Yudi Widodo
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Kotak pos 66 Malang 65101

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

CYANIDE REDUCTION IN CASSAVA ROOT PRODUCTS THROUGH PROCESSING AND SELECTION OF CULTIVARS IN RELATION TO FOOD SAFETY Ginting, Erliana; Widodo, yudi
Buletin Palawija No 25 (2013)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

About 47% of cassava production in Indonesia was used for human consumption, both as a staple food and snacks. In terms of food safety, the natural presence of cyanogenic glucosides in cassava roots is of concern as they may release free cyanide (HCN), which is highly toxic. At high levels, it may cause acute poisoning, leading to death as well as iodine deficiency and neurological disorders for long-term ingestion. The cyanogenic glucosides content in different cultivars of cassava varied from 1 up to >1,000 mg HCN/kg fresh weight, while 10 mg HCN/kg dry weight was considered to be the safe level for consumption. Various processing methods were reported to be effective in reducing the cyanide content in cassava products. A decrease of 25-50% was observed during overnight soaking, while it was much higher (81%) when subsequent drying and milling into flour was performed. During boiling, steaming, deep-frying, baking and fermentation, a reduction of 45-50%, 17%, 13%, 14% and 38-84% was noted, respectively. Crushing the fresh roots and subsequent sun-drying was the most effective method with >95% of HCN removal. It suggests that low cyanide content of cassava cultivars (mostly sweet/local varieties) are obviously required for direct consumption purposes. This is particularly important for traditional food processors to be selective in obtaining fresh cassava as raw material and choosing proper processing methods. While for gaplek, starch, flour, and mocaf purposes, where washing, soaking, shredding, fermentation, pressing, drying and milling were involved, the bitter cultivars (mostly improved varieties) with relatively high cyanide content can be used. Therefore, breeding selection for cassava cultivars with low cyanide content and high potential yield is essentially needed. Selected improved varieties and promising clones seem to meet this criteria. Regulation for food industries to provide information on cyanide level in cassava food labels would also protect the consumers and promote safe cassava foods.
Profil Dan Peluang Pengembangan Ubi Kayu Di Indonesia Saleh, Nasir; Widodo, Yudi
Buletin Palawija No 14 (2007)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanaman ubi kayu merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan maupun bahan baku industri. Secara umum keragaan produksi dan produktivitas ubi kayu selama 9 tahun terakhir (1999–2007) menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun dengan luas tanam yang berfluktuasi. Sejalan dengan program diversifikasi pangan yang menjadikan sumber karbohidrat alternatif selain beras, berkembangnya industri pakan ternak dan perkembangan industri kimia berbasis ubi kayu (termasuk industri bio-etanol), kebutuhan ubi kayu dipastikan akan meningkat tajam sehingga diperlukan peningkatan produksi baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanaman. Dengan tersedianya varietas unggul dan teknologi budidayanya, lahan untuk perluasan ubi kayu yang luas serta pangsa pasar yang masih terbuka maka peluang pengembangan ubi kayu sangat besar.
Profil dan Peluang Pengembangan Ubi Jalar untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Agroindustri Saleh, Nasir; Rahayuningsih, St. A.; Widodo, Yudi
