Tjahjono D Gondhowiardjo
Department of Ophthalmology, Universitas Indonesia

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Incidence and associated factors of posterior capsule opacification formation in pseudophakic patients at Cipto Mangunkusumo Hospital : January - December 2010 Sita Paramitha Ayuningtyas; Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 1 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (780.14 KB) | DOI: 10.35749/journal.v43i1.135

Abstract

Objective: Posterior capsule opacification (PCO) is the most common postoperative consequence of cataract surgery which may cause visual acuity reduction. The incidence of PCO in Indonesia has not been reported yet. The objectives of this study were to evaluate three years cumulative incidence of PCO and factors associated with PCO formation at Cipto Mangunkusumo (CM) Hospital. Methods: This was a retrospective descriptive study to patients with uneventful senile cataract surgery in year of 2010. All related data were retrieved from those medical records in year of 2013, which included patient demographics, type of surgery, time of PCO stated, IOL characteristics (material, optic edge design and diametere. Best corrected visual acuity (BCVA) pre operatively, when PCO was determined and Nd:YAG laser (Neodymium- doped yttrium aluminium garnet) was performed in decimal. Result: A total of 578 eyes (485 patients) was involved in this study. Three years cumulative incidence of the PCO was 8.82% (51 eyes). Phacoemulsification surgery was conducted in 496 (85.8%) eyes. The median time to PCO was being determined was 21 months (range 1 to 34 months) with the mean of BCVA was 0.50±0.26. Age, gender, and type of surgery had no related factors to PCO, but higher evidence in using of hydrophilic acrylic IOL (10.7%) was found. After laser Nd:YAG laser was performed, BCVA was improved. Conclusion: Three years cumulative incidence of PCO was 8.82% and there was no defined related factor to PCO reformation, but eye had been using hydrophilic acrylic IOL seem to be higher percentage
Kompetensi dan Perkembangan Profesi Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 2 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.925 KB) | DOI: 10.35749/journal.v43i2.148

Abstract

Spektrum keilmuan Oftalmologi berada diantara dua sisi, kebutaan dan penglihatan yang optimal; oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma oftalmologi bergeser dari rehabilitasi kebutaan dan pencegahan kebutaan menjadi optimalisasi kemampuan penglihatan. Kondisi tsb tercermin pada berbagai makalah yang ditampilkan pada edisi ini. Artikel case report memperlihatkan ketepatan pengobatan yang ahirnya dapat membedakan dua keadaan yang mengancam kebutaan namun dengan prognosis yang berbeda. Dua artikel lain, inovasi untuk menggunakan pemeriksaan kartu Amsler untuk menilai adanya gangguan lapang pandang penderita Glaukoma, dan pemberian obat acetazolamide pasca bedah katarak masuk katagori pencegahan kebutaan. Begitu pula makalah deskripsi retrospektif tumor orbita primer pada anak, yang diskusi maupun kesimpulan nya terasa menjadi sesuatu yang umum. Kedalaman substansi dan ketajaman pembahasan makalah-makalah kita cenderung kurang terasa menjadi sesuatu pengetahuan baru. Hal ini, disatu sisi, dapat dimengerti karena umumnya artikel tsb merupakan hasil proses pendidikan para peserta program studi; namun, disisi lain menunjukkan kurangnya arahan, keterlibatan atau ketidak pedulian para pengampu-nya. Namun, hal itu sebenarnya adalah suatu ironi karena pada dasarnya yang paling di-untung-kan oleh adanya persyaratan publikasi bagi peserta didik adalah institusi pendidikan dan individu pengampu-nya dalam konteks akreditasi institusi maupun personal. Secara tidak langsung, keadaan itu juga terlihat dari asal institusi makalah yang ditampilkan, yang relatif hanya berasal dari institusi pendidikan tertentu saja, relatif sangat jarang adanya artikel dari anggota profesi yang berada di jalur pelayanan yang tidak membutuhkan nilai publikasi tsb. Hal yang sebaliknya, terlihat pada presentasi oral di acara ilmiah, terutama yang menampilkan aspek psiko motor dan yang berciri cutting edge technology justru dimunculkan oleh profesional dari sarana pelayanan. Keadaan itu menunjukkan spektrum kondisi dan situasi profesional kita sesuai dengan penjenjangan tingkatan kebutuhan individu berdasarkan teori Maslow’, dimana tingkatan tertinggi kebutuhan individu, adalah aktualisasi diri; yang secara nyata ditunjukkan dengan menampilkan karya -karya, atau berbagi pengalaman yang baik atau bahkan yang buruk pada pertemuan ilmiah tahunan profesi, atau menuliskan nya dalam makalah. Sesungguh-nya leader dalam suatu profesi adalah mereka yang mau berbagi kelebihan-nya di luar keterikatan pada lingkup bidang tugas-nya. Situasi dan kondisi keterbatasan materi untuk publikasi yang kurang kondusif, di negeri tercinta kita ini, maaf, telah berlangsung hampir seumur majalah organisasi profesi kita. Memang, ada geliat sporadik di beberapa pusat pendidikan dan pelayanan, namun terbukti belum mampu menggerakkan gerbong profesi kita secara serentak. Harus diakui, kita memang terperangkap dalam rutinitas yang menjebak, serta terlena dalam tidur nyenyak kenyamanan yang berkepanjangan. Dalam era Jaminan sosial (baca BPJS) saat ini untuk sebagian kecil dari kita, menjadi perluang besar dengan melakukan upaya entrepreunership dengan membuka klinik-klinik yang dapat melakukan operasi katarak; sedangkan, mayoritas anggota profesi akan semakin terjebak dengan rutinitas akibat membanjirnya jumlah pasien dengan nilai remunerasi yang tanpa disadari cenderung semakin minim....
Visual Outcomes Following Diffractive-Refractive Multifocal Intraocular Lens Implantation : Literature Review Yulinda Arty Laksmita; Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 2 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.846 KB) | DOI: 10.35749/journal.v43i2.150

