The legal consequences for the implementation of demonstrations that exceed the time provisions and had no license as a form of legal certainty are violating the principle of legal certainty in the General Principle of Good Government and Article 510 Criminal Code, but in its implementation, there is no force because the police consider the five principles on the use of police action in Article 3 Regulation of National Police Chief No. 1 Year 2009, where the demonstration is only a passive act that goes peacefully.Keywords: demonstration, time limitation, free authority, permission.
ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS GUBERNUR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANTO, PUJI; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 4 No 4 (2017)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v4i4.24375

Abstract

Abstrak Kontroversi keputusan yang dikeluarkan oleh Pelaksana Tugas Gubernur (Plt. Gubernur) DKI Jakarta yaitu Sumarsono bermula ketika beliau menandatangani APBD. Sumarsono menandatangani APBD atas dasar Pasal 9 ayat (1) huruf d Permendagri No. 74/2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota. Menurutnya, pasal tersebut memberikan kewenangan untuk mengubah APBD. Pelaksana tugas mendapatkan kewenangan melalui mandat. Menurut Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.”. APBD merupakan tindakan strategis mengenai alokasi anggaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Plt. Gubernur menurut peraturan perundang-undangan dan implikasi dari keputusan dan/atau tindakan yang diambil. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum serta teknik analisis bahan hukum dengan cara melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menujukkan bahwa APBD yang ditandatangani oleh Sumarsono tetap sah karena Plt. Gubernur berwenang menandatangani APBD setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri. Perluasan kewenangan yang dicantumkan dalam Permendagri No. 74/2016 merupakan langkah diskresi Mendagri. Langkah diskresi Mendagri bertujuan agar roda pemerintahan berjalan dengan lancar, karena terjadi kekosongan jabatan pada saat APBD harus disahkan. Diskresi yang diambil oleh Mendagri berpotensi menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang. Implikasi dari penelitian ini adalah apabila APBD disahkan oleh Pejabat yang tidak berwenang, maka APBD tersebut tidak sah setelah resmi dibatalkan. Ada dua mekanisme pembatalan perda, yakni Judicial Review dan Executive Review. a) Judicial Review dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembatalan ini dilakukan dengan cara uji materiil, yang merupakan salah satu cakupan judicial review. Hak uji materiil merupakan hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. b) Executive Review dilakukan oleh menteri atau gubernur. Untuk perda kabupaten/kota yang bertentangan dengan perda provinsi, Gubernur berwenang membatalkan perda kabupaten/kota tersebut dengan keputusan Gubernur. Kata Kunci: pelaksana tugas gubernur, kewenangan, diskresi Abstract Decision controversy issued by the Action Governor of DKI Jakarta (Act. Governor) Sumarsono started when he signed the annual budgets. Sumarsono signed the annual budgets on the basis of Article 9 Paragraph (1) Sub-Paragraph d of Permendagri number 74/2016 about Leave Out of State Dependence For Governors and Deputy Governors, Regents and Deputy Regents, and Mayors and Deputy Mayors. According to him, the article gives the authority to change the annual budgets. Executing tasks get authority through mandate. Based on article 14 paragraph (7) of Law number 30/2014 about Administration of Governments states that "The Agency and / or Government Officials who have the Authority through the Mandate are not authorized to take any strategic Decisions and/or Measures that affect the change of legal status on the organizational, personnel, and budgetary aspects". Annual bidgets is a strategic action on budget allocation. The purpose of this research is to know the authority of Act. Governor according to legislation and to know the implications of the decisions and / or actions taken. This study uses legal research methods. Technique of analyzing legal substance by conducting a review on legal issue. The research approach uses legislation approach, conceptual approach and case approach. The results of this study indicate that the annual budgets signed by Sumarsono remains valid because Act. The Governor is authorized to sign the annaul budgets after obtaining written approval from the Minister of Home Affairs. The extension of the authority set out in Permendagri No. 74/2016 is a discretionary measure of the Minister of Home Affairs. The discretionary step of the Minister of Home Affairs aims to make the wheels of government run smoothly, because vacancy occurs when the annual budgets has to be ratified. The discretion taken by the Minister of Home Affairs has the potential to cause misuse of authority. The implication of this study is that if annual budgets is approved by an unauthorized official, then the annual budgets is not valid after it is officially canceled. There are two mechanisms for cancellation of local regulations, namely Judicial Review and Executive Review. a) Judicial Review conducted by the Supreme Court. This cancellation is done by material test, which is one of the scope of judicial review. The right to judicial review is the right of the Supreme Court to assess the content of statutory content under the law against higher laws and regulations. b) Executive Review conducted by the minister or governor. For the district/city regulation that is contrary to the provincial regulation, the Governor has the authority to cancel the district/city regulation with the Governors decision. Keywords: action governor, authority, discretion
PROBLEMATIKA HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015) KUSUMA DEWI, MEGA; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i1.24391