Buletin Palawija No 15 (2008)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ubi jalar merupakan tanaman pangan yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan maupun bahan baku industri. Sejalan dengan program diversifikasi pangan yang menjadikan sumber karbohidrat alternatif selain beras, perkembangan industri kimia berbasis ubi jalar, dan berkembangnya industri pakan ternak, kebutuhan ubi jalar dipastikan akan meningkat tajam sehingga diperlukan peningkatan produksi baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal komoditas tanaman tersebut. Ketersediaan lahan yang masih luas, teknologi produksi dan pasar yang masih terbuka merupakan potensi untuk pengembangan ubi jalar di Indonesia. Potensi sekaligus peluang tersebut dapat direalisasikan melalui upaya pelatihan, bimbingan berkelanjutan dan fasilitasi permodalan, penyediaan sarana produksi bagi petani serta kemitraan yang adil dengan pengusaha/industri berbasis ubi jalar.
Teknologi Budidaya Praktis Ubi Jalar Mendukung Ketahanan Pangan Dan Usaha Agroindustri Widodo, Yudi; Rahayuningsih, St. A.
Buletin Palawija No 17 (2009)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Teknologi budidaya praktis ubi jalar mendukung ketahanan pangan dan usaha agroindustri. Ubi jalar telah sejak lama dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian ubi jalar masih merupakan tanaman pangan sekunder dan selama lima tahun terakhir luas areal tanam ubi jalar cenderung turun meskipun produktivitasnya sedikit meningkat. Penurunan luas areal ini seiring dengan alih fungsi lahan-lahan sawah menjadi lahan industri, pemukiman atau komoditas lain yang lebih prospektif. Untuk mengimbangi penurunan luas panen dapat ditempuh dengan meningkatkan produksi per satuan luas atau menggunakan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2008, rata-rata produktivitas ubi jalar mencapai 10,8 t/ha, masih jauh lebih rendah dibanding potensi hasil beberapa varietas unggul yang mencapai 35 t/ha. Masih rendahnya produktivitas ubi jalar di tingkat petani disebabkan oleh teknologi budidaya yang digunakan masih sederhana dan menggunakan varietas lokal yang pada umumnya potensi produksinya rendah serta rentan terhadap serangan hama. dan penyakit tanaman. Oleh karena itu teknologi budidaya ubi jalar baku untuk mencapai produktivitas tinggi yang meliputi pengolahan tanah, penyiapan bibit dan penanamannya, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan penanganan pascapanen yang mampu mempertahankan kualitas ubi jalar perlu diketengahkan.
Perbaikan Perbenihan Guna Mendukung Peningkatan Produksi Ubi Jalar Widodo, Yudi; Rahayuningsih, St. A.; Saleh, Nasir
Buletin Palawija No 18 (2009)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbaikan perbenihan guna mendukung peningkaan produksi ubi jalar. Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan dan bahan baku industri. Sejalan dengan program diversifikasi pangan yang menjadikan sumber karbohidrat sebagai alternatif selain beras, perkembangan industri kimia berbasis ubi jalar, dan berkembangnya industri pakan ternak, kebutuhan ubi jalar dipastikan akan meningkat tajam sehingga diperlukan peningkatan produksi baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanaman komoditas tersebut. Teknologi budidaya untuk peningkatan produktivitas maupun lahan untuk pengembangan ubi jalar telah tersedia. Namun masih diperlukan sistem perbenihan yang mampu menjamin tersedianya benih bermutu secara memadai dan berkesinambungan. Sistem perbenihan ubi jalar yang perbanyakannya menggunakan bagian vegetatif berupa stek batang atau stek pucuk dan secara genetis tidak berbeda dengan induknya perlu diatur tersendiri agak berbeda dengan tanaman yang diperbanyak melalui biji. Hubungan, keterkaitan dan koordinasi antara produsen benih/benih terutama penyedia benih sumber, penangkar benih, distributor/penyalur benih yang selama ini masih dirasa kurang harmonis masih perlu ditingkatkan. Untuk mencapai pertumbuhan industri benihan yang berkelanjutan, diperlukan peran sinergi sektor swasta, institusi riset pemerintah dan institusi yang menangani regulasi serta fasilitasi perbenihan.
Strategi Sinergistik Peningkatan Produksi Pangan Dalam Hutan Lestari Melalui Wanatani Widodo, Yudi
JURNAL PANGAN Vol 20, No 3 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1433.262 KB) | DOI: 10.33964/jp.v20i3.166