Abstract

Purpose: To evaluate the result of diffractive-refractive multifocal intraocular lens (IOL) implantation, regarding the visual acuity, spectacle independency, and also related disturbing visual pnenomenon such as halo and glare. Methods: Seventeen articles collected from multiple sources including Pubmed, Clinical Key, and Ophthalmology Advance were reviewed. Visual acuity. Five types of diffractive-refractive multifocal IOL were found including ReSTOR SA60D3, SN60D3, SA6AD3, SA6DA1, and AT Lisa 809M. Uncorrected and corrected visual acuity, spectacle independency and undesired visual phenomenon data of each IOL were analyzed. Results: For binocular uncorrected distance and intermediate vision, ReSTOR SN6AD1 is better than other IOL. Meanwhile, in binocular uncorrected near visual acuity category, ReSTOR SA60D3 is superior. Highest percentage of patients reporting spectacle independency found in ReSTOR SA60D3 group. Halo was found in each IOL group, ranged from 32 to 65 percent patients. Glare was found in a smaller percentage, ranged from 25 to 61 percent patients. Conclusion: The best option for patients aiming for best visual acuity in distance to intermediate activity without spectacle use is ReSTOR SN6AD1. Meanwhile, the best option for patients aiming for best near visual acuity is ReSTOR SA60D3. Comprehensive preoperative education is crucial, considering the cost and benefit aspects of multifocal IOL implantation.
Incidence and associated factors of posterior capsule opacification formation in pseudophakic patients at Cipto Mangunkusumo Hospital : January - December 2010 Sita Paramitha Ayuningtyas; Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 1 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v43i1.135

Abstract

Objective: Posterior capsule opacification (PCO) is the most common postoperative consequence of cataract surgery which may cause visual acuity reduction. The incidence of PCO in Indonesia has not been reported yet. The objectives of this study were to evaluate three years cumulative incidence of PCO and factors associated with PCO formation at Cipto Mangunkusumo (CM) Hospital. Methods: This was a retrospective descriptive study to patients with uneventful senile cataract surgery in year of 2010. All related data were retrieved from those medical records in year of 2013, which included patient demographics, type of surgery, time of PCO stated, IOL characteristics (material, optic edge design and diametere. Best corrected visual acuity (BCVA) pre operatively, when PCO was determined and Nd:YAG laser (Neodymium- doped yttrium aluminium garnet) was performed in decimal. Result: A total of 578 eyes (485 patients) was involved in this study. Three years cumulative incidence of the PCO was 8.82% (51 eyes). Phacoemulsification surgery was conducted in 496 (85.8%) eyes. The median time to PCO was being determined was 21 months (range 1 to 34 months) with the mean of BCVA was 0.50±0.26. Age, gender, and type of surgery had no related factors to PCO, but higher evidence in using of hydrophilic acrylic IOL (10.7%) was found. After laser Nd:YAG laser was performed, BCVA was improved. Conclusion: Three years cumulative incidence of PCO was 8.82% and there was no defined related factor to PCO reformation, but eye had been using hydrophilic acrylic IOL seem to be higher percentage
Kompetensi dan Perkembangan Profesi Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 2 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v43i2.148

