Lince Bulutoding, Lince
Unhas

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Analisis terhadap Faktor–Faktor Penentu Perilaku Kepatuhan Pajak dalam Konsep Islam Bulutoding, Lince
Patria Artha Management Journal Vol 1, No 2 (2017): Patria Artha Manajemen Journal
Publisher : Patria Artha University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.1525/92

Abstract

ABSTRACT The concept of obedience in Islam always calls for obedience to God and His apostles and to ulil amri or leader (Quran 4:59). Obedience to the leader is one form of obedience to God as long as it is not immoral (Sadi, 2015b: 103; and Shihab, 2012b: 584). Obedience to leaders can also mean compliance in the fulfillment of obligations to the state in terms of taxes. The behavior of tax compliance is a form of obedience to Allah and His Messenger. The purpose of this study is to examine the determinants of compliance behavior of taxpayers, adjusted to the values believed in Islam. Research method in this research is exploratory research by using factor analysis to 285 taxpayers in Malaysia, with the number of variables analyzed by 29 variables. Based on the result of factor analysis, this research shows that there are 19 variables that have loading factor above 0.40 by forming 6 (six) factors formed. Keyword: Morals, Behavior of Tax Compliance, Behavior Control, Social Factor, and Accountability. PENDAHULUANManusia sebagai khalifatul fil ardh (wakil Allah) diberikan amanah atau tanggungjawab untuk memakmurkan bumi, demi kemanfaatan manusia, dan dalam melaksanakan kegiatannya, manusia di beri petunjuk oleh Allah swt berupa Al-Quran dan Hadis (Huda et al., 2012:77). Islam membentuk manusia untuk berperilaku yang baik (akhlakul karimah) dan  mendorong manusia untuk merasa dekat dengan Tuhannya (Kartikowati dan Zubaedi, 2016:121).Struktur keagamaan Islam, tidak mengenal pemisahan antara domain duniawi dan domain agama. Dasar sesungguhnya yang paling sentral diserukan oleh Al-Quran (QS. 2:2), agar menjadi manusia yang muttaqin yaitu beriman “percaya kepada yang gaib”, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat (Kuntowijoyo, 1996:167). Salah satu pengembangan karakter bangsa adalah harmonisasi perilaku kepatuhan wajib pajak (Huda et al., 2012:147-149).Konsep perilaku kepatuhan pajak dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan Islam. Konsep kepatuhan di dalam Islam terdapat dalam  Al-Qur’an (QS. 4:59), yakni Allah telah mempersamakan ketiganya yaitu; Allah sendiri, Rasulullah, dan Ulil Amri atau pemerintah, masing-masing dalam ruang lingkupnya, masing-masing wajib ditaati dan dipatuhi (Syaltut, 1986:648). Ketaatan kepada ulil amri (pemegang kekuasaan) adalah  ketaatan kepada lembaga-lembaga atau pemimpin yang berwenang sepanjang bukan kemaksiatan (Khatsir, 2016b:429; As-Sa’di, 2015b:103; dan Shihab, 2012a:586), misalnya perilaku kepatuhan dalam pajak (Khamis et al., 2011). Pajak adalah kewajiban kepada negara (Lewis, 2001). Nilai-nilai Islam berdasarkan tawhid merupakan nilai yang dianut setiap muslim dalam keimanan dan penegasan atas keesaan Allah (Mulawarman, 2007).Penelitian ini adalah penelitian eksploratori dibidang perilaku kepatuhan pajak yang dikaji dalam konsep Islam. Penelitian ini termotivasi dari penelitian Rasak dan Adafula (2013) yang mengatakan bahwa perlu adanya penelitian eksplorasi terhadap studi kepatuhan pajak berdasarkan agama individu. Pertanyaan penelitian adalah: (1) apakah semua variabel yang telah disintesa mampu menangkap perilaku kepatuhan pajak di Negara Malaysia? (2) variabel apa saja yang membentuk satu faktor ? TINJAUAN PUSTAKAIslam selalu mengedepankan perilaku dengan akhlak yang baik, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw (Sa’di, 2015e:64; dan Hag, 2011:47). Ajaran Islam merupakan ajaran yang berpusat pada pembentukan akhlak yang mulia dalam upaya memenuhi tuntutan agar dapat menjadi abdi Allah yang patuh (Jalaluddin, 2015:43). Konsep kepatuhan dalam Islam selalu menyerukan untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada ulil amri atau pemimpin (QS. 4:59). Ketaatan kepada pemimpin adalah salahsatu bentuk ketaatan kepada Allah sepanjang bukan perbuatan maksiat (Sa’di, 2015b:103; dan Shihab, 2012b:584). Ketaatan kepada pemimpin dapat juga diartikan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban kepada negara dalam hal pajak.Ketaatan kepada Ulil Amri (pemegang kekuasaan) adalah  ketaatan dalam perilaku kepatuhan pajak (Khamis et al., 