Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Kajian Ilmu Hukum

TERORISME DAN PEMASYARAKATAN: PROBLEM HUKUM PENDIDIKAN DERADIKALISASI BAGI TERPIDANA TERORISME DI INDONESIA David Hardiago; Syafrinaldi Syafrinaldi
Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2022): Jurnal Kajian Ilmu Hukum
Publisher : Yayasan Pendidikan Islam Almatani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55583/jkih.v1i2.294

Abstract

Abstract This research aims to analyze the issues associated to the ambiguity of deradicalization program for terrorist convicts in the Indonesia penitentiary, focusing on 2 (two) main issues, firstly, whether deradicalization program directed towards terrorist convicts should be a right or an obligation, and the second issue is related to the appropriate measure on how to counteract the radical understanding of terrorist convicts in Indonesia. As a normative legal research, this research uses a statutory, historical, comparative, and conceptual approach. The results of the study conclude that the Law Number 12 of 1995 concerning Corrections still classified education as the right of the convicts and that includes deradicalization program. Keywords: Education, Deradicalization, Terrorism, penitentiary Intisari Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan hukum yang berhubungan dengan ambiguitas pendidikan deradikalisasi bagi terpidana terorisme dalam lembaga pemsyarakatan di Indonesia, dengan fokus pada 2 (dua) permasalahan utama terkait, apakah pendidikan deradikalisasi bagi terpidana terorisme merupakan suatu hak ataukah kewajiban, serta bagiamana mekanisme penanganan yang tepat untuk memerangi pemahaman yang radikal bagi terpidana terorisme di Indonesia. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, sejarah, perbandingan, dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta peraturan teknis pelaksana undang-undang tersebut masih menempatkan pendidikan sebagai hak dari terpidana termasuk pendidikan deradikalisasi. Keywords: Pendidikan, Deradikalisasi, Terorisme, Lapas
APATISME PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA: VIKTIMISASI SEKUNDER TERHADAP KORBAN KEJAHATAN RASISME David Hardiago
Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Jurnal Kajian Ilmu Hukum
Publisher : Yayasan Pendidikan Islam Almatani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55583/jkih.v2i1.444

Abstract

This study aims to analyze legal issues related to law enforcement against racial crimes in criminal law in Indonesia, with a focus on 2 (two) main issues related to,First, what are the factors that cause racism by law enforcement officials in Indonesia.Second, how is the regulatory mechanism related to the protection of victims of racism in Indonesia. As a normative legal research, this research uses statutory approach, case approach, comparative approach, and conceptual approach. The results of the study draw 2 (two) main conclusions namely,First from various factors,The main factor in the occurrence of criminal acts of racism in Indonesia issterotipe what law enforcement officials have committed against Papuan citizens for several reasons which, if related to the case examples in this writing, include: assuming that the Papuan tribe as black people and tribes originating from Eastern Indonesia and as immigrant tribes on the island of Java are stupid people and foreigners because as immigrants with different cultural values, it gives rise to differences in treatment carried out in the law enforcement mechanism that occurs. Second that the provisions regarding racism and criminal penalties for those who commit it are clearly contained in Law Number 40 of 2008 concerning the Elimination of Ethnic and Racial Discrimination. However, it is Indonesia that reserves Article 22 of the International Convention on the Elimination of all forms of racial discrimination orInternational Convention on the Elimination of all Forms of Racial Descrimination 1965 (ICERD), it can be said that it is not subject to the provisions of Article 22 so that it closes the possibility for the Papuan people who want to file a discrimination case through the International Court of Justice. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan hukum yang berhubungan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana rasistem dalam hukum pidana di Indonesia, dengan fokus pada 2 (dua) permasalahan utama terkait dengan, pertama, apakah factor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya rasisme oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Kedua, bagiamana mekanisme pengaturan terkait perlindungan korban rasisme di Indonesia. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menarik 2 (dua) kesimpulan utama yakni, pertama dari berbagai factor yang ada, faktor utama dalam terjadinya tindak pidana rasisme di Indonesia adalah sterotipe yang dilakukan aparat penegak hukum pada warga Negara papua dengan beberepa alasan yang jika dihubungkan dengan contoh kasus pada penulisan ini diantaranya: menganggap bahwa suku Papua sebagai orang kulit hitam serta suku yang berasal dari Indonesia Timur dan sebagai suku pendatang di Pulau Jawa adalah orang-orang bodoh dan orang asing karena sebagai pendatang dengan nilai kebudayaan yang berbeda sehingga menimbulkan adanya perbedaan perlakuan yang dilakukan dalam mekanisme penegakan hukum yang tejadi. Kedua bahwa dalam pengaturan terkait rasisme serta ancaman pidana bagi mereka yang melakukanya secara jelas terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Deskriminasi Etnis dan Ras. Namun, Indonesia yang mereservasi Pasal 22 Konvensi Internasional Pengahpusan segala bentuk deskriminasi rasial atau International Convention on the Elimination of all Forms of Racial Descrimination 1965 (ICERD), dapat dikatakan tidak tunduk terhadap ketentuan Pasal 22 tersebut sehingga menutup kemungkinan untuk Suku Papua yang ingin mengajukan kasus deskriminasi tersebut melalui Mahkamah Internasional.