Abstract

Pemerintahan Daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait kewenangan pembatalan Peraturan Daerah berada ditangan menteri dalam negeri atau gubernur. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 membatalkan kewenangan menteri dalam negeri atau gubernur dalam membatalkan Peraturan Daerah dengan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang masalah problematika hukum dalam kewenangan pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan adapun pendekatan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Data yang digunakan dengan mengunakan data sekunder, dengan bahan hukum primer berupa perundang-undangan.Hasil penelitian dan pembahasan yaitu Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 membatalkan kewenangan menteri dalam negeri atau gubernur dalam membatalkan peraturan Daerah dengan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung melalui judicial review. Dalam hal ini menyebabkan ketidakefisienan dan membutuhkan waktu cukup lama dalam pembatalan peraturan daerah dengan melalui jalur Mahkamah Agung. Kata kunci: kewenangan Mahkamah Agung, kewenangan pemerintah, dan hak menguji peraturan daerah.
EFEKTIVITAS PENGAWASAN BAGI PENDATAAN PENDUDUK DI SURABAYA EKAYUNI SIMBOLON, ULI; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 4 No 3 (2017)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v4i3.24392

Abstract

Penduduk yang datang dari luar kota yang tinggal di tempat berbeda dengan KTP selama beberapa waktu dan tidak pindah menetap disebut sebagai penduduk non permanen. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pendataan Penduduk Non Permanen menyatakan bahwa pemerintah melaksanakan pendataan terhadap penduduk non permanen dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tingginya jumlah penduduk non permanen di Surabaya sering menjadi permasalahan dalam hal pengawasan. Sebelum dikeluarkan Permendagri No. 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Pendataan Penduduk Non Permanen, pengawasan yang dilakukan yaitu dengan adanya Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) yang harus dimiliki oleh tiap penduduk non permanen. Dikeluarkannya peraturan baru, maka penduduk non permanen tidak perlu memiliki SKTS tetapi hanya dilakukan pendataan dan dirasa kurang dalam hal pengawasannya. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami bentuk pengawasan bagi pendataan penduduk non permanen berjalan secara efektif atau tidak, untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pendataan terhadap penduduk non permanen di Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis. Hasil penelitian dan pembahasan yaitu dengan hanya pendataan yang dilakukan terhadap penduduk non permanen tidak berjalan secara efektif karena tidak adanya alat pengawasan yang dimiliki oleh penduduk non permanen, sehingga sangat sulit untuk diawasi oleh pemerintah. Pendataan dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sedangkan jumlah penduduk non permanen yang banyak tidak mungkin untuk semua bisa didata oleh petugas, akibatnya pemerintah tidak dapat melakukan pemeriksaan bukti bahwa penduduk tersebut sudah terdata. Hambatan dalam pendataan yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal yaitu tidak seimbangnya jumlah petugas pendata dengan luas wilayah di Surabaya, hambatan eksternal yaitu kurangnya pemahaman masyarakat mengenai peraturan pendataan penduduk non permanen. Kata Kunci : pengawasan, pendataan, penduduk non permanen
Analisis Yuridis Peraturan Larangan Penggunaan Merkuri Terhadap Pengelolaan Bahan Berbahaya dan beracun PUTRA RISNANTYA, ANGGRIAWAN; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i1.24687