2011). Indikator perilaku kepatuhan pajak (Palil, 2010) adalah (1) Kesediaan wajib pajak untuk mematuhi undang-undang pajak, (2) Menyatakan (menghitung) pendapatan dengan benar (3) Mengklaim pemotongan yang benar (4) Membayar semua pajak tepat waktu. Ciri atau corak dari kepatuhan pajak menurut self assessment system (Undang-undang R.I. nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan) bahwa wajib pajak diwajibkan untuk (1) menghitung, (2) memperhitungkan, dan (3) membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang (4) melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar (Sari, 2016:96).Niat dalam konsep Islam adalah keinginan atau maksud hati yang dilihat sesuai dengan tujuan, yang mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudarat yang harus ikhlas karena Allah dan benar serta mengikuti ketentuan syariah. Jika berniat dan tidak segera mengerjakannya maka disebut tekad (Nawawi et al., 2012:12). Segala perbuatan harus didahului dengan niat, jika niatnya baik maka perilakunya akan baik (akhlakul karimah) tetapi jika niatnya buruk maka perilakunya akan buruk (akhlakul madzumah) (Hag, 2011:108).Niat dalam Islam merupakan barometer sahnya sebuah amalan atau perbuatan. Niat perilaku mempunyai dua syarat; (1) niat yang ikhlas karena Allah dan benar. (2) sesuai dengan ketentuan syariah (Rahman et al., 2012). Misalnya orang berniat membayar pajak, maka niat tersebut harus ikhlas karena Allah, sebagai ciri-ciri orang yang ikhlas yaitu: menghitung dan membayar pajak tanpa paksaan, tepat waktu (disiplin) dan jujur. Pemenuhan syarat kedua di atas akan terwujud jika orang yang berniat membayar pajak sesuai dengan ketentuan atau sesuai dengan aturan yang berlaku, misalnya syarat-syarat atau tatacaranya yang sesuai dengan ketentuan (niat menghitung, membayar, memperhitungkan dan melaporkan) maka kebenaran lahir akan terwujud (Nawawi et al., 2012:11).Islam mengenal akhlak berasal dari bahasa arab yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Menurut Ibnu Maskawih  bahwa akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajadkan fikiran. Selanjutnya Al-Ghazali memberikan pengertian akhlak ialah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja (Iqbal, 2013:200-201).Akhlak adalah merupakan ciri khas perilaku Islam. Akhlak merupakan pemberian atau rahmat Allah (QS. 3:159) karena adanya keiman seseorang sehingga bersikap sopan santun dan berakhlak baik mentaati perintah (Sa’di, 2015a:523; Shihab, 2012b:310; dan Katsir, 2016b:219-220). Akhlak timbul karena adanya hubungan baik dengan sang khaliq (pencipta) dan makhluk yang diciptakan (Iqbal, 2013:201).Orang yang berakhlak baik yakni orang yang bersikap sopan santun, mentaati perintah, jujur, membenarkan yang haq (benar) dan melawan yang batil (salah). Konsep keimanan di dalam Islam dapat dilihat atau diukur dari pemahaman akidah (rukun iman), syariah (rukun Islam) dan akhlak (ihsan) seseorang. Dari semua pengertian yang ada maka dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu kemantapan jiwa secara jujur yang muncul dari keimanan untuk membenarkan yang haq atau menolak yang batil dalam setiap perilaku.Komponen keiman seseorang dapat diukur dengan pemahaman tentang aspek-aspek ajaran pokok dalam Islam (Purwanto, 2007:216). Menurut Yasin (2008:3) bahwa Ada tiga materi atau fondasi dalam Islam. Ketiga fondasi tersebut sangat erat kaitannya dan tidak bisa dipisah-pisahkan (Nurhayati  dan Wasilah, 2011:17). Lebih lanjut Yasin menjelaskan bahwa tiga materi yang biasanya disebut rukun agamayaitu:Pertama: Iman/akidah yang biasa juga disebut ilmu tauhid, ilmu kalam atau ilmu ushuluddin adalah merupakan sebuah keyakinan yang tersimpul atau terpatri dalam hati sanubari terhadap sejumlah kebenaran yang wajib diterima berdasarkan  akal, wahyu, dan fitrah manusia tanpa sedikitpun keraguan terhadapnya (Asse’, 2008:86).Kepercayaan yang dianut atau diyakini oleh seseorang akan diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak yang dibangun di atas keyakinan (akidah) Islam akan menyebabkan seseorang dapat membedakan yang haq dan yang batil karena ajaran Islam selalu menjadikan kebenaran sebagai dasar dari setiap perilakunya. Seorang Islam yang betul-betul beriman, akan mengetahui dan mempunyai dasar keyakinan atas setiap perilaku tersebut, seperti akhlak terhadap pajak. Keyakinan atas perilaku tersebut di dasarkan kepada Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para ulama.Keyakinan (akidah) terhadap