Ketut Kwartantaya Winaya
Departemen Dermatologi Dan Venereologi FK Udayana / RSUP Prof. Dr. IGNG Ngoerah Denpasar, Bali, Indonesia

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

KARAKTERISTIK PENDERITA ACNE VULGARIS DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) INDERA DENPASAR PERIODE 2014-2015 I Gede Arya Eka Wibawa; Ketut Kwartantaya Winaya
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 11 (2019): Vol 8 No 11 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.701 KB)

Abstract

Acne vulgaris merupakan penyakit kulit yang paling banyak dikeluhkan oleh setiap masyarakat. Ditandai dengan gambaran klinis berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut. Lebih banyak menyerang remaja, pada orang tertentu tingkat keparahannya dapat berlangsung lebih lama dengan lesi yang terus berkembang hingga usia dewasa. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui karakteristik dari penyakit acne vulgaris di Rumah Sakit Umum Indera, Denpasar, Bali. Desain penelitian ini adalah non-experimental dengan metode deskriptif dan pendekatan cross-sectional. Melalui teknik sekunder yang didapat dengan melihat rekam medis pasien acne vulgaris di Poliklinik Kulit Rumah Sakit Indera Provinsi Bali. Dilakukan pencatatan data berdasarkan jumlah pasien, usia, jenis kelamin, gejala klinis, dan pekerjaan pada bulan Juli 2014 - Maret 2015. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa dari 66 pasien acne vulgaris, kelompok terbanyak adalah pada rentang usia 15-24 tahun yaitu 39 orang (59,1%). Jenis kelamin yang paling banyak ditemukan adalah perempuan sebanyak 47 orang (71,2%). Gejala klinis terbanyak adalah tipe papulopustular sebanyak 55 orang (83,3%). Pekerjaan yang terbanyak adalah golongan pelajar sebanyak 39 orang (59,1%). Kata Kunci : Karakteristik, Acne vulgaris
Recurrent Verruca Vulgaris Treated with Combination of 80% Trichloroacetate and Electrosurgery: a Case Report Nyoman Yoga Maya Pramita; Ketut Kwartantaya Winaya; I Gusti Nyoman Darmaputra
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 34 No. 1 (2022): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V34.1.2022.73-76

Abstract

Background: Verruca vulgaris is one of the most common benign skin tumor caused by human papillomavirus (HPV) type  1, 2, 3, 4, 27 and 57. HPV caused infection is often recurrent leading to frustration due to loss of time and medical expenses. Monotherapy gives a varied response, and in the case of recurrence, combination therapy can be an option. Purpose: To evaluate the cause and management of recurrent verruca vulgaris. Case: This is a case report of a 33 years-old man complaining of a recurrent wart with a rough surface on his right index finger in the past three months. Initially the patient was treated with electrosurgery, but the warts came back. The patient was a smoker. The warts disappeared after electrosurgery and two sessions of 80% trichloroacetate (TCA), and at the 4th week of observation no new lesion was reported. Discussion: Recurrence of verruca vulgaris often occurs using monotherapy, thus requires other modalities. The combination of electrocautery and 80% TCA provides good clearance with low recurrence. Conclusion: Combination treatment for recurrent warts is effective for clearing the lesion and prevent recurrence.
Pengaruh personal hygiene terhadap timbulnya akne vulgaris pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana I Putu Indra Ardhiyana Putra; Ketut Kwartantaya Winaya
Intisari Sains Medis Vol. 9 No. 2 (2018): (Available online: 1 August 2018)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.614 KB) | DOI: 10.15562/ism.v9i2.258