Abstract

Hananto Widodo,.S.H.,M.H. Abstrak Permasalahan ini bertajuk pada diratifikasinya Konvensi Minamata oleh Pemerintah Indonesia mengenai pelarangan penggunaan merkuri kedalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017. Dalam salah satu materi muatannya berisi mengenai pelarangan penggunaan merkuri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya Undang-Undang Konvensi Minamata tersebut memberikan dampak yang cukup besar bagi penggunaan merkuri di Indonesia karena, penggunaan merkuri di indonesia yang masih diperbolehkan walau tidak jelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH. Namun, UU No. 32 Tahun 2009 telah memasukkan merkuri kedalam Bahan Berbahaya dan Beracun yang penggunaannya dapat digunakan walau terbatas. Penelitian ini untuk menagalisis pengaturan mengenai penggunaan merkuri UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH dengan UU Anti Merkuri dan menganalisis akibat hukum pengaturan penggunaan merkuri pasca diterbitkannya UU Anti Merkuri. Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah sumber hukum primer dan sekunder. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini secara preskriptif. Hasil penelitian, bahwa pengaturan nasional sebelum diterbitkannya UU Anti Merkuri haruslah direvisi kembali mengingat terdapat asas lex specialis derogat legi generali, yakni pengaturan hukum yang lebih khusus dapat mengalahkan aturan yang lebih bersifat umum yakni UU PPLH dan peraturan dibawahnya mengenai merkuri sebagai bahan berbahaya dan beracun. Akibat hukum pasca diterbitkannya Undang-Undang Anti Merkuri ini ialah seluruh peraturan yang mengatur mengenai merkuri haruslah diuji materi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Anti Merkuri sehingga tidak ada peraturan yang tumpang tindih serta demi menciptakan kepastian hukum dalam sebuah aturan. Kata kunci: konvensi internasional, merkuri, bahan berbahaya beracun Abstract This issue refers to the ratification of the Minamata Convention by the Government of Indonesia concerning the prohibition of mercury use into Law No. 11 of 2017. In one of its content material concerning the prohibition of the use of mercury in everyday life. The existence of the Minamata Convention Law has had a considerable impact on the use of mercury in Indonesia due to the use of mercury in inesia which is still permitted although not explicitly stated in Law Number 32 Year 2009 on Management and environmental protection. However, Law no. 32 of 2009 has incorporated mercury into Hazardous and Toxic Substances whose use may be of limited use. Here there is a conflict of norms regarding the use of mercury as the focus of this study. This study to intends determine the use of mercury Law no. 32 Year 2009 on Management and environmental protection with Anti-Mercury Law. And know the legal consequences of regulating mercury use after the issuance of Anti-Mercury Law. This research is normative legal research. The approach used in this research is legislation and conceptual approach. There are two type of material used law is the law of primary and secondary resources. This research is using prescriptive technique. The results of this research, that the national arrangement before the issuance of Anti-Mercury Law must be revised again considering the lex specialis derogat legi generali principle, that special law arrangement can defeat the more general rule of law Management and environmental protection and its regulation concerning mercury as dangerous and poisonous material. As a result of the law following the issuance of the Anti-Mercury Law, all regulations governing mercury must be tested in accordance with the provisions of the Anti-Mercury Law so that there are no overlapping regulations and to create legal certainty in a rule. Keywords: international convention, mercury, hazardous and toxic material
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN UTAMA PERUMAHAN TAMAN PINANG INDAH KABUPATEN SIDOARJO FAKHRUSY, ABDURRAHMAN; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i1.25376