pajak, tentunya seorang wajib pajak harus mempunyai pengetahuan atau pemahaman terhadap pajak (Razak dan Adafula, 2013), sehingga dapat meyakini bahwa pajak tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pajakadalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Departemen Keuangan R.I (UU No.27  tahun 2007, pasal 1).Pada masa awal pemerintahan Islam, maka konsep anggaran yang dianut adalah anggaran berimbang atau surplus. Tetapi konsep ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena adanya pembiayaan kebutuhan negara yang semakin tinggi sehingga pemerintahan Islam menganut anggaran defisit, dan anggaran defisit diyakini berorientasi kepada pertumbuhan. Ada tiga ekonom Islam yang setuju dengan anggaran defisit. Pendapat pertama, menurut Mannan bahwa sebuah negara Islam moderen harus menerima konsep anggaran defisit, dengan perbedaan pokok adalah dalam hal menangani defisit (kekurangan) anggaran. Mannan memberikan cara penanganan defisit yaitu: merasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit (utang) dari sistem perbankan dalam negeri atau dari luar negeri. Pendapat kedua, Umer Capra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit, namun dengan solusi bahwa defisit yang terjadi harus ditutupi dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas yaitu ekspansi moneter dan meminjam. Meminjam dapat menimbulkan riba. Pendapat ketiga, Zallum setuju dengan anggaran defisit tetapi cara penanganan dari anggaran defisit ini dengan jalan penguasaan BUMN dan pajak, pinjaman tidak diperbolehkan oleh hukum syara’, sedangkan persyaratan tertentu (yang menyertai pinjaman), sama saja dengan menjadikan negara-negara atau lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslimin (Gusfahmi, 2011:138-141). Dari uraian di atas, maka penulis setuju terhadap pendapat Zallum, sehingga diyakini bahwa pajak adalah bentuk partisipasi sebagai warga negara kepada pemerintah pada saat kondisi baitul maal dalam keadaan kosong dan pajak merupakan kebijakan pemerintah yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Kedua: Islam/syariah yang biasa juga disebut ibadah atau ilmu fikih.  Syariah ini bermakna pokok-pokok aturan hukum yang digariskan oleh Allah swt untuk dipatuhi dan dilalui oleh seorang muslim dalam menjalani segala aktifitas hidupnya (ibadah) di dunia baik yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah mahdhah) maupun hubungan yang mengatur antara manusia dan manusia serta sesama makhluk ciptaan Allah swt (ibadahmuamalah) (Nurhayati dan Wasilah, 2011:14). Manusia di dalam hidupnya disamping beriman kepada Allah, maka juga harus mengikuti hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan syariah yang telah digariskan oleh Allah swt. Islam sangat memperhatikan kemaslahatan di dalam kehidupan setiap manusia untuk menyembah-Nya. Salah satu contoh hukum-hukum Allah yang diterapkan dalam kehidupan manusia yaitu pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan pajak bahwa hukum pajak harus dipatuhi, mengikuti norma-norma membayar pajak dan taat terhadap aturan pajak.Ketiga: Ihsan/Akhlak atau ilmu tasawuf. Melalui ihsan, seseorang akan selalu merasa bahwa dirinya dilihat atau selalu diawasi oleh Allah swt, melihat dan mendengar sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, walaupun dikerjakan di tempat yang tersembunyi. Bahkan Allah swt mengetahui segala fikiran dan lintasan hati makhluknya (Asse,’ 2008:90; dan Iqbal, 2013:201). Ihsan yang paling tinggi  di dalam kehidupan manusia ketika manusia beribadah kepada-Nya (menginginkan dan mencari) seakan-akan manusia melihat Allah. Dalam hal pajak diyakini bahwa membayar pajak merupakan bentuk kesyukuran kepada Allah swt, (inilah derajat ihsan yang paling sempurna). Derajat yang kedua yaitu jika manusia di dalam kehidupannya selalu beribadah dengan perasaan takut terhadap siksaan Allah (Nawawi, 2012:60). dan Jika Ihsan diaplikasikan di dalam pajak bahwa Allah selalu mengawasi tindakan manusia (Mahdavikhou dan Khotanlou, 2012)  bahwa segala perilaku kepatuhan pajak pasti ketahuan.Persepsi atau pandangan seseorang atau kelompok terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain dari tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku sasaran perilaku yang sedang dipertimbangkan (Ajzen, 1991; dan 2005). Tekanan sosial tersebut bisa dari teman-teman, orang tua, saudara, dan anggota keluarga, serta orang lain yang dianggap lebih mengetahui tentang perilaku tersebut. Contoh Pihak-pihak yang