Lira Panduwaty
Bagian Anestesiologi Rumah Sakit Agung Manggarai, Komp. Bintara Jaya Permai Blok A No. 127 Bekasi Barat

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Perbandingan Klonidin 0,5 mg/kgBB Intravena dengan Tramadol 0,5 mg/kgBB Intravena Sebagai Profilaksis Kejadian Menggigil Pascaanestesia Spinal pada Seksio Sesarea Panduwaty, Lira; Suwarman, -; Sitanggang, Ruli Herman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1197.274 KB)

Abstract

Menggigil merupakan  komplikasi  yang sering terjadi pascaanestesi spinal, akibat gangguan kontrol termoregulasi. Klonidin merupakan agonis adrenergik α2 yang memiliki efek antihipertensi, analgetik, sedasi, dan antimenggigil. Tujuan penelitian ini untuk menilai perbandingan klonidin 0,5 μg/kgBB dengan tramadol 0,5 mg/kgBB dalam menurunkan kejadian menggigil pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Metode  penelitian adalah uji klinis acak  terkontrol tersamar ganda pada 58 pasien yang menjalani operasi seksio sesarea di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari−April 2014, usia 18−45 tahun, status fisik menurut American Society of Anesthesiologist (ASA) II dan dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menerima klonidin 0,5 μg/kgBB intravena dan  kelompok  tramadol 0,5 mg/kgBB intravena sebelum dilakukan anestesi spinal dengan bupivakain 12,5 mg. Analisis statistik menggunakan uji-t, uji chi-kuadrat, dan Uji Eksak Fisher. Hasil penelitian menunjukkan kejadian menggigil pada kelompok klonidin lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelompok tramadol, baik di kamar operasi (3,44% vs 10,34%) maupun di ruang pemulihan (3,44% vs 17,24%). Simpulan dari penelitian ini  menunjukkan  bahwa  pemberian klonidin 0,5 μg/kgBB intravena sebelum anestesi spinal pada seksio sesarea mengurangi kejadian menggigil dan efek samping.Kata kunci: Klonidin, menggigil, pascaanestesi spinal, tramadol Comparison of Intravenous 0.5 mg/kgBW Clonidine Intravenous and 0.5 mg/kgBW Tramadol as Post Spinal Anesthesia Shivering Prophylactic Agent in Caesarean SectionAbstract Shivering, as a result of impaired thermoregulatory control, is known as a frequent complication of post-spinal anesthesia. Clonidine is an α2-adrenergic agonist that has anti-hypertensive, analgesic, sedation and anti-shivering effects. The purpose of this study is to compare the use of  0.5 μg/kgBW clonidine with 0.5 mg/kgBW tramadol in reducing the incidence of shivering in patients undergoing cesarean section with spinal anesthesia. The method applied was the double-blind randomized controlled clinical trial in 58 patients undergoing caesarean surgery at the Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in the period of January−April 2014, age 18−45 years, American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status II, and divided into two groups; a group receiving 5 μg/kgBW intravenous clonidine and a group receiving 0.5 mg/kgBW intravenously tramadol prior to spinal anesthesia with bupivacaine 12.5 mg. The statistical analyses used were the t test, chi-square test and Fisher’s Exact test. The incidence of shivering were less in the clonidine group compared to the tramadol group in operating theatre (3.44% vs 10.34) and recovery room (3.44% vs 17.24%). The conclusion of this study showed that the administration of 0.5 μg/kgBW clonidine intravenously before spinal anesthesia for cesarean section reduces the incidence of shivering and side effects.Keywords: Clonidine, post spinal anesthesia, shivering, tramadol DOI: 10.15851/jap.v3n1.378  
Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi Emergensi: Serial Kasus Panduwaty, Lira; Bisri, Dewi Yulianti
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraserebral (PIS) mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hanya 20% individu yang bertahan dari penyakit ini dapat hidup dalam 6 bulan. Masih terdapat kontroversi dalam tatalaksana PIS, seperti meregulasi tekanan darah, mencegah perluasan hematoma, edema otak, dan mempertahankan perfusi serebral. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas prosedur tatalaksana perioperatif PIS dengan hipertensi emergensi. Subjek dan Metode: Penelitian serial kasus dari 3 kasus dengan gangguan kesadaran (skor GCS ≤14), didiagnosa PIS, akan dilakukan kraniotomi evakuasi hematoma. Dilakukan pengelolaan tekanan darah prabedah dengan target tekanan darah rata-rata (TAR) 125–130 mmHg. Induksi dengan fentanyl 3 ug/kg, propofol 2,5 mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg, lidokain 1,5 mg/kg dan rumatan anestesi dengan O2, air, isoflurane 1–1,5 vol%. Hasil: Pascabedah 2 kasus dirawat di ICU selama 2–3 hari dan satu kasus dirawat di neurocritical care unit (NCCU) selama 3 hari dan terdapat perbaikan GCS menjadi 15. Setelah itu dipindahkan ke ruangan dan mendapat perawatan selama 5–7 hari, dan dipulangkan setelah 7–15 hari. Simpulan: Masih ada kontroversi tentang terapi PIS yang optimal terutama dalam pengendalian tekanan darah. Tekanan darah yang tinggi dapat menimbulkan hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan penurunan perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) menemukan bahwa penurunan tekanan darah yang segera akan mengurangi resiko perluasan perdarahan tapi tidak mempunyai efek pada outcome, akan tetapi, pada ke 3 kasus tersebut menurunkan tekanan darah dalam waktu kurang dari 24 jam memberikan hasil yang baik.  Perioperative Anesthesia Management in Patients with Spontaneous Intracerebral Haemorrhage (ICH) et causa Hypertensive Emergency: A Case Series Background and Objectives: Intracerebral hemorrhage (ICH) have a high rate of morbidity and mortality. Only 20% of individuals who survive ICH are independent at 6 months. Many issues need to be considered for the optimal management of ICH, such as blood pressure (BP) control, prevention of hematoma growth, containing brain edema, and preserving cerebral perfusion. The objective of this case series is to report perioperative management procedure for ICH with hypertensive emergency.Subject and Methods: A serial case study of three patients with decrease consciousness (score GCS ≤14), ICH, were planned for craniotomy evacuation. Perioperative management of BP has been done to a targetted mean arterial pressure (TAR) of 125–130 mmHg. Induction with fentanyl 3 ug/kg, propofol 2.5 mg/kg, vecuronium 0.1 mg/kg, lidocaine 1.5 mg/kg and maintain of anesthesia with O2, air, isoflurane 1–1.5 vol%. Results: Two patients were admitted to the ICU post-operatively for 2–3 days, one patient were admitted to the Neuro Critical Care Unit (NCCU) for three days, and had improvements of consciousness (GCS 15), then transferred to the ward for another 5–7 days, and finally discharged after 7–15 days. Conclusion: There are still controversies in the treatment of ICH, especially in the control of BP. High BP can lead to hematoma, but decrease in BP can reduce cerebral perfusion. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) found that early intensive BP management reduced the risk of hematoma expansion but had no effect on outcomes. However in all three cases above, a reduction in BP within 24 hours have provided good results.