Iin Ratna Sumirat
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Hukum Anak Angkat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif Iin Ratna Sumirat; Muhamad Wahyudin
Jurnal Studi Gender dan Anak Vol 8 No 02 (2021): Juli-Desember 2021
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.034 KB) | DOI: 10.32678/jsga.v8i02.5507

Abstract

Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Hal tersebut berlaku beragama Islam walaupun bertentangan dengan hukum Positif. Dan orang Islam tidak mempunyai hak untuk membagikan warisan kepada anak angkat dikarenakan bukan darah dagingnya (nasab) yang jelas dan yang lebih berhak mendapatkan warisan adalah anak kandung dikarenakan terdapat hak dalam pewarisan sedangkan anak angkat tidak bisa mendapatkannya dikarenakan bukan hubungan sedarah, Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Ahzab Ayat 4-5. Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hubungan hukum antara orangtua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Islam menekankan larangan menasabkan anak angkat kepada orang tua angkat sebab hal tersebut berhubungan dengan warisan dan perkawinan. Alasan tersebut merupakan alasan yang logis, sebab jika kita mengatakan anak angkat sebagai anak angkat sebagai anak sendiri yaitu lahir dari tetesan dari orang tua. Maka jelas hal tersebut merupakan suatu pengingkaran yang nyata baik terhadap Allah maupun terhadap manusia. Apabila anak angkat dikatakan tetap sebagai anak angkat yang berarti statusnya bukan sebagai anak kandung, tentunya hal tersebut berpengaruh pula terhadap status kewarisan dan perkawinannya. Akan tetapi dalam pasal 1 ayat 9 undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Dengan kata lain, anak angkat dapat disebut sebagai ahli waris tergantung dari latar belakang terjadinya anak angkat tersebut, yang dipakai di Indonesia dan di praktekkan adalah terdapat sinkronisasi antara hukum Islam dan Hukum Positif yang dimana kewenangan pengadilan agama terdapat di undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang pengangkatan anak berdasarkan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak dan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 176 sampai dengan pasal 193
Moderasi Beragama dalam Perspektif Tindakan Sosial Max Weber Sumintak Sumintak; Iin Ratna Sumirat
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 3, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v3i1.4085

Abstract

This article discusses Max Weber's thoughts on social actions which are assumed to contribute to radical behavior. The thought will be related to the concept of religious moderation as one of the most important things in understanding one's religious actions. This article is a library research that examines various existing literature such as books, magazines, documents, and historical records, this is a series of activities carried out in order to collect library data or study literature on social actions in the context of religious moderation. using an interpretative phenomenological approach. The results of this study indicate that there are four types of social action that can be harmonized in religious moderation, namely traditional action, affective action, instrumental rationality, and value rationality. If religious people implementation the pattern of these four actions by combining them, then the understanding of religious moderation will be quickly understood by all religious people so that it can provide comfort and peace when carrying out religious activities in the reality of everyday life.Artikel ini membahas tentang pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial yang diasumsikan turut membentuk prilaku radikal. Pemikiran tersebut akan dihubungkan dengan konsep moderasi beragama sebagai salah satu hal terpenting dalam memahami tindakan keberagamaan seseorang. Artikel ini merupakan kajian kepustakaan (library research) yang menelaah berbagai literatur yang ada seperti buku, majalah, dokumen, dan catatan-catatan sejarah, ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka melakukan pengumpulan data kepustakaan atau kajian literatur tentang tindakan sosial dalam konteks moderasi beragama menggunakan pendekatan fenomenologi interpretative. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada empat tipe tindakan sosial yang dapat diselaraskan dalam moderasi beragama yaitu tindakan tradisonal, tindakan afektif, rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai. Apabila umat beragama menerapkan pola keempat tindakan tersebut dengan mengkombinasikannya maka pemahaman terhadap moderasi beragama akan begitu cepat dipahami oleh semua umat beragama sehingga dapat memberikan kenyamanan dan ketentraman saat menjalankan aktifitas kegamaan dalam realitas kehidupan sehari-hari.