Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

IMPEACHMENT KEPALA DAERAH DALAM UPAYA MENDORONG GOOD GOVERNANCE Eki Sirojul Baehaqi
An-Nahdliyyah: Jurnal Studi Keislaman Vol 1 No 1 (2022): An-Nahdliyah Jurnal Studi Keislaman
Publisher : STAINU Tasikmalaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.268 KB)

Abstract

Pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia diterapkan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana yang diatur didalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Sejak negara Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah, peran kepala daerah menjadi sangat leluasa (dominan). Sesungguhnya, sistem otonomi daerah diberlakukan dengan harapan dapat mendorong good governance sehingga dapat mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Namun dengan prinsip otonomi sekarang ini, faktanya kita masih dihadapkan pada masalah dominasi kekuasaan yang dimiliki oleh kepala daerah sehingga membuat kepala daerah bertindak secara sewenang-wenang (abuse of authority). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam artikel ini adalah: apa yang dimaksud dengan impeachment serta bagaimana korelasi impeachment dalam mendorong tata pemerintahan yang baik di daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bagaimana kepala daerah membangun pemerintahan yang akuntabel dan bagaimana caranya melakukan impeachment terhadap kepala daerah jika dia tidak melaksanakan pemerintahan yang akuntabel. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengkaji dan menganalisis peran penting kepala daerah dalam mewujudkan good governance. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif normative. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan seringkali kepala daerah melakukan perbuatan pelanggaran hukum baik tindak pidana korupsi, pelanggaran etika maupun sumpah jabatan juga pelanggaran hukum lain sebagaimana diatur didalam Pasal 76 ayat 2 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kepala daerah itu tentunya bertentangan dengan prinsip good governance. Maka untuk mengatasi problem kesewenang-wenangan kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus dapat memperkuat peran pengawasannya dengan memfungsikan institusi impeachment untuk mendorong akuntabilitas Pemerintah Daerah. Impeachment kepala daerah dapat berbentuk tuduhan DPRD atas tindakan pelanggaran hukum kepala daerah namun tak berujung pada pada pemberhentian (accused of unlawful activity) dan tuduhan yang berujung pada pemberhentian kepala daerah dari jabatannya (removal from office).
KETURUTSERTAAN DALAM TINDAK PIDANA Eki Sirojul Baehaqi
An-Nahdliyyah: Jurnal Studi Keislaman Vol 1 No 1 (2022): An-Nahdliyah Jurnal Studi Keislaman
Publisher : STAINU Tasikmalaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.956 KB)

Abstract

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaar feit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Dalam tindak pidana yang melibatkan pelaku lebih dari satu orang dengan didasarkan pada kualitas tindak pidana dibagi menjadi beberapa kategori. Pembagian kategori tersebut diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh karenanya didalam artikel ini penulis merumuskan dua permasalahan antara lain apa pengertian keturutsertaan dalam tindak pidana serta bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi yang turut serta melakukan tindak pidana. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif normatif. Dari hasil peneilitian ditemukan bahwa kualtias pelaku dalam tindak pidana diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana khussunya pasal 55 ayat 1 dan pasal 56. Turut serta dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua peristiwa pidana itu. Dalam praktiknya, kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya yang melahirkan tindak pidana itu. Ketentuan penyertaan yang dibentuk dan dimuat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bertujuan agar dapat dipertanggungjawabkan dan dipidananya orang-orang yang terlibat dan mempunyai andil baik secara fisik (objektif) maupun psikis (subjektif). Yang membedakan seorang mededader dari seorang medeplichtige yaitu orang yang disebut pertama itu secara langsung telah ikut ambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan perbuatan menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan medeplichtige hanya memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan tindak pidana pada saat atau terbukti tindak pidana dilakukan.