Abstract

Spektrum keilmuan Oftalmologi berada diantara dua sisi, kebutaan dan penglihatan yang optimal; oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma oftalmologi bergeser dari rehabilitasi kebutaan dan pencegahan kebutaan menjadi optimalisasi kemampuan penglihatan. Kondisi tsb tercermin pada berbagai makalah yang ditampilkan pada edisi ini. Artikel case report memperlihatkan ketepatan pengobatan yang ahirnya dapat membedakan dua keadaan yang mengancam kebutaan namun dengan prognosis yang berbeda. Dua artikel lain, inovasi untuk menggunakan pemeriksaan kartu Amsler untuk menilai adanya gangguan lapang pandang penderita Glaukoma, dan pemberian obat acetazolamide pasca bedah katarak masuk katagori pencegahan kebutaan. Begitu pula makalah deskripsi retrospektif tumor orbita primer pada anak, yang diskusi maupun kesimpulan nya terasa menjadi sesuatu yang umum. Kedalaman substansi dan ketajaman pembahasan makalah-makalah kita cenderung kurang terasa menjadi sesuatu pengetahuan baru. Hal ini, disatu sisi, dapat dimengerti karena umumnya artikel tsb merupakan hasil proses pendidikan para peserta program studi; namun, disisi lain menunjukkan kurangnya arahan, keterlibatan atau ketidak pedulian para pengampu-nya. Namun, hal itu sebenarnya adalah suatu ironi karena pada dasarnya yang paling di-untung-kan oleh adanya persyaratan publikasi bagi peserta didik adalah institusi pendidikan dan individu pengampu-nya dalam konteks akreditasi institusi maupun personal. Secara tidak langsung, keadaan itu juga terlihat dari asal institusi makalah yang ditampilkan, yang relatif hanya berasal dari institusi pendidikan tertentu saja, relatif sangat jarang adanya artikel dari anggota profesi yang berada di jalur pelayanan yang tidak membutuhkan nilai publikasi tsb. Hal yang sebaliknya, terlihat pada presentasi oral di acara ilmiah, terutama yang menampilkan aspek psiko motor dan yang berciri cutting edge technology justru dimunculkan oleh profesional dari sarana pelayanan. Keadaan itu menunjukkan spektrum kondisi dan situasi profesional kita sesuai dengan penjenjangan tingkatan kebutuhan individu berdasarkan teori Maslow’, dimana tingkatan tertinggi kebutuhan individu, adalah aktualisasi diri; yang secara nyata ditunjukkan dengan menampilkan karya -karya, atau berbagi pengalaman yang baik atau bahkan yang buruk pada pertemuan ilmiah tahunan profesi, atau menuliskan nya dalam makalah. Sesungguh-nya leader dalam suatu profesi adalah mereka yang mau berbagi kelebihan-nya di luar keterikatan pada lingkup bidang tugas-nya. Situasi dan kondisi keterbatasan materi untuk publikasi yang kurang kondusif, di negeri tercinta kita ini, maaf, telah berlangsung hampir seumur majalah organisasi profesi kita. Memang, ada geliat sporadik di beberapa pusat pendidikan dan pelayanan, namun terbukti belum mampu menggerakkan gerbong profesi kita secara serentak. Harus diakui, kita memang terperangkap dalam rutinitas yang menjebak, serta terlena dalam tidur nyenyak kenyamanan yang berkepanjangan. Dalam era Jaminan sosial (baca BPJS) saat ini untuk sebagian kecil dari kita, menjadi perluang besar dengan melakukan upaya entrepreunership dengan membuka klinik-klinik yang dapat melakukan operasi katarak; sedangkan, mayoritas anggota profesi akan semakin terjebak dengan rutinitas akibat membanjirnya jumlah pasien dengan nilai remunerasi yang tanpa disadari cenderung semakin minim....
Visual Outcomes Following Diffractive-Refractive Multifocal Intraocular Lens Implantation : Literature Review Yulinda Arty Laksmita; Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 43 No 2 (2017): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v43i2.150

