J Haryatmoko
Magister Teologi, Universitas Sanata Dharma

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Kondisi Ideologis dan Derajat Keteramalan: Analisa Wacana Kritis Norman Fairclough J Haryatmoko
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.175 KB)

Abstract

Abstract: Alasdair MacIntyre and Martha C. Nussbaum are two prominent contemporary moral philosophers who attempt to rehabilitate Aristotles conception of virtues. Although both agree that virtue ethics can be considered as a strong alternative to our search for commonalities in a pluralistic society such as Indonesia, each chooses a very different path. While MacIntyre interprets Aristotle from his traditionalist and communitarian perspective, Nussbaum construes the philosopher in a non-relative and essentialist point of view using the perspective of capability. Consequently, MacIntyre construes a more particularistic view of virtue ethics, whereas Nussbaum presents a more universalistic view of virtue ethics. Applying virtue ethics to the Indonesian context, this article argues that each approach will be insufficient to address the highly pluralistic societies such as Indonesia. Therefore, we need to construct a virtue ethics proper to the Indonesian context that takes both approaches into consideration. Keywords: Virtue, virtue ethics, community, capability, incommensurability. Abstrak: Alasdair MacIntyre dan Martha C. Nussbaum merupakan dua orang filsuf moral terkemuka pada masa kini, yang berusaha merehabilitasi konsep Aristoteles mengenai keutamaan. Sekalipun keduanya sepakat bahwa etika keutamaan dapat dipertimbangkan sebuah sebuah alternatif yang memadai bagi usaha kita dalam mencari kesamaan di tengah sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, masing-masing memilih jalan yang sangat berbeda. Sementara MacIntyre menafsirkan Aristoteles dari perspektif tradisionalis dan komunitarian, Nussbaum memahami sang filsuf dari sebuah sudut pandang esensialis dan nonrelatif dengan memakai pendekatan kapabilitas. Akibatnya, MacIntyre mengkonstruksi sebuah pandangan yang lebih partikular atas etika keutamaan, sementara Nussbaum lebih menghadirkan sebuah pandangan yang lebih universal atas etika keutamaan. Mengaplikasikan etika keutamaan pada konteks Indonesia, artikel ini berpendapat bahwa masing-masing pendekatan tidak akan memadai untuk menjadi masyarakat yang sangat pluralistis seperti Indonesia. Untuk itu, kita perlu mengkonstruksi sebuah etika keutamaan yang kontekstual di Indonesia yang mempertimbangkan dan memanfaatkan kedua pendekatan tersebut. Kata-Kata Kunci: Keutamaan, etika keutamaan, komunitas, kapabilitas, inkomensurabilitas.