Abstract

Abstrak Pedagang kaki lima (PKL) adalah salah satu instrumen yang memiliki peran dalam menggerakan roda perekonomian Kabupaten Sidoarjo. Pemberdayaan dan penataan pedagang kaki lima di Kabupaten Sidoarjo merupakan suatu hal penting mengingat beberapa kegiatan perdagangan tersebut mengganggu ketertiban masyarakat. Perdagangan yang dilakukan PKL di kawasan Jalan Umum Perumahan Taman Pinang Kabupaten Sidoarjo mengganggu ketertiban umum karena menggunakan fasilitas umum perumahan sebagai sarana perdagangan. Pelaksanaan penegakan hukum terhadap PKL di Jalan Umum Perumahan Taman Pinang ini sudah sering dilakukan, namun permasalahan itu tidak kunjung selesai dan tidak menemukan solusi memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan PKL di Kabupaten Sidoarjo dan kendala apa yang dihadapi pemerintah dalam melaksanakan penegakan hukum tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Pengumpulan data menggunakan data primer berupa wawancara dengan Dinas dan PKL terkait. Data dianalisis menggunakan metode kualitatif. Kesimpulan penelitian ini bahwa penegakan hukum terhadap PKL yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2016 dilaksanakan dengan memberikan sanksi administrasi berupa pencabutan Tanda Daftar Usaha PKL dan pengenaan denda administratif. Penegakan Hukum terhadap PKL yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2016 terkendala oleh budaya masyarakat yang tidak sadar dengan hukum. Kata kunci: pedagang kaki lima, pelanggaran peraturan daerah, sanksi administratif.
Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Izin Usaha Depot Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Bojonegoro PUTRI ANDRIYANI, DESI; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i1.25769

Abstract

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum pada pasal 4, mewajibkan setiap depot air minum untuk memiliki izin usaha sesuai peraturan perundang-undangan berupa sertifikat laik higiene sanitasi. Pada faktanya pelaksanaan di lapangan tidak selalu seperti yang diharapkan pembuat peraturan perundang – undangan. Salah satunya pelaku usaha depot air minum di Kabupaten Bojonegoro terbukti masih belum memiliki sertifikat laik higiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap izin usaha depot air minum isi ulang serta menganalisis kendala yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan Bojonegoro dalam melaksanakan penegakan hukum administrasi terhadap izin usaha depot air minum isi ulang di Kabupaten Bojonegoro. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis sosiologis/empiris. Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap izin usaha depot air minum isi ulang di Kabupaten Bojonegoro masih kurang karena dari kelima faktor efektivitas yang terpenuhi hanya dua unsur saja yaitu faktor hukum dan faktor sarana. Adapun kendala yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro dalam melaksanakan proses penegakan hukum administrasi terhadap izin usaha depot air minum isi ulang yaitu masyarakat masih memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah tentang peraturan depot air minum isi ulang yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan, tenaga sanitarian puskesmas untuk pengujian sampel tidak seimbang dengan jumlah usaha depot air minum yang ada di Kabupaten Bojonegoro, paguyuban depot air minum masih banyak yang belum terbentuk di setiap kecamatan. Minister of Health Regulation Number 43 of 2014 concerning Sanitary Hygiene of Drinking Water Depots in Article 4, requires every drinking water depot to have a business license in accordance with the legislation in the form of a sanitary hygiene certificate. In fact the implementation in the field is not always as expected by the legislators. One of them is the drinking water depot businessman in Bojonegoro Regency which is proven to still not have a sanitation hygiene certificate issued by the local District / City Health Office. The purpose of this study was to analyze the effectiveness of administrative law enforcement against refill drinking water depot business licenses and analyze the constraints faced by the Bojonegoro Health Office in implementing administrative law enforcement of refill drinking water depot business permits in Bojonegoro District. This study uses a type of sociological / empirical juridical research. The analysis used is descriptive qualitative. Data collection is done through interviews and documentation. The results showed that the effectiveness of administrative law enforcement against refill drinking water depot business permits in Bojonegoro Regency was still lacking because of the five effectiveness factors fulfilled, only two elements were legal factors and facility factors. The constraints faced by the Bojonegoro District Health Office in implementing the administrative law enforcement process for refill drinking water depot business permits are that the community still has a low level of legal awareness about the refill drinking water depot regulations issued by the health ministry, puskesmas sanitarian staff for testing samples are not balanced with the number of drinking water depot businesses in Bojonegoro Regency, there are still a lot of community organizations for drinking water depots that have not been formed in each sub-district.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/PUU-XV/2017 TERKAIT PASAL 92 AYAT (4) DAN PASAL 107 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA LIZZAKIYA, FILISHTINA; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 4 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i4.25989

