Asti Widuri, Asti
Departement Of Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery, Faculty Of Medicine And Health Science, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Published : 25 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search
Journal : Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

Abses Submandibula Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 4, No 2 (2004)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v4i2.1746

Abstract

Infectious disease, in the ENT department is still common to find in the community. One of them is deep neck infection. The commonest of deep neck infection is infection in the submandibula or submandibula abscess. The com¬plication of this infection can cause death. It’s happen because of the spread¬ing of the abscess to the other place/area in the neck. We report one case of submandibular abscess caused by teeth infection with mediastinitis as it’s com¬plication.Dalam bidang Ilmu Penyakit THT penyakit infeksi masih banyak dijumpai di masyarakat, salah satu diantaranya adalah infeksi leher bagian dalam. Infeksi leher bagian dalam yang paling sering terjadi adalah infeksi pada ruang submandibula atau abses submandibula. Pada infeksi ini dapat terjadi komplikasi-komplikasi yang dapat menimbulkan kematian karena mudahnya penyebaran abses ke ruang-ruang leher yang lain. Dilaporkan satu kasus abses submandibula dengan komplikasi me¬diastinitis yang disebabkan oleh infeksi gigi.
Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kesadaran untuk Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi Baru Lahir Asti Widuri; Bambang Edy Susyanto; Supriyatiningsih Supriyatiningsih
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 19, No 1 (2019): January
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mm.190122

Abstract

Gangguan pendengaran pada anak-anak di negara yang belum ada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir diawali dari kecurigaan saat anak terlambat bicara. Keterlambatan deteksi tersebut karena kurangnya pengetahuan orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa sebelum anak berumur 2 tahun. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap sikap/kesadaran tentang deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Penelitian dengan desain potong lintang menilai pendidikan orang tua dan sikap terhadap pemeriksaan deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dilakukan pada orang tua/pasien klinik Asri Medical Centre Yogyakarta (AMC) bulan Juni-Juli 2018. Hasil penelitian menunjukkan 55 responden, 6 (10,9%) dengan pendidikan sangat tinggi, 42 (76,3%) dengan pendidikan tinggi, dan 7 (12,7%) dengan pendidikan menengah. Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak adanya pengaruh yang bermakna antara skor pendidikan orang tua, pengetahuan tentang tumbuh kembang anak, usia dan jumlah anak terhadap sikap orang tua pada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program deteksi dini pemeriksaan pendengaran, sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah agar deteksi dini gangguan pendengaran berjalan optimal.
Kemampuan Membaca pada Anak Tuna Rungu di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta Asti Widuri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 10, No 1 (2010)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v10i1.1558

Abstract

Reading activity is an important factor in almost all aspects of life and is significantly correlated with gaining information and knowledge. Speech perception, production and the development of language are closely associated as well as become the key of learning to reading process. Deaf children who received early intervention at SLB-B Karnnamanohara, actually to improve verbal communication ability at the optimal age of speech and language development were expected to have optimal language quotient in order to support their learning to read process and gain normal reading ability. The aim of this study is to identify the reading ability of deaf children at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. The design of this study was descriptive. The subjects were all student at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta who met the inclusion and exclusion criteria. Reading skill test was conducted when the subjects had received 1 year training minimally. The average of reading ability score of deaf children at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta is 11, 89 or 74%. The deaf children that reach over the average score were 63%. Higher average score was found in early training, higher class, feminin, hearing aid wearing children.Kegiatan membaca merupakan faktor yang penting dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan berhubungan secara signifikan dengan pencapaian informasi dan pengetahuan. Persepsi suara, produksi suara dan perkembangan bahasa berhubungan sangat erat bahkan menjadi kunci dalam proses belajar membaca. Anak tuna rungu yang mendapatkan intervensi awal di SLB-B Karnnamanohara secara nyata meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pada masa optimal perkembangan bicara dan bahasa sehingga mencapai kecerdasan bahasa yang optimal yang mendukung kegiatan belajar membaca pada anak tuna rungu sehingga dapat mencapai kemampuan membaca yang normal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skor kemampuan membaca pada anak tuna rungu yang bersekolah di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, sampel diambil dari seluruh siswa SLB-B Karnnamanohara yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Tes kemampuan membaca diberikan pada siswa yang telah mendapatkan minimal 1 tahun pendidikan. Rata-rata hasil skor tes kemampuan membaca pada anak tuna rungu di SLB-B Karnnamanohara adalah 11,89 atau 74%. Anak tuna rungu yang mempunyai skor kemampuan membaca diatas rata-rata adalah 63%, Skor lebih tinggi diperlihatkan pada anak dengan pendidikan awal, kelas yang lebih tinggi, anak dengan jenis kelamin wanita, dan anak yang memakai alat bantu dengar.
Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi Asti Widuri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i1.1594