mempengaruhi keyakinan seseorang  dalam perilaku pajak sebagai berikut: (1) konsultan/ ahli pajak yang mendukung dan mengerti tentang issue, seorang teman yang paling dekat dalam lingkungan, keluarga, pasangan dan pekerja atau karyawan (Trivedi et al., 2005). (2) Pihak yang mempengaruhi keyakinan seorang WP adalah; Teman yang paling dekat dalam lingkungan, konsultan pajak/ ahli pajak yang mengerti tentang issue, petugas pajak (pihak fiskus), pimpinan perusahaan (jika WPOP sebagai pekerja di perusahaan) (Salman dan Sarjono, 2012).Menurut Ajzen (1991) bahwa Kontrol Perilaku Persepsian (perceived behavioral control) didefenisikan sebagai kemudahan atau kesulitan persepsian untuk melakukan perilaku. Kontrol perilaku dapat berupa faktor situasi dan kondisi atau lingkungan Kontrol perilaku merupakan fungsi dari probabilitas yang dirasakan bahwa kekuatan faktor (kekuatan keyakinan) dan kekuatan faktor-faktor ini untuk memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku  (Ajzen, 2006). Konsep Islam memahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan sebagai abdi Allah di muka bumi. Penghambaan diri dan kebutuhan manusia kepada-Nya dari sisi ibadah dan tauhid, dijelaskan oleh Allah (QS. 18:42) bahwa Allah menciptakan, memberikan rizki dan zat pengatur langit dan bumi (Sa’di, 2015e:125). Allah-lah yang menghilangkan segala kesulitan dan kesusahan manusia (QS. 20:62). Allah yang memberikan segala rizki manusia, (Sa’di, 2015e:324). Allah mengendalikan segala urusan di alam semesta (QS.13:2), mengangkat derajat sejumlah orang dan menghinakan yang lain (Sa’di, 2015d:4). Allah menetapkan takdir atas manusia sebelum manusia tersebut diciptakan (QS. 57:22)  dan telah tertulis dalam kitab (Lauhul mahfuzh)  (Katsir, 2016i:388; dan Sa’di, 2015g:154). Allah yang mengendalikan semua kehidupan di dunia ini, sehingga apa yang menimpa manusia adalah merupakan kehendak Allah. Ini membuktikan bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh variabel kontrol yang berasal dari luar diri seorang individu.Menurut Ajzen 2005 bahwa faktor Kontrol perilaku seseorang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan atau situasional yang menentukan sejauh mana keadaan memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku. Faktor situasi atau faktor lingkungan yaitu kondisi  yang memfasilitasi, mencerminkan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk terlibat dalam perilaku (Armitage dan Conner, 2001). Misalnya perilaku kepatuhan pajak, adalah: audit pajak akan mempengaruhi niat seseorang untuk membayar pajak karena kuatir akan dikenakan denda jika ketahuan, laporan pihak ketiga, sistem pajak online akan memudahkan para wajib pajak melaksanakan aktifitas perpajakannya (Anuar dan Othman, 2010), dan pajak yang telah dikompensasi dengan zakat yang telah dibayar.  Menurut Ajzen (1991)  bahwa dalam konteks tertentu seseorang tidak hanya merasakan tekanan sosial tetapi juga perasaan peribadi dari kewajiban atau tanggung jawab moral untuk menolak atau melakukan perilaku tersebut. Kontrol perilaku yang berasal dari dalam diri (Kontrol Internal) yaitu keyakinan diri individu dalam hal kemampuannya untuk melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005; dan Taylor dan Todd, 1995). Faktor internal seperti informasi, ketrampilan atau kemampuan seseorang yang bermaksud melakukan perilaku merupakan faktor penghambat atau faktor pendukung untuk melakukan perilaku. Pengalaman masa lalu akan mempermudah dan menghambat perlaksanaan sebuah perilaku karena di dalam pengalaman masa lalu ada faktor pengetahuan. Faktor emosi dan dorongan ketrampilan yang tidak cukup, kemampuan dan informasi dapat menimbulkan masalah kontrol.  Faktor pengetahuan dan informasi akan menyebabkan seseorang merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, sehingga akan mempengaruhi niatnya melakukan perilaku (Ajzen, 2005). Penjelasan Ajzen dalam TPB belum menyentuh ranah spiritual karena konsep perilaku yang dibangun belum menjelaskan komponen aspek al-nafs, al-aql dan al-qalb secara keseluruhan. Ajzen hanya menjelaskan motivasi yang dibentuk oleh aql dan nafs manusia, sehingga dalam setiap perilakunya belum mempertimbangkan konsekuensi yang akan didapatkan dari setiap perilakunya. Berbeda dengan konsep Islam bahwa faktor pengetahuan dan informasi yang dibangun dari komponen aql dan qalb manusia. Aql memiliki daya memahami pengetahuan dan informasi yang bersifat manusia serta qalb manusia sebagai daya memahami dan merasakan yang haq (kebenaran) dan ilham (ilmu-ilmu dari Tuhan) (Purwanto, 2007:160-161),  sehingga menghasilkan suatu keyakinan (self efficacy) yang kuat di dalam dirinya. Selanjutnya nafs akan selalu mendorong manusia kearah kebaikan karena adanya aql dan qalb yang saling berkolaborasi untuk mengarahkan manusia kepada nafsul muthmainnah, sehingga akan muncul niat yang baik di dalam diri seseorang. Self-efficacy menurut Bandura (1986) adalah merupakan salah satu faktor yang dapat berhasil mencapai perilaku yang diperlukan untuk hasil tertentu karena keyakinan diri yang kuat akan melakukan kontrol dalam diri seseorang (Bandura, 1990; dan 1999).   