Kadek Wisnu Segara Karya
Rumah Sakit Bhayangkara, Denpasar, Bali

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Kelainan elektrolit berulang pada pasien dengan kecurigaan Sindrom Gitelman Beny Surya Wijaya; Kadek Wisnu Segara Karya
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.639 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1082

Abstract

Pendahuluan: Sindrom Gitelman merupakan tubulopati yang terjadi akibat mutasi pada gen Solute Carrier Family 12 Member 3 (SLC12A3), yang mengkode thiazide-sensitive natrium chloride co-transporter (NCCT) pada membran apikal sel tubulus distal. Sindrom ini bersifat autosomal resesif yang ditandai dengan hipokalemia, alkalosis metabolik, hipomagnesemia, dan hipokalsiuria. Gejala yang sering muncul adalah kram dan kelemahan mulai dari keterbatasan aktivitas ringan hingga berat.Laporan kasus: Laki-laki usia 19 tahun datang dengan keluhan lemas disertai kaku otot seluruh anggota gerak dan leher, mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri ulu hati. Pasien memiliki riwayat rawat inap tiga kali dengan keluhan serupa. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital dalam batas normal, serta adanya tanda Chvostek. Pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal. Pemeriksaan elektrolit menunjukan kadar natrium 118 mmol/L, kalium 2,16 mmol/L, dan klorida 74 mmol/L. Pasien sudah berulang kali melakukan pemeriksaan elektrolit dengan hasil hipokalemia. Delapan bulan sebelumnya, pasien dirawat akibat penurunan kesadaran dengan gambaran alkalosis metabolik, hipokalemia (2,59 mmol/L), hipomagnesemia (0,76 mg/dL) dan hipokalsemia (8,2 mg/dL). Pemeriksaan fungsi ginjal, urinalisis, dan elektrokardiografi dalam batas normal. Berdasarkan keluhan, riwayat penyakit, dan pemeriksaan penunjang berupa hipokalemia berulang, alkalosis metabolik, dan hipomagnesemia, maka dicurigai suatu Sindrom Gitelman. Pasien diterapi dengan kalium klorida (KCl) intravena 50 mEq dalam natrium klorida (NaCl) 0,9% 500 cc dengan laju 20 tetes per menit, tablet KCl 600 mg tiap 8 jam, kapsul garam dapur 500 mg tiap 12 jam, omeprazole serta ondansetron intravena sesuai keluhan. Pasien dirawat inap satu hari dan dipulangkan setelah kadar kalium terkoreksi (3,1 mmol/L) dan keadaan klinis membaik. Pemeriksaan analisis DNA untuk penegakan diagnosis tidak dilakukan karena keterbatasan fasilitas dan biaya.Kesimpulan: Sindrom Gitelman merupakan tubulopati yang bersifat autosomal resesif ditandai dengan hipokalemia, alkalosis metabolik, hipomagnesemia, dan hipokalsiuria. Tatalaksana sindrom ini tergantung pada klinis dan gangguan laboratorium. Suplemen natrium, kalium, dan magnesium merupakan terapi yang paling sering dibutuhkan. Introduction: Gitelman syndrome is a tubulopathy that occurs due to mutations in the Solute Carrier Family 12 Member 3 (SLC12A3) gene, which encodes thiazide-sensitive sodium chloride co-transporter (NCCT) in the apical membrane of distal tubule cells. This autosomal recessive syndrome characterized by hypokalemia, metabolic alkalosis, hypomagnesemia, and hypocalsiuria. Common symptoms are cramps and weakness ranging from mild to severe limitation of activity.Case Report: a 19 years-old-man present a general weakness accompanied by muscle stiffness throughout the limbs and neck, nausea, vomiting, headache, and heartburn. The patient had a history of hospitalization three times with similar complaints. Normal vital signs and Chvostek's sign were found on physical examination. Complete blood count was within normal limits. Electrolyte examination showed sodium 118 mmol/L, potassium 2.16 mmol/L, and chloride 74 mmol/L. The patient had repeated episode of hypokalemia. In the previous eight months, he was admitted due to decreased of consciousness with metabolic alkalosis, hypokalemia (2.59 mmol/L), hypomagnesemia (0.76 mg/dL) and hypocalcemia (8.2 mg/dL). Kidney function, urinalysis, and electrocardiography within normal limits. Based on complaints, medical history, and the results of investigations a Gitelman syndrome was suspected. The patient was treated with 50 mEq intravenous KCL in 500cc NaCl 0,9% at a rate of 20 drops per minute, 600 mg KCl tablets every 8 hours, 500 mg table salt capsules every 12 hours, intravenous omeprazole and ondansetron as needed. The patient discharged after the potassium level was corrected (3.1 mmol/L) and improved clinical condition. Follow-up examination in the form of DNA analysis was not carried out due to limited facilities and funding.Conclusion: Gitelman syndrome is an autosomal recessive tubulopathy characterized by hypokalemia, metabolic alkalosis, hypomagnesemia, and hypocalciuria. Management of this syndrome in accordance with clinical and laboratory abnormalities that occur. The most frequently needed therapy are sodium, potassium, and magnesium supplement.
Perbandingan efektivitas dan keamanan antara roxadustat dan epoetin alfa sebagai terapi anemia pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler: meta analisis Kadek Wisnu Segara Karya; Ni Luh Parameswari Praptika; Nyoman Yudia Trianadewi Nurbudhi; Yenny Kandarini
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1481.005 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1130

