Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

SARASWATI SEBAGAI ISTADEWATA MENURUT KAKAWIN WRETTASANCAYA Gusti Nyoman Mastini
Guna Widya: Jurnal Pendidikan Hindu Vol 5 No 2 (2018): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2018
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.876 KB) | DOI: 10.25078/gw.v5i2.1644

Abstract

Perayaan hari raya Saraswati yang dilaksanakan enam bulan sekali atau 210 hari yaitu setiap Sabtu Umanis Wuku Watugunung menurut perhitungan kalender Bali. Hari raya tersebut Nampak dirayakan semakin semarak. Puja Saraswati tidak hanya dilaksanakan dikalangan terbatas seperti pendeta dan pewaris naskah-naskah lontar, tetapi kini pelaksanaannya sudah semakin meluas, yaitu seluruh masyarakat pelajar dan mahasiswa, guru dan dosen, kaum intelektual dan cendekiawan yang lain. Dewi Saraswati yang dipuja oleh umat Hindu ketika perayaan hari suci Saraswati dipuja sebagai Istadewata, sebagai Dewa ilmu pengetahuan.
TRADISI MABEBASAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN BAHASA BALI Gusti Nyoman Mastini
Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Vol. 7 No. 1 (2017)
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (483.637 KB) | DOI: 10.25078/kalangwan.v7i1.1581

Abstract

Tradisi mebebasan merupakan cabang seni yang bersumber pada puisi Bahasa JawaKuna atau Bahasa Kawi. Bahasa Kawi sebagai bahasa pokok untuk dibaca dan ditembangkan,yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali, dan kadang-kadang diberi ulasandengan Bahasa Bali atau Bahasa Indonesia jika situasi kontekstual menuntutunya.Terkait dengan hal di atas dapat disimpulkan bahwa Bahasa Kawi sebagai BahasaSumber, Bahasa Nusantara yang paling tua, dan sebagai bahasa sastra religius. Bahasa Baliberkedudukan sebagai sebagai bahasa daerah besar dan berfungsi sebagai bahasa pergaulan,bahasa sasaran untuk menerjemahkan Bahasa Kawi dan sebagai bahasa pengulas. SedangkanBahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengulas sama seperti Bahasa Bali.
AKSARA BALIDALAM PAWINTENAN WIWA DI GRIYA AGUNG BANGKASA DESA BONGKASA KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG Gusti Nyoman Mastini
Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Vol. 8 No. 2 (2018)
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.36 KB) | DOI: 10.25078/kalangwan.v8i2.1598