Abstract

Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit kulit yang meradang berasal dari folikel pilosebasea. Ada beberapa Faktor yang mempengaruhi terjadinya akne vulgaris antara lain terdapat peningkatan produksi sebum, penyumbatan folikel pilosebasea, peningkatan kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes. Personal hygiene dapat berpengaruh terhadap timbulnya keluhan penyakit kulit seperti personal hygiene. Kebersihan yang baik adalah kebersihan yang menghilangkan kelebihan sebum tanpa merusak lipid pelindung kulit, dan menghilangkan bakteri dari permukaan kulit. Kebanyakan remaja khususnya pelajar SMA seringkali mengabaikan tentang pentingnya menjaga kebersihan wajah mereka. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara personal hygiene terhadap keluhan acne vulgaris.  Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian crossectional analitik untuk mencari hubungan antara personal hygiene dengan acne vulgaris. Data dari penelitian ini menggunakan data primer yang didapat dari hasil kuisioner  Dengan jumlah sampel sebanyak  43. Sampel penelitian adalah mahasiswa program studi pendidikan dokter angkatan 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.Hasil: Berdasarkan hasil uji chi square antara tingkat personal hygiene dan kejadian akne vulgaris menunjukkan hasil yang signifikan (p=0,020) sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat personal hygiene  dengan kejadian akne vulgaris.Simpulan: Dapat disimpulkan bahwa Mahasiswa yang memiliki tingkat personal hygiene buruk lebih banyak mengalami acne vulgaris. Terdapat hubungan yang signifikan antara menjaga personal hygiene dengan timbulnya akne vulgaris (p=0,020).   
Androgenetic alopecia in woman treated with botulinum toxin Henny Wijaya; Ketut Kwartantaya Winaya
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (963.923 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1205

Abstract

Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of alopecia. AGA in women is called Female Pattern Hair Loss (FHPL). FHPL occurs in 50% of adolescence women. Case Description: A 29-year-old woman presented with hair thinning on the top of her head in the last 3 years. Dermatological status in the parietal region showed a diffuse and ill-define patch of alopecia, and hair thinning was found along the midline of the scalp. The hair pull test in frontal, temporal, and parietal regions was negative. The Severity of Alopecia Tool (SALT) score is 10, and patient belonged to stage 2 according to The Sinclair Scale. Dermoscopy examination revealed scattered white dots over the vertex of the scalp with various hair diameters. Miniaturized hair and vellus hair were found in several areas. The ratio of terminal to vellus hair was 20:6 or 3:1. Injection of 100-unit botulinum toxin in the alopecia area was done every 3 months. After 1 month of treatment, the hair thinning was reduced. Conclusion: Appropriate treatment will affect the prognosis of AGA patients. Appropriate treatment that based on the pathophysiology of the disease and the patient's genetics will provide a good therapeutic response.
Keloid yang diterapi dengan kombinasi bedah listrik dan bedah beku pada seorang perempuan: sebuah laporan kasus dan tinjauan pustaka NI Putu Ayu Riska Yunita Sari; Ketut Kwartantaya Winaya; Roslina Horo; Luh Nyoman Arya Wisma Ariani
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 2 (2022): (In Press : 1 August 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (528.458 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i2.1400