Abstract

Purpose: To evaluate the result of diffractive-refractive multifocal intraocular lens (IOL) implantation, regarding the visual acuity, spectacle independency, and also related disturbing visual pnenomenon such as halo and glare. Methods: Seventeen articles collected from multiple sources including Pubmed, Clinical Key, and Ophthalmology Advance were reviewed. Visual acuity. Five types of diffractive-refractive multifocal IOL were found including ReSTOR SA60D3, SN60D3, SA6AD3, SA6DA1, and AT Lisa 809M. Uncorrected and corrected visual acuity, spectacle independency and undesired visual phenomenon data of each IOL were analyzed. Results: For binocular uncorrected distance and intermediate vision, ReSTOR SN6AD1 is better than other IOL. Meanwhile, in binocular uncorrected near visual acuity category, ReSTOR SA60D3 is superior. Highest percentage of patients reporting spectacle independency found in ReSTOR SA60D3 group. Halo was found in each IOL group, ranged from 32 to 65 percent patients. Glare was found in a smaller percentage, ranged from 25 to 61 percent patients. Conclusion: The best option for patients aiming for best visual acuity in distance to intermediate activity without spectacle use is ReSTOR SN6AD1. Meanwhile, the best option for patients aiming for best near visual acuity is ReSTOR SA60D3. Comprehensive preoperative education is crucial, considering the cost and benefit aspects of multifocal IOL implantation.
Kebutaan dan Persepsi Kompetensi Profesi Tjahjono D Gondhowiardjo
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 45 No 2 (2019): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v45i2.187

Abstract

Ilmu Kesehatan Mata (Oftalmologi) menyetarakan keadaan “kebutaan” dengan “kematian”; oleh karena itu, paradigma awal dan utama oftalmologi adalah mencegah dan me-rehabilitasi kebutaan. Sejalan dengan itu, maka pengenalan gejala dan petanda dini berbagai penyakit atau keadaan yang terkait dengan resiko terjadinya kebutaan harus dikenal dan mampu melakukan penatalaksaan secara cepat dan tepat, minimal untuk tidak memperburuk keadaan sebelum merujuk-nya. Dalam konteks pendidikan, maka kompetensi tersebut merupakan keharusan (have to know) dalam tingkatan mampu memperlihatkan (do show), kegagalan pengenalan petanda dan gejala tsb digolongkan dengan ketidak mampuan yang fatal (red flag). Edisi ini, menampilkan beberapa makalah yang membahas berbagai aspek klinis, namun dapat digolongkan dalam katagori ber-potensi menyebabkan kebutaan, seperti rhegmatogenous retinal detachment, idiopathic neuroretinitis, central serous retinopathy, pituary macroadenoma, refractory glaucoma, serta ulkus kornea. Tindakan utama pada kondisi Rhegmatogenous Retinal Detachment (robekan retina) adalah vitrektomi dengan tamponade silicon atau gas. Tindakan ini membutuhkan SDM dengan kompetensi khusus, serta peralatan dan bahan habis pakai sehingga relatif hanya dapat dilakukan pada sarana kesehatan tertier dan merupakan tindakan berbiaya tinggi. Di-sisi lain, seiring dengan kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, kemudahan transportasi dan peningkatan angka harapan hidup, maka terlihat adanya peningkatan prevalensi kondisi ini di berbagai jenjang sarana kesehatan mata. Keterlambatan penatalaksanaan tentunya akan meningkatkan resiko kebutaan. Namun ironi-nya, dalam era jaminan kesehatan nasional ini, akibat pola pembiayaan yang tidak tepat, justru terjadi penumpukan kasus yang tidak tertangani di sarana kesehatan tersier. Sehubungan dengan itu, maka prosedur Pneumatic Retinopexy, dilanjutkan dengan Argon Laser Retinopexy yang merupakan tindakan yang relatif sederhana, dan dapat dilakukan dengan sumberdaya di strata pelayanan kesehatan mata sekunder mungkin dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif penatalaksanaan, minimal untuk memperkecil atau memperlambat potensi kebutaan akibat adanya Rhegmatogenous Retinal Detachment...... (....)