Keyakinan dalam konsep Islam adalah keyakinan yang dibangun atas dasar pengetahuan keimanan kepada Allah. Konsep Islam adalah konsep agama yang paling lengkap dan ini digambarkan dalam al-Qur’an. Ada beberapa ayat yang menggambarkan bahwa al-Qur’an yang paling lengkap dan paling sempurna (QS. 6:115), tidak ada yang lebih benar dan tidak ada yang lebih adil perintah dan larangannya selain al-Qur’an (Katsir, 2016b:348; Sa’di, 2015b:517; dan Shihab, 2012c:629). Salah satu berita al-Qur’an yang tidak bisa diragukan kebenarannya adalah konsep tentang hisab (perhitungan) yang merupakan bentuk pertanggungjawaban manusia di padang masyar kelak. Daya memahami dan daya merasakan hisab yang dimaksudkan (QS. 88:25-26) bahwa manusia pada hari kiamat akan dikumpulkan dan Allah akan menghisab atau memperhitungkan segala bentuk pertanggungjawaban manusia semasa hidupnya di dunia (Katsir, 2016j:332; dan Sa’di, 2016g:522). Pertanggungjawaban atas perbuatan manusia (QS. 74:38) akan mendapatkan balasan kelak (Sa’di, 2016g:405). Daya memahami dan daya merasakan tentang adanya hisab atau pertanggungjawaban kelak di padang masyar adalah merupakan konsekuensi yang akan diterima oleh manusia sebagai akibat dari perilakunya semasa hidup di dunia. Akuntabilitas adalah sebuah konsep yang berpusat terhadap pemahaman tentang keadilan, kejujuran dan tanggung jawab (Morland, 2006). Kesiapan manusia untuk dikonfirmasi atau diverifikasi kelak adalah merupakan keberadaan konsekuensi (pertanggungjawaban) yang akan menjadi daya dorong bagi manusia. Daya dorong tersebut akan menyebabkan manusia berusaha untuk memperbaiki segala tindakannya kelingkungan. Inilah yang menjadi dasar akuntabilitas di dalam diri manusia.Segala aktifitas manusia dalam kehidupan didasarkan pada nilai-nilai Islam yang diyakininya  yang memiliki kaitan erat dengan kehidupan batinnya (Ramayulis, 2011:117). Triyuwono (2006:340) melihat konsep akuntabilitas dalam Islam menjadi “jiwa” atau menjadi dasar “etika” (Triyuwono, 2003). Tetlock (1984) mendefinisikan akuntabilitas sebagai bentuk dorongan psikologi yang membuat seseorang berusaha untuk mempertanggungjawabkan semua keputusan yang diambilnya (Mardisar dan Sari, 2007). Mordhah (2012) mengatakan Akuntabilitas adalah kewajiban perasaan batin yang memotivasi seseorang untuk melaksanakan tugasnya secara efektif. Akuntabilitas dapat mendorong seseorang untuk bertanggungjawab di dalam setiap tindakan dan perilakunya (Passyn dan Sujan, 2006). Daya dorong atau motivasi yang dimiliki manusia akan menyebabkan manusia tersebut menyelesaikan tugasnya secara efektif. Perasaan batin inilah yang merupakan kekuatan pada manusia untuk selalu mempertanggungjawabkan segala kegiatannya dengan niat yang baik untuk menyelesaikan perbuatan tersebut. Menurut Libby dan Luft (1993), Cloyd (1997), dan Tan dan Alison (1999) melihat bahwa ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas seorang individu: (1) Seberapa besar motivasi mereka untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan. Motivasi secara umum merupakan di dalam diri seseorang yang mendorong keinginan individu tersebut untuk melakukan kegiatan tertentu dalam rangka mencapai tujuannya. (2) Seberapa besar usaha (daya fikir) yang diberikan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Orang yang mempunyai akuntabilitas tinggi mencurahkan usaha (daya fikir) yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mempunyai akuntabilitas rendah ketika menyelesaikan pekerjaannya  (Cloyd, 1997). Ikuti yang benar dan ikhlas kepada Allah QS. (34:46), berdialoglah dengan jiwa sendiri maka dengan itu  akal pikiran akan memahami suatu kondisi (Sa’di, 2015e:704). Orang yang mempunyai akuntabilitas tinggi akan mencurahkan daya fikirnya yang lebih besar, melakukan perenungan terlebih dahulu dengan tujuan atau niat