Abstract

Background: Keloids are nodular tumors with a soft and spongy consistency and have a shiny and soft surface. Lesions are absent in hair follicles and adnexal glands. The main mediators include transforming growth factor-beta (TGF-β), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF), and vascular growth factor (VEGF). This case discusses the combination therapy of electrosurgery and frozen surgery in treating keloids. Case description: A woman, 34 years old, Indonesian, has complained of a lump on her left shoulder since ten years ago, which has been getting harder and harder, sometimes accompanied by pain and itching. There was a solitary hyperpigmented nodule in the left deltoid region with firm boundaries, geographic shape, measuring 5.7 cm x 4 cm x 0.8 cm, regular edges, and a smooth and shiny surface. On palpation, the consistency is firm and firm. Dermoscopy showed multiple erythema nodules with vascular structures in the form of arborizing vessels and linear irregular vessels. Electrocauter surgery was performed with cut mode and continued with cryo surgery and the antibiotic ointment gentamicin 0.1% topically every 12 hours on lesions that have undergone electrosurgery, frozen surgery, and paracetamol tablets 500 mg every 8 hours intraorally if pain. On the 36th day of observation, clinical improvement of the lesions was found. Conclusion: Cryo surgery is minimally invasive and can be combined with electrocautery surgery to reduce bleeding. The lesion improvement was seen after the combination treatment was given, although there were still hypertrophic scar lesions.   Latar belakang: Keloid merupakan tumor nodular dengan konsistensi lunak dan kenyal, memiliki permukaan berkilauan dan lunak. Lesi tidak terdapat pada folikel rambut dan kelenjar adneksal. Mediator utama meliputi transforming growth factor beta (TGF-β), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF), dan vascular growth factor (VEGF). Kasus ini membahas terapi kombinasi bedah listrik dan bedah beku pada penanganan keloid. Kasus: Wanita, 34 tahun, warga negara Indonesia, mengeluh adanya benjolan pada bahu kiri sejak 10 tahun yang lalu yang semakin lama semakin keras, terkadang disertai rasa nyeri dan gatal. Pada regio deltoid sinistra didapatkan adanya nodul hiperpigmentasi soliter batas tegas, bentuk geografika, berukuran 5,7 cm x 4 cm x 0,8 cm, tepi reguler, permukaan halus dan mengkilat. Pada palpasi didapatkan konsistensi padat kenyal dan terfiksir. Dermoskopi didapatkan gambaran nodul eritema multipel dengan struktur vaskular berupa arborizing vessels dan linear irregular vessels. Dilakukan tindakan bedah listrik dengan mode cut dan dilanjutkan dengan bedah beku serta salep antibiotik gentamisin 0,1% tiap 12 jam secara topikal pada lesi yang telah dilakukan bedah listrik dan bedah beku dan parasetamol tablet 500 mg tiap 8 jam intraoral bila nyeri. Pengamatan hari ke 36 didapatkan perbaikan klinis lesi. Simpulan: Bedah beku merupakan tindakan invasif minimal dan dapat dikombinasikan dengan bedah listrik untuk mengurangi perdarahan selama tidakan dilakukan. Perbaikan lesi telihat setelah diberikan tindakan kombinasi walaupun masih terdapat lesi skar hiperterofik.
Karsinoma sel basal tipe campuran yang diterapi dengan eksisi dan island pedicle flap: laporan kasus I Dewa Made Rendy Sanjaya; I Gusti Nyoman Darmaputra; Ketut Kwartantaya Winaya; I Gusti Ayu Agung Elis Indira; Herman Saputra
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 2 (2022): (In Press : 1 August 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.46 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i2.1471

Abstract

Introduction: Basal cell carcinoma (BCC) is a malignant neoplasm originating from non-keratinized cells. The incidence increases worldwide and one of the triggering factors is excessive exposure to ultraviolet (UV) rays. The therapy aims to eradicate the tumor and maintain optimal organ function and cosmetic results after the procedure, one of which is the excision technique accompanied by an island pedicle flap. Case Description: A man, 67 years old, came with a complaint of a black lump on the left cheek accompanied by a wound that did not heal. Based on the history, physical examination, and investigations, the patient was diagnosed with mixed type BCC. Excision and wound closure were performed with the island pedicle flap technique. Conclusion: The treatment chosen in this case is surgical excision and island pedicle flap. Although the wound healing is classified as good, the prognosis of the patient is dubius. Considering the location of the lesion and the histopathological results showing an aggressive tumor with a tendency to metastasize, the patient is advised to take precautions.   Pendahuluan: Karsinoma sel basal (KSB) adalah neoplasma ganas yang berasal dari sel non keratin. Terjadi peningkatan insiden KSB di seluruh dunia dan salah satu faktor pencetusnya adalah paparan sinar ultraviolet (UV) berlebih. Terapi yang dilakukan bertujuan untuk mengeradikasi tumor serta tetap mempertahankan fungsi organ dan hasil kosmetik yang optimal paska tindakan, salah satunya dalah dengan teknik eksisi yang disertai island pedicle flap. Deskripsi kasus: Seorang laki-laki, usia 67 tahun, datang dengan keluhan benjolan kehitaman pada pipi kiri yang disertai luka yang tidak kunjung sembuh di atas benjolan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien terdiagnosis KSB tipe campuran. Dilakukan tindakan eksisi dan penutupan luka dengan teknik island pedicle flap. Simpulan: Tatalaksana yang dipilih pada kasus ini adalah pembedahan eksisi serta island pedicle flap. Meskipun penyembuhan luka tergolong baik, namun prognosis pasien dubius. Mengingat lokasi lesi dan hasil histopatologi yang menunjukkan tumor agresif yang memiliki kecenderungan metastase, pasien disarankan untuk melakukan pencegahan.
Kadar feritin yang rendah merupakan faktor risiko melasma pada wanita Aurelia Stephanie; Luh Made Mas Rusyati; Ni Luh Putu Ratih Vibriyanti Karna; Ketut Kwartantaya Winaya; Nyoman Suryawati; I Gusti Ayu Agung Dwi Karmila
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 2 (2022): (In Press : 1 August 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.212 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i2.1473