Abstract

AbstrakMahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang-undang sebagaimana pengujian perkara konstitusi dengan Nomor 98/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh pemohon Dwi Maryoso dan Feryando Agung Santoso sebagai Aparatur Sipil Negara untuk menguji Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 92 ayat (4) Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dikaitkan dengan perlindungan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Aparatur Sipil Negara mengakibatkan kekosongan hukum sejak tahun 2015 hingga tahun 2025, oleh karena itu harus dilakukan peralihan aturan dari Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Aparatur Sipil Negara kembali kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 98/PUU-XV/2017 dalam perkara a quo serta akibat hukum dalam putusan tersebut mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian bahwa pertimbangan hakim dalam putusan tersebut terdapat kelalaian dimana hakim menyamakan frasa antara “diatur dengan undang-undang” dan frasa “diatur dalam undang-undang”. Akibat hukum dari putusan tersebut PT. TASPEN tetap mengelola Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Aparatur Sipil Negara sampai tahun 2029. PT. Taspen adalah badan hukum privat yang mencari laba atau keuntungan bagi perusahaannya. oleh karena itu pemerintah seharusnya segera menyelesaikan pengalihan program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan kematian secepatnya dari PT. TASPEN kepada BPJS.Kata Kunci : jaminan sosial, ASN, hak konstitusional.
EFEKTIFITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP MENARA TELEKOMUNIKASI (BASE TRANSCEIVER STATION) YANG TIDAK MEMILIKI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN MENARA DI KABUPATEN GRESIK CANDRA KRESNA, DIMAS; WIDODO, HANANTO
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol 5 No 4 (2018)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.2674/novum.v5i4.26491

Abstract

Abstrak Jumlah pelanggaran Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi (BTS) mengalami peningkatan, tercatat sebanyak 280 BTS di Kabupaten Gresik tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara (IMB-M) secara lengkap. Pelaksanaan penegakan hukum administrasi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Gresik hanya mencapai 11 BTS. Hal ini menunjukan bahwa terdapat gangguan terhadap efektifitas penegakan hukum administrasi BTS yang melanggar IMB-M, hal tersebut menunjukan adanya kendala dalam pelaksanaan penegakan hukumnya. Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui efektifitas penegakan hukum administrasi terhadap menara telekomunikasi (Base Transceiver Station) yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan menara di Kabupaten Gresik, dan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penegakan hukum administrasi terhadap menara telekomunikasi (Base Transceiver Station) yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan menara di Kabupaten Gresik. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang mengkaji hukum dari gejala sosial yang timbul di masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum administrasi yang dilakukan oleh SKPD terhadap BTS yang melanggar IMB-M di Kabupaten Gresik tidak efektif, hal ini terlihat pada pemberian sanksi yang belum dilaksanakan terhadap 280 BTS yang melanggar IMB-M. Efektifitas penegakan hukum tersebut tidak efektif karena dipengaruhi empat faktor yang menghambat pelaksanaanya yaitu faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor budaya dan faktor masyarakat. Kata kunci: BTS, sanksi administrasi, izin mendirikan bangunan menara. Abstract The number of violations of Establish a Telecommunication Tower (BTS) has increased, as many as 280 base stations in Gresik Regency do not have complete building permit (IMB-M). The implementation of administrative law enforcement by the Regional Work Unit of Gresik Regency only reached 11 BTS. The difference in administrative law enforcement that has been implemented and has not been implemented against BTS that violates the license shows the existence of obstacles in the implementation of law enforcement. The purpose of this research is to find out the effectiveness of administrative law enforcement on base transceiver station that do not have tower building permits in Gresik Regency, to find out the factors that influence administrative law enforcement on base transceiver station that does not have tower building permits in Gresik Regency. This research is an empirical legal research that examines the laws of social symptoms that arise in the community. The approach used in this study is a qualitative approach using interview and documentation data collection methods. Based on the results of the research obtained, it can be concluded that administrative law enforcement carried out by SKPD on BTS that violates the IMB-M in Gresik Regency is less effective, this can be seen in the provision of sanctions that have not been implemented against 280 BTS that violate IMB-M. The effectiveness of law enforcement is lacking because it is influenced by four factors that hinder its implementation, namely Law Enforcement Factors, Means Factors, Cultural Factors and Community Factors. Keywords: BTS, administrative sanction, permit to build a tower.