Tindak pidana yang dilakukan debt collector terkait pelunasan kartu kredit pada masa sekarang ini sering terjadi akibat berkembangnya produk bank dengan pemberian kartu kredit dalam bentuk kartu elektronik tentu harus menjadi perhatian bersama. Kasus yang menunjukkan benturan kepentingan entitas bisnis dengan aspek pidana semakin terllihat ketika debt collector ditenggarai penyebab nasabah mengalami tindak kekerasan baik secara fisik dan mental secara langsung maupun tidak langsung. Di satu sisi, kehadiran dept collector menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian berlandas hokum perdata antara bank dan nasabah tidak berjalan efektif dan efisien, sementara di sisi yang lain menunjukkan kerancuan pengaturan yang patut dikaji dan ditelaah berkaitan maksudnya debt collector dalam ranah perikatan perdata bank dan nasabah yang menjadikan celah tindak pidana yang dilakukan debt collector dalam menagih utang pada nasabah. Dilihat dari produk perbankan yang potensial menghadirkan campur tangan debt collector, kartu kredit menjadi salah satu rujukannya. Pihak perbankan saat ini berlomba-lomba untuk menawarkan kartu kredit, karena produk perbankan ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan produk lain. Gencarnya penggunaan kartu kredit ternyata berpeluang pula menimbulkan permasalahan baru, berwujud kredit macet. Agar penyelesaian masalah kredit macet demikian tidak terjerembab pada pusaran masalah yang lain sejatinya telah ada ketentuan dalam PBI 14/2/2012 peraturan tersebut menjelaskan penggunaan jasa pihak lain dalam proses penagihan hutang harus digunakan untuk kredit dengan kolektibilitas macet. Masalah kredit macet sebenarnya dapat diselesaikan secara hokum perdata, akan tetapi efektifitas dan efisiensi mekanistik penyelesaian litigatif demikian masih menyisakan masalah bagi bank yang mempunyai volume kredit macet besar. Guna mengatasi problem inilah, debt collector dilibatkan dalam penagihan kredit macet.