Abstract

Tradisi yang melekat dalam keseharian orang Bali adalah tradisi-tradisi yang Hinduistik, keselarasan antara local genius yang bersanding dengan religiusitas Hindu Bali menjadikan tradisi yang berkembang di Bali memiliki berbagai macam makna, begitupula dengan keberadaan aksara Bali memiliki peranan sangat penting dalam tradisi umat Hindu di Bali, Khususnya yang berkaitan dengan tradisi serta ritual. Masyarakat Hindu di Bali sangat antusias melaksanakan tradisi maupun ritual yang tidak terlepas dari peranan aksara. Salah satu tradisi tersebut ialah PawintenanWiwa. PawintenanWiwa adalah pawintenan yang dilaksanakan sebelum seseorang naik menjadi panditaBhawati hanya pada warga Mahagotra Sanak Sapta Rsi. Guru Nabe atau Panglingsir Griya Agung Bangkasa melaksanakan Pawintenan Wiwa ini. Pawintenan Wiwa di dalam pelaksanaannya menggunakan aksara Bali. Penelitian ini membahas tiga permasalahan yakni bentuk, fungsi, serta makna aksara Balidalam Pawintenan Wiwa di Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Ketiga rumusan masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan tiga teori yakni teori Linguistik Struktural, teori Fungsi Bahasa, dan teori Makna. Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan tematis-filosofis. Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa (1) Bentuk aksara Bali yang dirajah pada tubuh (angga Sarira), berdasarkan bentuknya aksara Bali dibawah adalah Tradisi yang melekat dalam keseharian orang Bali adalah tradisi-tradisi yang Hinduistik, keselarasan antara local genius yang bersanding dengan religiusitas Hindu Bali menjadikan tradisi yang berkembang di Bali memiliki berbagai macam makna, begitupula dengan keberadaan aksara Bali memiliki peranan sangat penting dalam tradisi umat Hindu di Bali, Khususnya yang berkaitan dengan tradisi serta ritual. Masyarakat Hindu di Bali sangat antusias melaksanakan tradisi maupun ritual yang tidak terlepas dari peranan aksara. Salah satu tradisi tersebut ialah PawintenanWiwa. PawintenanWiwa adalah pawintenan yang dilaksanakan sebelum seseorang naik menjadi panditaBhawati hanya pada warga Mahagotra Sanak Sapta Rsi. Guru Nabe atau Panglingsir Griya Agung Bangkasa melaksanakan Pawintenan Wiwa ini. Pawintenan Wiwa di dalam pelaksanaannya menggunakan aksara Bali. Penelitian ini membahas tiga permasalahan yakni bentuk, fungsi, serta makna aksara Balidalam Pawintenan Wiwa di Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Ketiga rumusan masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan tiga teori yakni teori Linguistik Struktural, teori Fungsi Bahasa, dan teori Makna. Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan tematis-filosofis. Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa (1) Bentuk aksara Bali yang dirajah pada tubuh (angga Sarira), berdasarkan bentuknya aksara Bali dibawah adalah termasuk aksara-aksara yang tergolong aksara Wijaksara (aksara Swalalita yang diberi pangangge atau busana) dan aksara Modre. Dalam pawintenan ini banyak ditemukan berbagai bentuk salah satunya aksara Wijaksara yang terdiri dari eka aksara, dwi aksara, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, catur dasa aksara dan sodasa aksara. Aksara yang digunakan dalam rarajahanrurub serta aksara Bali dirajah pada tubuh menggunakan aksara-aksara yang konotasinya melambangkan simbol-simbol dewa pada tubuh manusia dan lebih banyak menggunakan aksara Wijaksara serta aksara Modre tentunya dipercaya memiliki kekutan religius magis berbeda dengan aksara Bali lumbrah menggunakan aksara Wreastra; Ragam aksara Bali yang digunakan berdasarkan daerah artikulator adalah guttural (kerongkongan), palatal (langit- langit), cerebral (lidah), dental (gigi), serta labial (bibir). Lebih spesifik lagi yakni dalam ranah tradisional, penyebutan daerah artikulasi tersebut dinamakan dengan kantia, talawia, murdania, dantia, dan ostia. (2) Fungsi aksara Bali pada Pawintenan Wiwa adalah Fungsi Referensial, Fungsi Religius, Fungsi Magis. (3) Makna Aksara Bali Pada Pawintenan Wiwa adalah Makna Sosial Budaya, dan Makna Teologi.
RASA BAHASA DALAM BAHASA BALI Gusti Nyoman Mastini
Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Vol. 9 No. 2 (2019)
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.254 KB) | DOI: 10.25078/kalangwan.v9i2.1614

Abstract

Rasa bahasa di dalam percakapan menggunakan Bahasa Bali sangatlah penting, karena ketika berbicara jika rasa bahasanya sudah sesuai dengan unggul-ungguling Bahasa Bali akan dapat menimbulkan rasa senang. Tetapi sebaliknya jika rasa bahasanya tidak sesuai dengan anggah-ungguhing, maka akan menimbulkan rasa tidak enak/ janggal. Bahasa Bali jika dilihat dari rasa bahasanya dapat dibagi menjadi 3 yakni (1) Rasa bahasa dalam bentuk kata meliputi : (a) kruna alus mider, (b) kruna alus madia, (c) kruna alus singgih, (d) kruna alus singgih, (e) kruna alus sor, (f) kruna mider, (g) kruna andap, dan (h) kruna kasar. (2) Rasa bahasa dan bentuk kalimat meliputi : (a) lengkara alus singgih, (b) lengkara alus madia, (c) lengkara alus sor, (d) lengkara andap, dan (e) lengkara kasar. (3) Selanjutnya Bahasa Bali dilihat dari rasa bahasanya dibagi menjadi (a) bahasa alus, (b) bahasa madia, (c) bahasa andap, dan (d) bahasa kasar.