Dwi Atmoko
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Suatu Perjanjian Baku Dwi Atmoko
BINAMULIA HUKUM Vol 11 No 1 (2022): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v11i1.683

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk melihat dan mengkaji sejauh mana prinsip asas kebebasan berkontrak mempunyai fungsi menunjang atau mendukung konsumen dalam suatu perjanjian baku yang telah ada. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian yang bersifat normatif. Perjanjian baku pada era modern ini berkembang semakin pesat dikarenakan adanya kebutuhan masyarakat dalam bidang ekonomi dalam bidang jasa, sewa menyewa, asuransi dan lain sebagainya. Akan tetapi bila dilihat dari kedua pihak perjanjian baku sangat merugikan konsumen karena hal yang termuat dalam perjanjian baku sangat condong atau berpihak dan lebih menguntungkan kepada perusahaan. Asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian sebenarnya sudah ada sebagaimana diatur dalam eksistensi Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun bila diteliti secara sekilas sebenarnya perjanjian baku memang mempunyai fungsi yang efisien dan efektif ditunjang dengan tingkat perkembangan kebutuhan masyarakat yang tinggi, sehingga bisa mengakomodir segala keperluan dengan cepat, akan tetapi hal ini juga memberikan dampak buruk bagi konsumen karena asas-asas kebebasan berkontrak seperti ada pembatasan-pembatasan yang secara langsung dibuat oleh pihak perusahaan atau kreditur. Peran pemerintah dalam mendukung eksistensi terhadap prinsip asas kebebasan berkontrak pada saat ini sangat diperlukan sehingga keseimbangan dalam perjanjian antara kedua belah pihak mempunyai nilai yang berbasis pada keadilan bagi kepentingan bersama bisa tercapai.
TINDAK PIDANA MENGHALANG-HALANGI TUGAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN Ferry Setiawan; Hotma P. Sibuea; Dwi Atmoko
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 (2023): Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i1.2189

Abstract

Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh, dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Keberadaan pengawasan ketenagakerjaan merupakan bentuk perlindungan pihak lemah, dalam melakukan dalam penegakan khusus pidana selama ini belum optimal dalam perspektik keadilan. Sanksi pidana ringan sehingga masih saja bentuk pelanggaran- pelanggaran dari perusahaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat Yuridis Normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Teknik pengumpulan data sekunder dan teknik analisa data dengan deskriptif analitis. Hasil penelitian optimalisasi tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan dibedakan dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran. Subjek yang diancam pidana terdiri atas pengawas ketenagakerjaan dan pengusaha. Hal ini tidak dimungkinkan sanksi tersebut dijatuhkan saksi yang bersifat komulatif dengan redaksi “pidana penjara dan/atau denda”, tetapi bersifat alternatif dengan redaksi “pidana penjara atau denda”, juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus. Nominal hukuman kurungan selama -lamanya 3 bulan atau denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan untuk digunakan masa sekarang. Putusan tindak pidana ringan terhadap perusahaan dikhawatirkan tidak membuat efek jera bagi perusahaan, karena sistem pengenaan saksi pidana kurang memenuhi rasa keadilan yang bermartabat, karena memakai sistem alternatif (atau), yaitu saksi pidana ringan atau denda yang nominalnya sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang. Sehingga sanksi pidana ketenagakerjaan akan lebih bisa mewujudkan keadilan yang bermartabat apabila memakai sistem pidana penjara 1 tahun dan paling banyak 2 tahun dan nominal denda seperti nominal denda dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang besarnya paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
PRAKTEK PROFESI APOTEKER DALAM PERSPEKTIF ASAS NEGARA HUKUM Arif Kurniawan; Hotma P. Sibuea; Dwi Atmoko
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 No. 3 (2023): Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i3.2190

Abstract

Profesi Apoteker adalah salah satu profesi tenaga kesehatan yang diakui oleh undang-undang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana kompetensi dan kewenangannya. Kompetensi Apoteker diperoleh melalui pendidikan profesi serta mendapatkan sertifikasi kompetensi dari asosiasi. Kewenangan Apoteker didapatkan apabila mempunyai Surat Tanda Registrasi pada Departemen Kesehatan dan mendapatkan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) atau Surat Izin Kerja (SIK) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Legalitas pekerjaan kefarmasian hanya diatur dalam pasal 108 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun undang-undang ini masih bersifat umum dan sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Pada praktiknya Profesi Apoteker kurang mendapatkan perhatian serius dari otoritas sehingga profesi ini terkesan mendapatkan diskriminasi bahkan rentan untuk dikriminalisasi.Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara spesifik mengenai legalitas Praktik Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta untuk mendapatkan legalitas bagi Profesi Apoteker dalam menjalankan seluruh aspek pekerjaan kefarmasian sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Metode penelitian adalah yuridis normatif Metode penelitian yuridis atau hukum normatif yakni penelitian yang meneliti bahan-bahan pustaka sebagai bahan yang sudah didokumentasikan. Pendekatan (pemahaman) dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), metode pendekatan konsep (conceptual approach), metode pendekatan kasus (case approach).Saat ini kelompok tenaga kesehatan yang telah mempunyai undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum profesinya baru ada 3 (tiga) kelompok, yaitu : Tenaga Medis (dokter, dokter gigi, dokter hewan) dalam menjalankan praktiknya diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Profesi Perawat menjalankan pekerjaannya dengan landasan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dan Profesi Bidan dalam menjalankan keahliannya berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan. Sementara untuk Profesi Apoteker belum mempunyai peraturan khusus setingkat undang-undang yang mengatur mengenai keahlian dan kewenangannya dengan lebih terang benderang dan terperinci.
Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Suatu Perjanjian Baku Dwi Atmoko
Binamulia Hukum Vol. 11 No. 1 (2022): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v11i1.308

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk melihat dan mengkaji sejauh mana prinsip asas kebebasan berkontrak mempunyai fungsi menunjang atau mendukung konsumen dalam suatu perjanjian baku yang telah ada. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian yang bersifat normatif. Perjanjian baku pada era modern ini berkembang semakin pesat dikarenakan adanya kebutuhan masyarakat dalam bidang ekonomi dalam bidang jasa, sewa menyewa, asuransi dan lain sebagainya. Akan tetapi bila dilihat dari kedua pihak perjanjian baku sangat merugikan konsumen karena hal yang termuat dalam perjanjian baku sangat condong atau berpihak dan lebih menguntungkan kepada perusahaan. Asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian sebenarnya sudah ada sebagaimana diatur dalam eksistensi Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun bila diteliti secara sekilas sebenarnya perjanjian baku memang mempunyai fungsi yang efisien dan efektif ditunjang dengan tingkat perkembangan kebutuhan masyarakat yang tinggi, sehingga bisa mengakomodir segala keperluan dengan cepat, akan tetapi hal ini juga memberikan dampak buruk bagi konsumen karena asas-asas kebebasan berkontrak seperti ada pembatasan-pembatasan yang secara langsung dibuat oleh pihak perusahaan atau kreditur. Peran pemerintah dalam mendukung eksistensi terhadap prinsip asas kebebasan berkontrak pada saat ini sangat diperlukan sehingga keseimbangan dalam perjanjian antara kedua belah pihak mempunyai nilai yang berbasis pada keadilan bagi kepentingan bersama bisa tercapai.