Abstract

Introduction: Melasma is an acquired pigmentation disorder characterized by symmetrical hyperpigmented patches, most commonly seen on the face. Melasma and iron deficiency are most common in women of reproductive age. Iron deficiency causes a decrease in ferritin levels, which are iron stores in the body. The mechanism of iron deficiency causing melasma is thought to be due to cell hypoxia in the tissue involving mediators that increase melanogenesis. This study aims to prove that the mean ferritin level is lower in melasma than without melasma and that low ferritin levels are a risk factor for melasma in women. Methods: A case-control research included 28 participants with melasma and 28 without melasma who visited the dermatovenereology department of Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah Hospital, medical cosmetic division, in May-July 2022. The two groups will compare ferritin mean and ferritin risk factor analysis on the incidence of melasma. Data were tabulated and analyzed using SPSS 26. Results: The mean age in the melasma group was 40.64±3.39 years old, and the group without melasma was 37.64±3.50 years old (p=0.75). Of the 28 melasma subjects, there were more subjects with low ferritin levels (60.7%) than the group without melasma (32.1%). From the results of the Mann-Whitney test, the mean ferritin level in the melasma group (36.32±31.05) was significantly lower than in the non-melasma group (58.26±5.39); p=0.006. From the results of the Chi-Square test, it was found that low ferritin levels had a risk of 3.2 times the occurrence of melasma [OR (95% CI) = 3.2 (1.098-9.776), p=0.032]. Conclusion: The mean ferritin level in women with melasma is lower than in women without melasma, and low ferritin levels are a risk factor for melasma.   Latar Belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi didapat yang ditandai dengan adanya bercak hiperpigmentasi simetris, paling sering terlihat pada wajah. Melasma dan defisiensi besi paling sering dijumpai pada wanita usia reproduktif. Defisiensi besi menyebabkan turunnya kadar feritin yang merupakan cadangan besi dalam tubuh. Mekanisme defisiensi zat besi menyebabkan melasma diduga akibat hipoksia sel di dalam jaringan melibatkan mediator yang meningkatkan melanogenesis. Studi ini bertujuan untuk membuktikan rerata kadar feritin lebih rendah pada melasma dibandingkan tanpa melasma serta membuktikan kadar feritin yang rendah merupakan faktor risiko melasma pada wanita. Metode: Studi case-control yang melibatkan 28 subjek dengan melasma dan 28 subjek tanpa melasma yang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah divisi kosmetik medik periode Mei-Juli 2022. Kedua kelompok akan dibandingkan rerata feritin dan analisis faktor risiko feritin terhadap kejadian melasma. Data ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan SPSS 26. Hasil: Rerata usia pada kelompok melasma 40.64±3,39 tahun dan kelompok tanpa melasma 37,64±3,50 tahun (p=0,75). Dari 28 subjek melasma, didapatkan lebih banyak subjek dengan kadar feritin rendah (60,7%) dibandingkan kelompok tanpa melasma (32,1%). Dari hasil uji Mann-Whitney didapatkan rerata kadar feritin pada kelompok melasma (36,32±31,05) lebih rendah secara signifikan dibandingkan pada kelompok bukan melasma (58,26±5,39); p=0,006. Dari hasil uji Chi-Square didapatkan kadar feritin yang rendah memiliki risiko sebesar 3,2 kali terjadinya melasma [OR (IK 95%) =3,2 (1,098-9,776), p=0,032]. Simpulan: rerata kadar feritin pada wanita dengan melasma lebih rendah dibandingkan wanita tanpa melasma dan kadar feritin yang rendah merupakan faktor risiko melasma.
Keloid yang diterapi dengan kombinasi bedah eksisi dan injeksi kortikosteroid intralesi: sebuah laporan kasus Ketut Wida Komalasari; Ketut Kwartantaya Winaya; Putu Gde Hari Wangsa; I Dewa Made Rendy Sanjaya
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 3 (2022): (In Press 1 December 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.486 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i3.1504