Abstract

Peningkatan produksi pangan merupakan agenda penting guna mencapai TujuanPembangunan Milenium matra pertama bahwa kelaparan dan kemiskinan harusditanggulangi hingga 50 persen pada tahun 2015. Upaya tersebut tidak mudah untukdicapai, karena terjadinya bencana ekologis berupa perubahan iklim global. Perluasanlahan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dipandang sebagai jawabanpilihan. Perluasan lahan pertanian baru berupa sawah maupun ladang hingga 2 jutahektar, akan mengurangi areal kawasan hutan. Pengalaman proyek sejuta hektar konversihutan di tanah gambut untuk lahan pertanian menjadi pelajaran yang perlu disimak,karena secara ekonomi tidak layak dan ekologi rusak. Makanya perluasan lahan pertanianseluas 2 juta hektar harus dipersiapkan cermat, agar keberlanjutan dapat dicapai.Kelestarian hutan harus dipertahankan sebagai wujud komitmen anggota masyarakatglobal dalam mengantisipasi perubahan iklim. Dua matra tersebut seyogyanya disinergikandalam wanatani, agar kepentingan jangka pendek pemenuhan sumber pangan berikutkebutuhan ekonomi tercukupi tanpa mengabaikan kelestarian hutan beserta hasratekologi. Komoditas sumber pangan tahan naungan seperti kelompok ubi-ubian (tuberosa)famili Araceae layak dikembangkan. Varietas tahan naungan padi dan serealia lainmaupun aneka kacang (leguminosa) perlu dirakit guna diintegrasikan ke dalam wanatani.Mengingat kerimbunan tajuk hutan menimbulkan naungan >80 persen, maka perlumenggali potensi hayati kelompok sumber pangan tidak hanya dari phylum Spermatophyta(tumbuhan berbiji) yang masa panen >4 bulan, tetapi juga dari Thalophyta (jamur),Bryophyta (lumut) maupun Pteridophyta (paku) yang dapat dipanen harian atau mingguan.kata kunci: wanatani, pangan dalam hutan lestariIncreasing food-crop production is urgent to meet Millennium Development Goals(MDGs) in which it is stated that the first objective is to decrease hunger and povertyup to 50 percent till the year 2015. This effort is not easily achieved due to ecologicaldisorder in a form of climate change. Addition of new agricultural land to increase foodcrop production is considered as an alternative answer. Consequently, opening forestsfor agricultural areas causes deforestation up to 2 million hectares. Past experience inconverting one million hectares of peat land for agriculture learnt a lesson, becauseeconomical and ecologically was not sustainable. Therefore, expanding agricultural landup to 2 million hectares has to be planned accurately, so sustainability could be attained.Forest sustainability is also a priority to combat against climate change. Those two objectives can be synchronized synergistically under agro-forestry, so food as well asshort economic seductions could be fulfilled without sacrificing forest sustainability aslong term ecological dreams. Shade tolerance root crops under family of Araceae aresuitable to be developed. Shade tolerance varieties of rice and other cereals as well aslegumes need to be generated and incorporated into agro-forestry. Due to shade intensityunder forest up to more than 80 percent, the food requirement is not merely based onSpermatophyta plant that mostly can be harvested at the period of around 4 months. Itis also a need to explore the potential of Thallophyta (mushroom, algae), Bryophyta(musci) as well as Pteridophyta (Azolla etc.) that can be harvested daily or weekly.
Taksonomi dan Sejarah Penyebaran Ubijalar Sebagai Pangan Harapan Potensial (Taxonomy and History of Sweet Potato Distribution as Food Potential) Widodo, Yudi
JURNAL PANGAN Vol 22, No 1 (2013): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2059.998 KB) | DOI: 10.33964/jp.v22i1.151

