Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Substitute Heirs : An Overview From Perception And Role Of Ustad In Bengkulu, Indonesia Yusmita Yusmita
JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan Vol 10, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/mzn.v10i1.10158

Abstract

Legal rules regarding substitute heirs are regulated in Article 183 of the Compilation of Islamic Law, which stipulates that heirs who die earlier than heirs can be replaced by their children. Ideally, this rule of law has been disseminated to the community. Ustadz is an officer who directly delivers Islamic laws to the community. The type of this research is descriptive-qualitative research. The research subjects were Ustad who gave religious lectures to taklim assembly in Bengkulu City and the congregation of the taklim assembly. Data collection techniques using interviews. From the results of the study, it can be seen that the majority of Ustad in Bengkulu City do not master Islamic inheritance material, especially the rules regarding substitute heirs. Because of that they rarely convey inheritance material to the public. Regarding the role of Ustad in Bengkulu City in socializing the rules for substitute heirs, they have not played much of this due to several factors. The first factor is that they don't know much about the Islamic inheritance system, especially about the rules of surrogate heirs. Because of that, they did not convey this material to the public. The second factor, the community did not ask them about inheritance problems because they were not interested in studying it more deeply. The third factor, most people use adat in resolving the distribution of inheritance, and if there is a dispute, it is resolved by custom, then the Islamic inheritance rules regarding inheritance distribution, especially substitute heirs, are not a requirement for Bengkulu City Muslims. The institution responsible for disseminating legal regulations that regulate Indonesian Muslims is the Ministry of ReligionAturan hukum tentang ahli waris pengganti diatur pada pasal 183 Komplasi Hukum Islam, yang menetapkan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Idealnya aturan hukum ini sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Ustadz merupakan petugas yang secara langsung menyampaikan hukum-hukum Islam ke pada masayarakat. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskripitif-kualitatif. Subjek Penelitian yaitu Ustadz yang memberikan ceramah agama kepada Majlis Taklim di Kota Bengkulu, dan Jama’ah Majlis Taklim. Teknik pengumpulan data menggunakan Wawancara. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Ustadz di Kota Bengkulu mayoritas tidak menguasai materi waris Islam, terutama aturan tentang ahli waris pengganti. Karena itu mereka jarang menyampaikan materi waris kepada masyarakat. Mengenai peran para Ustadz di Kota bengkulu dalam mensosialisasikan aturan ahli waris pengganti, mereka belum banyak berperan hal ini disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama, karena mereka tidak banyak mengetahui tentang sistem kewarisan Islam terutama tentang aturan ahli waris pengganti. Karena itu materi ini, tidak meraka sampaikan kepada masyarakat. Faktor kedua, masyarakat tidak menanyakan permasalahan waris kepada mereka karena itu mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. Faktor ketiga, masyarakat kebanyakan mempergunakan adat dalam menyelesaikan pembagian waris, dan apabila ada sengketa, maka diselesaikan dengan cara adat, maka aturan waris Islam tentang pembagian waris khususnya ahli waris pengganti tidak menjadi kebutuhan umat Islam Kota Bengkulu.Lembaga yang bertanggung jawab dalam mensosialisasikan peraturan hukum yang mengatur umat Islam Indonesia adalah Kementerian Agama
Keadilan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral Hazairin Yusmita Yusmita
Al-Khair Journal : Management, Education, and Law Vol 3, No 1 (2023): JUNI
Publisher : Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/kh.v3i1.10939

Abstract

Abstract: Most Muslims understand that the law of inheritance is a law whose formulation cannot be changed so that reforms regarding inheritance law in Islam are not carried out by many Muslims, for example, the formula regarding the division of 1: 2 for men and women which most of them regard as a definite conclusion. This research is a literature study with data analysis techniques using content analysis. Sources of data come from books that discuss inheritance law and scientific journals that are in line with this research. Therefore, the renewal of inheritance law is not much done, this is different from Islamic family law which has undergone many reforms. Even so, it does not mean that all Muslims consider it a rule that cannot be changed, but some figures think that inheritance laws in Islam can change according to existing social conditions. This social condition can have an influence on the enactment of a law, including the law of inheritance in Islam. This can be found in the thoughts of national figures, namely Hazairin, who offers new ideas regarding inheritance law in Islam.Keywords: Gender Justice, Bilateral Inheritance, Hazairin's Thought Abstrak: Sebagian besar umat Islam memahami bahwa hukum waris adalah hukum yang tidak dapat diubah, sehingga banyak umat Islam yang tidak mereformasi hukum waris Islam, misalnya rumus pembagian 1 : 2 untuk pria dan wanita, yang merupakan formula sederhana bagi kebanyakan orang. Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka dengan menggunakan teknik analisis data melalui analisis isi. Sumber informasi berasal dari buku-buku tentang hukum waris dan jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian ini. Hasil kajian temuan pada penelitian ini yakni pembaharuan hukum kewarisan ini tidak banyak dilakukan, hal ini berbeda dengan hukum keluarga Islam yang mengalami banyak pembaharuan. Meskipun demikian, tidak berarti semua umat Islam menganggapnya sebagai aturan yang tidak boleh diubah, melainkan sebagai individu meyakini bahwa hukum waris Islam dapat berubah sesuai dengan kondisi sosial yang ada. Kondisi sosial ini dapat mempengaruhi pelaksanaan hukum, termasuk juga hukum kewarisan dalam Islam. Hal ini tercermin dari pemikiran tokoh-tokoh bangsa, khususnya Hazairin, yang mengajukan gagasan-gagasan baru tentang warisan Islam.Katakunci: Keadilan Gender, Sistem Kewarisan Bilateral, Pemikiran Hazairin
Analisis Putusan Hakim Terhadap Perceraian Akibat Murtad Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Yusmita Yusmita; Iwan Romadhan Sitorus; Andika Andika Setiawan
MU'ASYARAH: Jurnal Kajian Hukum Keluarga Islam Vol 1, No 1 (2022): Oktober
Publisher : UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/mua.v1i1.4897

Abstract

Penelitian ini membahas tentang bagaimana analisis putusan hakim terhadap perceraian akibat murtad di Pengadilan Agama Bengkulu. Kemudian menganalisis putusan hakim terhadap perceraian akibat murtad di Pengadilan Agama Bengkulu perspektif hukum Islam dan hokum positif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian library research. Penelitian inii menggunakan metode dokumentasi, yaitu surat putusan Pengadilan Agama Bengkulu nomor 0604/Pdt.G/2017/PA.Bn dan surat putusan Pengadilan Agama Bengkulu nomor 0246/Pdt.G/2014/PA.Bn sebagai perkara perceraian. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa analisis putusan hakim terhadap perceraian akibat murtad di Pengadilan Agama Bengkulu, yaitu pada surat putusan Hakim Pengadilan Agama Bengkulu nomor 0604/Pdt.G/2017/PA.Bn dan 0246/Pdt.G/2014/PA.Bn, Majelis Hakim tidak menjadikan murtad sebagai alasan utama dalam perceraian. Namun, harus ada ketidak rukunan dan perselisihan terlebih dahulu. Analisis terhadap putusan hakim terhadap perceraian akibat murtad di Pengadilan Agama Bengkulu perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, disimpulkan bahwa secara hukum Islam apabila suami istri keluar dari agama Islam (murtad) maka pernikahannya difasakh, dan secara hukum positif bahwa hukum di Indonesia sangat melarang pernikahan beda agama, jangan sampai hakim abai dengan menjadikan murtad bukan masalah utama dalam kasus tersebut.