Abstract

Background: Keloids are soft solid tumors with a smooth surface that extend beyond the wound margins and invade adjacent normal tissue. Appears at the age of 10-30 years, occurs as a result of an imbalance between increased collagen synthesis and extracellular matrix. There are several types of therapeutic modalities such as intralesional or topical corticosteroids, surgical excision, electrosurgery, frozen surgery, radiotherapy and laser therapy. Combination therapy of surgical excision and intralesional corticosteroids used for this case. Case Description: A woman, 43 years old, complained since 3 years ago, in the lower left abdomen there is a lump, which has been getting bigger over the past 1 year, sometimes feels pain and itching. In the left inferior abdominal region, multiple tumors were found to be erythematous to hyperpigmented, with firm boundaries, oval in shape, 0.2 cm to 0.5 cm in diameter, with a length and width of 0.3 cm and 0.5 cm, respectively. 1 cm and 1.5 cm, the surface feels smooth and shiny. On palpation, the tumor was fixed and firm in consistency. Surgical excision was performed and continued with intralesional injection of triamcinolone acetonide once a week on keloid and post-excision lesions. There was clinical improvement of keloids, on the 21st day of observation. Conclusion: Surgical excision is minimally invasive and can be combined with weekly intrakeloid triamcinolone acetonide injection therapy for keloid lesions and post-excision area to reduce the risk of new keloids appearing. On follow-up observation of keloids in the left inferior abdominal region, the lesion was getting smaller and softened and there was no new keloid growth in the post-excision area.   Latar belakang: Keloid adalah tumor yang padat lunak, dengan permukaan licin berkembang melebihi batas luka dan menginvasi jaringan normal yang berdekatan. Muncul pada usia 10-30 tahun, terjadi akibat dari ketidakseimbangan antara peningkatan sintesis kolagen dan matriks ekstraseluler. Terdapat beberapa macam modalitas terapi seperti kortikosteroid intralesi atau topikal, bedah eksisi, bedah listrik, bedah beku, radioterapi dan terapi laser. Kasus ini membahas terapi kombinasi bedah eksisi dan kortikosteroid intralesi. Kasus: Seorang wanita, berusia 43 tahun, mengeluh sejak 3 tahun yang lalu, pada perut kiri bawah terdapat benjolan, yang semakin lama semakin membesar selama 1 tahun terakhir, rasa nyeri dan gatal terkadang dirasakan. Pada regio abdominalis inferior sinistra ditemukan tumor multipel berwarna eritema sampai hiperpigmentasi, dengan batas yang tegas, berbentul bulat oval, berdiameter 0,2 cm sampai 0,5 cm, dengan panjang dan lebar masing-masing 0,3 cm dan 0,5 cm serta 1 cm dan 1,5 cm, permukaan teraba licin dan mengkilat. Pemeriksaan palpasi ditemukan tumor terfiksir dan konsistensinya keras. Dilakukan tindakan bedah eksisi dan dilanjutkan dengan injeksi triamsinolon asetonid intralesi seminggu sekali pada lesi keloid dan lesi paska eksisi. Terdapat perbaikan klinis keloid, pada pengamatan hari ke-21. Simpulan: Tindakan invasif minimal seperti bedah eksisi dapat dikombinasi dengan injeksi triamsinolon asetonid intrakeloid seminggu sekali pada lesi keloid dan daerah paska eksisi untuk mengurangi risiko munculnya keloid baru. Pada pengamatan lanjutan keloid pada regio abdominalis inferior sinistra, didapatkan lesi semakin mengecil dan melunak dan tidak terdapat pertumbuhan keloid baru pada daerah paska tindakan eksisi.
Perbandingan kerusakan saraf perifer melalui pemeriksaan elektroneuromiografi pada kusta tipe multibasiler I Dewa Made Rendy Sanjaya; Luh Made Mas Rusyati; Ketut Kwartantaya Winaya; I Komang Arimbawa; I Gusti Ayu Agung Praharsini; Ni Made Dwi Puspawati
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 3 (2022): (In Press 1 December 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15562/ism.v13i3.1523