mengikuti kebenaran dan ikhlas kepada Allah serta menggunakan akal dan fikrannya di dalam memahami sebuah persoalan, dalam mengambil sebuah keputusan. (3) Seberapa yakin seorang individu bahwa pekerjaannya akan diperiksa oleh atasan (Tetlock dan Kim, 1987). Keyakinan seorang individu bahwa segala perilakunya semasa hidupnya akan dipertanggungjawabkan nanti di padang masyar (QS. 40:17), tidak ada yang dirugikan pada hari itu karena semuanya dinilai secara adil (Sa’di, 2015f:268). Orang yang memiliki keyakinan akan mempunyai akuntabilitas tinggi bahwa segala perbuatannya nanti atau segala aktivitasnya di muka bumi semasa hidupnya akan diperiksa atau diadili di padang masyar.Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas adalah bentuk motivasi atau dorongan psikologi yang berasal dari dalam diri seseorang karena adanya keyakinan untuk mempertanggungjawabkan segala perilakunya kelak. Seseorang akan dianggap memiliki pertanggungjawaban di bidang pajak jika memiliki: (1) motivasi untuk menyelesaikan kewajiban, (2) melibatkan daya fikir, (3) keyakinan pertanggungjawaban kelak, (4) dan siap dikonfirmasi.METODOLOGI PENELITIAN            Penelitian ini adalah eksploratori riset, dimana menguji sampel wajib pajak yang berada di Negara Malaysia. Penelitian ini menguji 29 variabel untuk mendapatkan berapa banyak kelompok faktor yang terbentuk, Sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak 285 responden dengan menggunakan skala 1-7 poin. Variabel yang dibentuk dalam penelitian ini disintesa dari teori barat dan prinsip Islam dan dikondisikan dengan Negara Malaysia. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor dengan menggunakan rotasi varimax. Adapun jumlah variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah 29 butir sebagaimana tercantum pada lampiran 1.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN            Hasil pengujian yang menggunakan analisis faktor dengan menggunakan software SPSS 20. Dari hasil pengujian maka di dapatkan hasil penelitian menunjukkan KMO dan Barlett’s test sebagai berikut:   Tabel 1. Nilai KMO dan Barlett’s TesKMO and Bartletts TestKaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy..748Bartletts Test of SphericityApprox. Chi-Square1269.360Df190Sig..000     Sumber: Data diolah Hasil pengujian menunjukkan nilai Kaisar Meyer Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO) sebesar 0,748 dengan nilai sig sebesar 0,000. Nilai ini menunjukkan bahwa analisis faktor dapat dilanjutkan karena nilai KMO nya > dari 0,50 dan nilai sig 0,000. (Santoso, 2017:78). Selajutnya pengujian ini menggunakan rotasi varimax dengan nilai sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran 2. Dari 29 variabel yang diujikan terhadap 285 wajib pajak di Negara Malaysia, dalam rangka meneliti faktor-faktor penentu perilaku kepatuhan pajak. Jika nilai korelasi variabel dengan masing-masing faktor ditentukan sebesar 0,40,  maka berdasarkan jawaban responden, hanya sebanyak 19 variabel  yang mampu menjadi faktor penentu perilaku kepatuhan wajib pajak di negara malaysia.     Dari uraian dalam Lampiran  2 menunjukkan bahwa:Variabel keyakinan bahwa pajak merupakan kewajiban yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam masuk ke dalam faktor 3, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,802.Variabel mematuhi hukum-hukum perpajakan masuk ke dalam faktor 3, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0, 664.Variabel membayar pajak merupakan bentuk kesyukuran masuk ke dalam faktor 3, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,796.Variabel mengikuti saran konsultan atau ahli pajak dalam aktivitas perpajakan masuk ke dalam faktor 6, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,722.Variabel teman selalu memberikan saran tentang kewajiban pajak masuk ke dalam faktor 6, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0, 702.Variabel audit pajak menyadarkan tentang perilaku kepatuhan perpajakan masuk ke dalam faktor 4, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,700.Variabel laporan pihak ketiga penyebab peningkatan kepatuhan pajak masuk ke dalam faktor 4, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,510.Variabel sistem pajak online memudahkan dalam melaksanakan administrasi perpajakan masuk ke dalam faktor 4, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,712.Variabel rajin membayar pajak karena dikompensasi dengan zakat yang telah dibayar masuk ke dalam faktor 4, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,641.Variabel terdorong untuk menyelesaikan kewajiban pajak masuk ke dalam faktor 5, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,848Variabel tidak perlu menunda-nunda kewajiban pajak masuk ke dalam faktor 5, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,716.Variabel menghitung pajak secara cermat masuk ke dalam faktor 5, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,410.Variabel saya berniat membayar pajak tanpa paksaan masuk ke dalam faktor 1, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,750.Variabel saya berniat membayar pajak secara jujur masuk ke dalam faktor 1, dengan mempunyai loading faktor sebesar 0,783.Variabel saya berniat membayar pajak tepat waktu masuk ke dalam faktor 1, dengan loading faktor sebesar 0,785.Variabel saya berniat menghitung pajak secara jujur masuk ke dalam faktor 1, dengan loading faktor sebesar 0,694.Variabel saya menghitung pajak sesuai ketentuan yang berlaku masuk ke dalam faktor 2, dengan nilai loading faktor sebesar 0,738.Variabel saya membayar pajak tepat waktu masuk ke dalam faktor 2, dengan nilai loading faktor sebesar 0,783.Variabel saya melaporkan pajak tepat waktu masuk ke dalam faktor 2, dengan nilai loading faktor sebesar 0,816.  Dari uraian di atas menunjukkan bahwa dari 29 variabel direduksi hanya menjadi 6 (enam) faktor yang terbentuk dalam  penelitian ini dan keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut:Faktor 1 (pertama)  disebut kelompok: niat membayar pajak tanpa paksaan, secara jujur, tepat waktu dan menghitung pajak secara jujurFaktor 2 (kedua) disebut kelompok: menghitung, membayar dan melaporkan pajak.Faktor 3 (ketiga) disebut kelompok: keyakinan, taat, dan bentuk kesyukuran  dalam hal perilaku kepatuhan perpajakan.Faktor 4 (keempat) disebut kelompok: audit pajak, laporan pihak ketiga, sistem pajak online, dan Rajin membayar pajak karena dikompensasi dengan zakat.Faktor 5 (kelima) disebut kelompok: terdorong menyelesaikan pajak, tidak perlu menunda-nunda kewajiban pajak, dan menghitung pajak secara cermat.Faktor 6 (keenam) disebut klompok: mengikuti saran konsultan atau ahli pajak dan teman yang selalu memberikan saran. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanPenelitian ini adalah penelitian eksplorasi dan dari hasil penelitian analisis faktor yang diteliti terhadap para wajib pajak di Negara Malaysia. Ada 29 variabel yang diuji tetapi hanya 19 variabel yang menjadi variabel penentu perilaku kepatuhan pajak. Faktor yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 faktor dan kelompok faktor tersebut adalahFaktor 1 (pertama)  disebut kelompok: niat membayar pajak tanpa paksaan, secara jujur, tepat waktu dan menghitung pajak secara jujurFaktor 2 (kedua) disebut kelompok: menghitung, membayar dan melaporkan pajak.Faktor 3 (ketiga) disebut kelompok: keyakinan, taat, dan bentuk kesyukuran  dalam hal perilaku kepatuhan perpajakan.Faktor 4 (keempat) disebut kelompok: audit pajak, laporan pihak ketiga, sistem pajak online, dan Rajin membayar pajak karena dikompensasi dengan zakat.Faktor 5 (kelima) disebut kelompok: terdorong menyelesaikan pajak, tidak perlu menunda-nunda kewajiban pajak, dan menghitung pajak secara cermat.Faktor 6 (keenam) disebut klompok: mengikuti saran konsultan atau ahli pajak dan teman yang selalu memberikan saran.Saran Penelitian ini adalah penelitian eksplorasi dimana sampel penelitian adalah wajib pajak di Negara Malaysia, sebagai salah satu negara yang menerapkan sistem self assesment  dengan menerapkan regulasi zakat sebagai kredit pajak. Untuk lebih menangkap atau lebih menggambarkan perilaku Islam, atau menjadi bahan perbandingan, maka perlu penelitian serupa di negara yang betul-betul dikelola secara Islami tetapi juga menerapkan regulasi perpajakan, sehingga betul-betul menggambarkan variabel penentu perilaku kepatuhan pajak yang sesuai dengan konsep Islam. Implikasi Penelitian            Penelitian ini adalah penelitian eksplorasi, dimana penelitian ini akan membawa implikasi terhadap penelitian serupa dalam bidang metodologi untuk lebih menghasilkan hasil penelitian tentang perilaku akuntansi yang lebih Islami atau yang sesuai dengan prinsip Islam. Penelitian ini dapat menjadi motivasi penelitian selanjutnya dalam bidang perilaku akuntansi untuk lebih mengkaji perilaku kepatuhan pajak dalam konsep Islam. Penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut yang harus dihubungkan dengan teori yang sesuai dengan konsep Islam.