Abstract

Introduction: Chronic kidney disease (CKD) is a global health problem. Hemodialysis (HD) is one of the treatment modalities for end-stage renal disease which is commonly used. A complication that is often found in patients undergoing regular HD is anemia. Roxadustat is a prolyl hydroxylase inhibitor (PHI) which has a potential as an alternative therapy for anemia in patients undergoing regular HD. The aim of this meta-analysis was to compare the efficacy and safety of roxadustat and epoetin alfa as anemia management in patients undergoing regular HD.Methods: We searched the literature sources in the PubMed, MEDLINE, Cochrane, Scopus, Embase, Elsevier, and Proquest databases until June 1, 2021. The search terms used were chronic kidney disease, hemodialysis, dialysis, roxadustat, epoetin alfa, anemia management, incidence of side effects, randomize, and randomization. We excluded the study population with acute kidney injury/dyslipidemia/metabolic syndrome. All analyzes in this meta-analysis were performed using Review Manager version 5.3 (RevMan Cochrane, London, UK).Result: We have found five eligible studies (2777 patients). Funnel plots and p-Egger were examined to assess publication bias. The results showed a statistically significant difference between roxadustat and epoetin alfa with respect to the mean difference of hemoglobin (Hb) (WMD: 0.31; p<0.05), hepcidin (WMD: -18.94; p<0.05), transferrin (WMD: 67.88; p<0.05), transferrin saturation (WMD: 2.78; p<0.05), iron (WMD: 5.02; p<0.05) and risk of adverse events (OR: 1.25; p<0.05) displayed on the forest plot.Conclusion: Based on this meta-analysis, it can be concluded that anemia management with roxadustat is better than epoetin alfa in patients undergoing regular HD. Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global. Hemodialisis (HD) merupakan salah satu modalitas terapi PGK stadium akhir yang umum digunakan. Komplikasi yang sering ditemukan pada pasien yang menjalani HD reguler adalah anemia. Roxadustat adalah suatu prolyl hydroxylase inhibitor (PHI) yang memiliki potensi sebagai alternatif terapi anemia pada pasien yang menjalani HD reguler. Tujuan dari meta-analisis ini adalah untuk membandingkan efektivitas dan keamanan antara roxadustat dan epoetin alfa sebagai manajemen anemia pada pasien yang menjalani HD reguler.Metode: Kami mencari sumber literatur pada database PubMed, MEDLINE, Cochrane, Scopus, Embase, Elsevier, dan Proquest hingga 1 Juni 2021. Istilah pencarian yang digunakan yaitu penyakit ginjal kronis, hemodialisis, dialisis, roxadustat, epoetin alfa, manajemen anemia, kejadian efek samping, acak, dan pengacakan. Kami mengeksklusi populasi penelitian dengan cedera ginjal akut/dislipidemia/sindrom metabolik. Semua analisis dalam meta-analisis ini dilaksanakan dengan menggunakan Review Manager versi 5.3 (RevMan Cochrane, London, UK).Hasil: Kami menemukan lima studi yang memenuhi syarat (2777 pasien). Funnel plot dan p-Egger diperiksa untuk menilai bias publikasi. Hasil menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik antara roxadustat dan epoetin alfa terhadap perbedaan rerata dari hemoglobin (Hb) (WMD: 0,31; p<0,05), hepsidin (WMD: -18,94; p<0,05), transferin (WMD: 67,88; p<0,05), saturasi transferin (WMD: 2,78; p<0,05), zat besi (WMD: 5,02; p<0,05) dan risiko kejadian efek samping (OR: 1,25; p<0,05) yang ditampilkan pada forest plot.Kesimpulan: Berdasarkan meta-analisis ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen anemia dengan roxadustat lebih baik dibandingkan dengan epoetin alfa pada pasien yang menjalani HD reguler.
Hubungan penyakit komorbiditas terhadap derajat klinis COVID-19 Kadek Wisnu Segara Karya; I Made Suwidnya; Beny Surya Wijaya
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 2 (2021): (Available Online: 1 August 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (822.42 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i2.1143