Abstract

Background: Leprosy is a bacterial infection that is still a neglected disease. This disease leads to peripheral neuropathy despite routine treatment. Moreover, early detection of peripheral neuropathy in leprosy patients is very important. ENMG is known to have fairly good sensitivity and specificity in detecting it. Therefore, this study aims to determine the relationship between type 2 leprosy reactions and the risk of peripheral neuropathy through ENMG examination. Methods: The study design was a prospective, cross-sectional observational study. The research was conducted in July-September 2022 at Prof. dr. I G.N.G. Ngoerah General Hospital, Denpasar. The sample will be selected based on inclusion and exclusion criteria and then divided into two groups as a group with type 2 leprosy reaction and a group without type 2 leprosy reaction. The data were analyzed using SPSS version 25. The analysis was carried out in the form of descriptive and analytical analyses. The analytical analysis used is fisher's exact. Results: This study obtained 20 samples with an average age of 36.2±13.3 years. There were 40% of patients with type 2 leprosy reactions. All patients had polyneuropathy with 30% axonal type polyneuropathy and 70% mixed type. Bivariate analysis showed that there was no significant relationship between type 2 leprosy reaction to the type of peripheral neuropathy and the number of nerves involved based on ENMG examination (p=0.64). Conclusion: From this study, it can be concluded that there was no statistically significant relationship between the type 2 leprosy reaction to the type of peripheral neuropathy and the number of nerves involved based on the ENMG examination.   Latar belakang: Kusta merupakan infeksi bakteri yang masih menjadi  penyakit terbengkalai. Penyakit ini dapat menimbulkan terjadinya neuropati perifer meskipun telah melakukan pengobatan yang rutin. Untuk itu deteksi dini neuropati perifer pada pasien kusta sangat penting. ENMG diketehui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik dalam mendeteksi hal tersebut. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara reaksi kusta tipe 2 dengan resiko neuropati perifer melalui pemeriksaan ENMG. Metode: Disain penelitian ini merupakan observasional prospektif, potong lintang. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September 2022 di RSUP Prof. dr. I G.N.G. Ngoerah, Denpasar. Sampel akan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kemudian di bagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok dengan reaksi kusta tipe 2 dan kelompok tanpa rekasi kusta tipe 2. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 25. Analisis yang dilakukan berupa analisis deskriptif, dan analitik. Analisis analitik yang digunakan berupa fisher’s exact. Hasil: Pada penelitian ini mendapatkan 20 sampel dengan rata-rata berusia 36,2±13,3 tahun. Terdapat 40% pasien dengan reaksi kusta tipe 2. Seluruh pasien mengalami polineuropati dengan 30% merupakan polineuropati tipe aksonal dan 70% tipe campuran. Analissi bivariat menunjukkan tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antara rekasi kusta tipe 2 terhadap jenis nauropati perifer dan jumlah saraf yang terlibat berdasarkan pemeriksaan ENMG (p=0,64). Simpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukannya hubungan yang signifikan secara statistik antara rekasi kusta tipe 2 terhadap jenis nauropati perifer dan jumlah saraf yang terlibat berdasarkan pemeriksaan ENMG.