Abstract

Allergic rhinitis is a highly prevalent respiratory disease, affecting up to 40% of the population in some countries, and has an important impact on quality of life. Although a number of different drug types are available for treating allergic rhinitis, antihistamines are currently considered first line therapy. Most current treatments only relieve symptoms and do not modify the course of the disease. IgE may play a role in allergic sensitization, interaction between allergens and IgE leads to activation of mast cell, with consequent release of histamine andother pro-allergic mediators. IgE therefore potentially represents an important target for pharmacological intervention in allergic rhinitis.Rinitis alergi adalah penyakit saluran pernafasan yang tinggi prevalensinya, mengenai sampai 40% populasi di beberapa negara, dan menimbulkan dampak yang serius pada kualitas hidup. Meskipun bermacam-macam obat dapat digunakan untuk mengobati rinitis alergi, antihistamin yang merupakan pilihan obat pertama. Hampir seluruh pengobatan rinitis alergi hanya ditujukan untuk mengurangi gejala tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. IgE kemungkinan berperan pada proses sensitisasi, interaksi antara alergen-alergen dengan IgE akan mengaktivasi sel mast yang akan mengeluarkan histamin dan mediator-mediator alergi yang lain. Sehingga IgE memiliki potensi sebagai target intervensi pengobatan secara farmakologis yang penting dalam penanganan rinitis alergi.
The Influence of Chewing Habits on the Degree of Impacted Cerumen Asti Widuri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 21, No 1 (2021): January
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v21i1.9576

Abstract

Abstract: Cerumen was glandular secretions at the outer one-third of the ear mixed with exfoliated squamous epithelium. The jaw's movement keeps the cerumen in the ear canal in a state of balance, so it is clean, protects and lubricates the external auditory canal. Impacted cerumen is also caused by excessive production, narrow canal anatomy, viscosity wax, and irritation due to cotton-tipped swabs habits. This study aims to determine whether chewing habits influence the degree of cerumen obstruction in patients with impacted cerumen. The study was a cross-sectional method in impacted cerumen patients at 17-80 years old in the ENT clinic of District Hospital Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia. Risk factors assessed were education, age, gender, chewing habits, and cotton-tipped swabs habits. The data were then analyzed by chi-square test. Of 80 respondents with the dominant age range 17-38 years (58.8 %), the number of males was 47 (58.8 %), and females were 33 (41.2 %). The significant risk factors comprised the chewing habit and the use of cotton-tipped swabs. Factors affecting the degree of cerumen in patients with impacted cerumen were the chewing habits and cotton-tipped swabs habits.
Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Edy Susyanto; Asti Widuri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 15, No 1 (2015): January
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v15i1.2491