Abstract

Kelangkaan pangan global kian menunjukkan akibat fatal dengan krisis komplek yang diiringi kelabilan politik dan memicu kerusuhan. Kasus Yunani, negara yang sejak kuno telah maju di semua bidang, termasuk filsafat ribuan tahun lalu, kini terpuruk ekonomi dan politiknya, sehingga warga negara terancam kekurangan pangan. Sementara itu, perubahan iklim global juga menjadi ancaman dalam peningkatan produktivitas, sehingga target untuk meningkatkan produksi pangan guna mengurangi kelaparan dan mengentaskan kemiskinan sesuai tujuan pembangunan milenium menjadi kecemasan baru. Eksploitasi jenis pangan yang didominasi oleh biji-bijian dan butir-butiran terutama serealia (padi, gandum, jagung dan Iain-Iain) dan leguminosa (kedelai, kacang tanah dan Iain-Iain) telah mencapai titik kejenuhan, sehingga sangat sulit untuk ditingkatkan potensinya. Ubijalar merupakan kelompok tanaman ubi-ubian yang potensinya menjadi harapan baru untuk memenuhi permintaan terhadap pangan. Meskipun kini telah dianggap sebagai pangan lokal, sebenarnya asal usul, sejarah penyebaran tanaman ubijalar perlu lebih diketahui agar mendapat pemahaman yang utuh.The taksonomical and historical distribution of sweet potato was discussed. The root crop is a potential food crop when the scarcity occurs. Food scarcity or food insecurity is the most important global issue affecting multidimensional crisis, includingpoliticalinstability in various countries. Recent situation in Greece, as an old developed country from the ancient, showed that her economic and political situations dropped into the worse circumstances, including malnutrition of the population. Moreover, the global climatic change is also threatening to the food production. So the target of the Millennium Development Goals through the increasing food production, reducing hunger and alleviating poverty encountered a new serious problem. So far, the exploitation of food crops is dominated from cereals and legumes such as rice, wheat, maize, soybean, peanut, mungbean etc, where theirproductivities revealed under saturation level, there by the endeavors to increase production are very difficult. Sweet potato as a food under tuberous rootcrop group therefore provides an alternative as the new potential food source to meet the greater demand forstaple food. Although sweet potato is considered to be local food, its real origin and historical distribution perspective as well as from taksonomicalpoint of view need to be understood holistically. 
Peningkatan Produksi Ubi Kayu untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Pemenuhan Bahan Baku Industri serta Energi Terbarukan Widodo, Yudi
JURNAL PANGAN Vol 17, No 2 (2008): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (731.656 KB) | DOI: 10.33964/jp.v17i2.253

Abstract

Peningkatan produksi ubi kayu sebagai kontribusi dari naiknya produktivitas selama 40 tahun terakhir ternyata tidak mampu mengimbangi meningkatnya permintaan. Sebagai sumber karbohidrat yang produktif, ubi kayu semakin diperhitungkan manfaatnya untuk mencukupi keperluan pangan dan industri non pangan. Keunggulan hayati ubi kayu yang mampu dibudidayakan pada lahan kering beriklim kering, mengantarkan komoditas ini memiliki arti penting bagi petani di lahan kering guna memenuhi bahan pangan maupun pendapatan tunai.Peningkatan harga pangan dan energi global semakin mendorong penggunaan ubi kayu tidak hanya sebagai bahan pangan dan industri non pangan yang selama ini ada, tetapi juga sebagai bahan baku energi (etanol) yang terbarukan. Keadaan ini tentu saja akan semakin menuntut peningkatan produksi melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Kendala perluasan areal terutama pada aspek penyediaan lahan yang akan berkompetisi dengan komoditas lain, sehingga sistem tumpangsari maupun agroforestry menjadi alternatif pemecahan. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu dan berkelanjutan. Gerakan dalam penerapan inovasi teknologi yang menjamin produktivitas tinggi dan menguntungkan petani perlu segera dilaksanakan pada domain secara meluas. Kata kunci: peningkatan produksi ubi kayu: pangan, non pangan dan energi terbarukan
PENENTUAN AIR FUEL RATIO (AFR) AKTUAL PEMBAKARAN LPG PADA CELAH SEMPIT TIPE HORISONTALAris Widodo, Yudi; ., Lagiyono; Wibowo, Agus
ENGINEERING Vol 8, No 1 (2014): April
Publisher : Universitas Pancasakti Tegal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (567.205 KB)