Analisis terhadap Faktor–Faktor Penentu Perilaku Kepatuhan Pajak dalam Konsep Islam Bulutoding, Lince
Patria Artha Management Journal Vol 1, No 2 (2017): Patria Artha Manajemen Journal
Publisher : Patria Artha University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7.612 KB) | DOI: 10.1525/98

Abstract

The concept of obedience in Islam always calls for obedience to God and His apostles and to ulil amri or leader (Quran 4:59). Obedience to the leader is one form of obedience to God as long as it is not immoral (Sadi, 2015b: 103; and Shihab, 2012b: 584). Obedience to leaders can also mean compliance in the fulfillment of obligations to the state in terms of taxes. The behavior of tax compliance is a form of obedience to Allah and His Messenger. The purpose of this study is to examine the determinants of compliance behavior of taxpayers, adjusted to the values believed in Islam. Research method in this research is exploratory research by using factor analysis to 285 taxpayers in Malaysia, with the number of variables analyzed by 29 variables. Based on the result of factor analysis, this research shows that there are 19 variables that have loading factor above 0.40 by forming 6 (six) factors formed.
Perbandingan Kinerja dan Pengungkapan Etika Islam pada PT Bank Muamalat dengan PT Bank BRI Syariah Bulutoding, Lince; Akbar, Muh. Ruslim
Al-Mashrafiyah (Jurnal Ekonomi, Keuangan dan Perbankan Syariah) Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.82 KB) | DOI: 10.24252/al-mashrafiyah.v1i2.4729

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dan perkembangan kinerja dan pengungkapan etika pada PT Bank Muamalat dan PT Bank BRI Syariah dengan menggunakan metode Shariah Conformity and Profitability (SCnP) dan Ethical Identity Index (EII) periode 2015 dan 2016. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan analisis statistik deskriptif.Hasil menunjukkan bahwa pada tahun 2015 dan 2016, kinerja PT Bank Muamalat dan PT Bank BRI Syariah berpredikat memuaskan dan cukup sehat namun memiliki hasil yang berbeda. Sementara Perbandingan dan perkembangan pengungkapan etika Islam pada PT Bank Muamalat dan PT Bank BRI Syariah juga menunjukkan kondisi yang berbeda pada setiap dimensi pengungkapan.Kata Kunci: Kesesuaian dan Profitabilitas Syariah (SCnP), Ethical IdentityIndex (EII), dan Perbankan Syariah
Penerapan Sharia Compliance Sebagai Prinsip Sharia Governance Pada Bank Muamalat Indonesia Tbk. Cabang Makassar Jamal, Angriani; Asse, Ambo; Bulutoding, Lince; Abdullah, Muhammad Wahyuddin
Al-Mashrafiyah (Jurnal Ekonomi, Keuangan dan Perbankan Syariah) Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (503.068 KB) | DOI: 10.24252/al-mashrafiyah.v3i1.7424

Abstract

This research article reviews the application of sharia principles in this case sharia compliance to the Bank Muamalat Indonesia Tbk Makassar Branch, related to the preparation of financial statements. The research is a qualitative research, with paradigm interpretive and hermeneutic-critical approach that is adhering to the critical concept in Islam that according to Al-Madkhali. The result of analysis showed that the application of the overall principles of sharia will realize a financial statement with the presentation of earnings that are not only in favor of the bank alone or is material but also have the value of spiritual, besides charity-oriented balancing character egoistic and alturistik, character materialistic and spiritualistic and qualitative and quantitative characters on the financial statements and this study also shows that the time value of money, historical cost, accrual basic and substance over form is not in accordance with Islamic principles / values of Islam. The implication of this study is raising awareness for the regulator to determine the accounting standards of sharia in particular the basic concepts of accounting in accordance with the values of sharia. Keywords: Sharia compliance, Sharia Governance, maslahah concept, and the concept of accounting.Artikel penelitian ini mengulas penerapan prinsip syariah dalam hal ini kepatuhan syariah terhadap Bank Muamalat Indonesia Tbk Cabang Makassar, terkait penyusunan laporan keuangan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan paradigma interpretif dan hermeneutik-kritis yang berpegang pada konsep kritis dalam Islam menurut Al-Madkhali. Hasil Analisis tersebut menunjukkan bahwa penerapan prinsip syariah secara keseluruhan akan mewujudkan sebuah laporan keuangan dengan penyajian laba yang tidak hanya menguntungkan bank sendiri atau material tetapi juga memiliki nilai spiritual, disamping karakter penyeimbang amal yang berorientasi egoistik, dan alturistik, karakter materialistik dan spiritualistik dan kualitatif dan kuantitatif pada laporan keuangan dan penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai waktu uang, biaya historis, dasar akrual dan substansi diatas tidak sesuai dengan prinsip/nilai nilai Islam. Implikasi dari penelitian ini adalah meningkatkan kesadaran bagi regulator untuk menentukan standar akuntansi syariah khususnya konsep dasar akuntansi sesuai dengan nilai syariah. Kata Kunci: Sharia Compliance, Sharia Governance, Konsep Maslahah, Konsep Akuntansi.