Abstract

Pendahuluan: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Komorbiditas merupakan faktor risiko keparahan dan mortalitas pada pasien COVID-19. Tingginya prevalensi COVID-19 disertai dengan variasi klinis yang luas mengindikasikan bahwa telaah prediktor derajat klinis COVID-19 sangat diperlukanMetode: Penelitian analitik potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Denpasar. Data demografi dan klinis pasien rawat inap usia usia ?18 tahun dengan COVID-19 dikumpulkan pada periode Agustus 2020-Januari 2021 dengan metode Total Sampling. Kriteria inklusi meliputi pasien usia ?18 tahun yang menjalani rawat inap dengan diagnosis COVID-19 yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2. Sampel dikategorikan menjadi derajat berat-kritis dan sedang. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitikHasil: Terdapat 153 pasien COVID-19 dengan rerata usia 47±15 tahun dan mayoritas laki-laki (60%). Sebagian besar pasien mengalami gejala sedang (77,1%). Gejala utama meliputi demam (71,9%), sesak (16,3%) dan batuk (7,2%). Sebagian pasien memiliki komorbiditas (42,8%). Komorbiditas yang ada paling banyak ditemukan adalah hipertensi (21,6%) dan diabetes melitus (17,6%), diikuti dengan gagal ginjal kronis (5,9%) dan penyakit jantung (4,6%). Sebagian besar pasien (71,9%) menunjukkan hasil bacaan x-ray thorax normal. Mayoritas pasien tidak dirujuk (86,3%) dengan median lama rawat inap 12,5 hari. Hanya 2% pasien yang meninggal. Hasil analisis bivariat menunjukkan pasien dengan usia >50 tahun, adanya komorbid dan gambaran x-ray thorax abnormal berhubungan dengan derajat berat-kritis. Komorbiditas hipertensi, diabetes melitus dan gagal ginjal kronik yang masing-masing berhubungan dengan derajat klinis COVID-19 berat-kritis. Pada analisis multivariat hanya gambaran x-ray thorax abnormal dan adanya penyakit komorbiditas yang berhubungan dengan derajat klinis COVID-19 berat-kritis.Simpulan: Adanya penyakit komorbid hipertensi, diabetes melitus, penyakit ginjal kronis disertai gambaran x-ray thoraks abnormal merupakan faktor prediktor infeksi COVID-19 derajat berat-kritis.  Introduction: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a viral infection caused by Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Comorbidity is a risk factor for severity and mortality in COVID-19. The high prevalence of COVID-19 accompanied by a wide clinical variation makes determining the predictors of COVID-19 clinical severity an important endeavor.Methods: A cross-sectional study was conducted at Bhayangkara Hospital Denpasar. Demographic and clinical data of inpatients aged 18 years with COVID-19 were collected from August 2020-January 2021 with the total sampling method. Inclusion criteria included 18 years of age hospitalized with a confirmed COVID-19 diagnosis by SARS-CoV-2 RT-PCR examination. The samples were categorized into severe-critical and moderate infection. Data was analyzed in both descriptive and analytics manner.Results: There were 153 COVID-19 patients with an average age of 47±15 years, and the majority were male (60%). Most experienced moderate symptoms (77.1%). The main symptoms included fever (71.9%), shortness of breath (16.3%) and cough (7.2%). Almost half had comorbidities (42.8%). The most common were hypertension (21.6%) and diabetes mellitus (17.6%), followed by chronic kidney disease (5.9%) and heart disease (4.6%). Most of the patients (71.9%) had a normal chest x-ray. Most patients did not need a referral (86.3%) and were treated with a median length of stay of 12.5 days. The mortality rate was 2%. The results of bivariate analysis showed that patients aged >50 years, comorbidities and abnormal chest x-rays were associated with severe infection. Comorbidities of hypertension, diabetes mellitus and chronic kidney disease were associated with severe-critical infection. In the multivariate analysis, only abnormal chest x-ray images and the presence of comorbid diseases were associated with the clinical degree of severe-critical COVID-19.Conclusion: The presence of comorbid hypertension, diabetes mellitus, chronic disease accompanied by an abnormal chest x-ray was a predictor of severe-critical COVID-19 infection.