Abstract

Jenis ketulian neonatus yang banyak dijumpai adalah sensori. Upaya habilitasi hanya dengan memasang alat bantu dengar dan melatih dengan metode audiovisual. Habilitasi sangat efektif bila dilakukan pada periode perkembangan bicara anak sekitar usia 9 bulan sampai 3 tahun. Untuk itu perlu dideteksi dini adanya ketulian pada neonatus, dan segera dimulai habilitasi pendengaran. Penelitian ini untuk mengetahui frekuensi jenis faktor risiko yang potensial penyebab ketulian neonatal. Penelitian ini menggunakan rancang penelitian potong lintang, dengan menggunakan alat otoacoustic emission (OAE) untuk deteksi ketulian neonatus yang lahir antara bulan Januari dan December 2014 di RS PKU Muhammadiyah. Faktor risiko di lihat dalam rekam medik, data dianalisis menggunakan  chi-square. Faktor risiko ketulian yang paling banyak adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, dan BBLR sejumlah 16 (19.3%). Uji statistik chi-square menunjukkan p=0,001 pada risiko BBLR. Disimpulkan BBLR menjadi salah satu risiko gangguan pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir.The most common congenital neonatus hearing loss is sensory disorder. The habilitation is wearing hearing aids, and audiovisual training. Effective habilitation  if perform at optimal early childhood speech development around 9 month to 3 years old. For this reason need early neonatus hearing detection and habilitation. The aims to know the frequency and potential of neonatal hearing loss risk factors.  The method by cross sectional method newborns were tested with OAE screening test, between Januari 2014 and December 2014 in PKU Muhammadiyah Hospital. From medical report all risk factors data and analyzed by chi-square.  Most hearing impairment risk factors are hyperbilirubinemia 44 (53.0%) cases, prematurity 30 (36.1%) cases, mechanical ventilation 27 (32.5%) cases, and low birth weight LBW 16 (19.3%) cases. By chi-square shown p=0,001 for low birth weight. LBW as one of risk factor to  hearing impairment at newborn hearing screening.
Otitis Media Supuratif Kronik Maligna dengan Tetanus Asti Widuri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (2008)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1.1656

Abstract

The chronic otitis media is a chronic middle ear infection followed by producing discharge continuously or intermittently, the perforated tympanic membrane and normally with hearing disorder. It is divided into two types, there are 1) the safe type, the infection limited to mucous membrane, normally does not affect the bone, seldom inducing dangerous complication and without cholesteatoma. 2) the unsafe type, the infection passed throught periosteum and often inducing dangerous intra and extracranial complications. Tetanus is an infectious disease that caused by exotoxin produced by Clostridium tetani, the symptom is increasing tonus and skeleton muscle spasm. The spasm begin from masseter muscle and could spreading to all of the body. Respiratory muscle spasm can caused mortality in tetanus infection. During more or less four decades of the antibiotic era, during this era there are many benefit found, including therapy in serious injury that tetanus not become as threatening. But in slighted little injury such as dental infection, ulcer diabetic, intravena tool user, and middle ear infection there were as risk factors of tetanus infection. Unsafe chronic suppurative otitis media that happen erosion bone process can produced anaerobic condition and become a risk factor on Clostridium tetani growth. A case of the chronic suppurative otitis media unsafe type with abcess retroauricular and tetanus infection treated by ENT and Internal department Dr. Sardjito hospital was reported. After sufficient therapy, the tetanus infection was cured and the patient prepared for radical mastoidectomy operation to eradication the focal infection and the risk factor to tetanus infection.Otitis media kronik (OMK) adalah infeksi telinga tengah yang berlangsung lebih dari dua bulan ditandai dengan keluarnya cairan mukopurulen secara terus-menerus, perforasi membran timpani dan penurunan pendengaran, dibagi menjadi duajenis yaitu 1) tipe benigna, jika infeksi terbatas pada mukosa tidak mengenai tulang, jarang menimbulkan komplikasi dan tanpa kolesteatom.2) tipe maligna, jika infeksi menyebabkan erosi tulang (adanya kolesteatom) dapat menimbulkan komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial. Tetanus adalah suatu penyakit infeksi kuman Clostridium tetani yang mengeluarkan eksotoksin, ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot rangka. Gejala kaku dan kejang otot rangka, biasanya pertama kali mengenai otot-otot-rahang dan leher kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Kematian biasanya disebabkan karena spasme pada otot-otot pernafasan. Selama lebih dari 4 dekade era antibiotik tetanus bukan merupakan ancaman pada trauma besar, tetapi pada luka kecil yang terabaikan seperti infeksi gigi, ulkus diabetik, pemakai alat-alat intravena dan infeksi telinga tengah merupakan faktor risiko infeksi tetanus. Otitis media kronik tipe maligna yang disertai proses erosi pada tulang dapat menimbulkan suasana anaerob dan merupakan faktor risiko untuk pertumbuhan bakteri Clostridium tetani. Telah dilaporkan sebuah kasus tetanus pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik tipe maligna dengan abses retroauricular, dilakukan perawatan bersama dari bagian THT dengan bagian UPD dan dilakukan operasi mastoidektomi dengan tujuan untuk pembersihan fokal infeksi dan menghilangkan faktor risiko terjadinya infeksi tetanus.