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan perbandingan yang tepat pada bahan bakar LPG dengan udara yang stoikiometri, mengetahui bagaimana Air Fuel Ratio (AFR) Aktual dan, Equivalent Ratio yang terjadi pada campuran kaya bahan bakar LPG dengan udara. Penelitian dititik beratkan pada bagaimana kecepatan pembakaran dengan visual pembakaran pada Air Fuel Ratio (AFR) Aktual yang terjadi pada bahan bakar LPG dengan udara (Campuran kaya). Dalam pengujian ini menggunakan lima variasi perbandingan AFR yaitu pada perbandingan 12:1, 13:1, 14:1, 15:1 dan 16:1 dengan alat uji ruang bakar. Hasil penelitian dapat disimpulkan dengan jarak yang sama yaitu 0,42 m. Pada AFR 12:1 dengan waktu 0,0445 detik menghasilkan kecepatan 9,7804 m/s, AFR 13:1 dengan waktu 0,0389 detik menghasilkan kecepatan 14,6707 m/s, AFR 14:1 dengan waktu 0,0334 detik menghasilkan kecepatan 12,5749 m/s, AFR 15:1 dengan waktu 0,0501 detik menghasilkan kecepatan 10,0599 m/s, dan pada AFR 16:1 dengan waktu 0,0334 detik menghasilkan kecepatan 14,2515 m/s. Dengan AFR stoikiometri 15,6/1 gram bahan bakar/gram udara dan Equivalent Ratio (?) 1,114. Jadi dari hasil yang telah didapat dari pengujian diatas dapat disimpulkan pada AFR 13:1 dan 16:1 menghasilkan kecepatan paling maksimal tetapi pada AFR 13:1 membutuhkan bahan bakar LPG lebih banyak dibanding AFR 16:1, sehingga pada AFR 13:1 boros bahan bakar LPG meskipun dengan kecepatan AFR 16:1 hampir setara. Dengan kata lain pada Air Fuel Ratio (AFR) 16:1 paling efisien dan seimbang antara bahan bakar LPG dengan udara. Kata Kunci: AFR stoikiometri, AFR Aktual dan Equivalen Ratio pembakaran.
Incorporating Root Crops under Agro-Forestry as the Newly Potential Source of Food, Feed and Renewable Energy Widodo, Yudi; Rahayuningsih, St. A.; Saleh, Nasir; Wahyuningsih, Sri
International Journal of Renewable Energy Development Vol 3, No 3 (2014): October 2014
Publisher : Center of Biomass & Renewable Energy, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ijred.3.3.193-206

Abstract

Entering the third millennium food and energy crisis is becoming more serious in line with water scarcity amid of climate change induced by global warming, that so called as FEWS (food energy and water scarcity).  In the last five decades Indonesian agricultural development of food crops had been emphasized on cereals and grains based. Conversion of forest into agricultural field in the form of upland and lowland facilitated by irrigation is prioritized for cereals such as rice, maize as well as grain legumes such as soybean, peanut etc. Unfortunately, root crops which their main yield underground are neglected. At the end of second millennium Indonesia was seriously suffered from multi-crisis economic trap, so Indonesia as part of countries under World Food Program to import the huge of food to cover domestic consumption such as rice, wheat, soybean, corn etc. On the other hand, consumption of energy was also increase significantly. These conditions triggering government to stimulate integrated agricultural enterprises for providing abundance of food as well as adequate renewable energy. Although root crops were neglected previously, however from its biological potential to produce biomass promotes root crops into an appropriate position. The variability of root crops which ecologically can be grown from upland in dry areas till swampy submergence condition. Forest conversion into agricultural land is not allowed due to forest is useful to prevent global warming. Therefore, food, feed and fuel (renewable energy) production have to be able grown under agro-forestry. Fortunately the potential of root crops has competency to meet the current need to fulfil food, feed and fuel as well as fibre under future greener environment.