I Wayan Artayasa
UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

AJARAN BHATARA KUMARA DALAM TUTUR KUMARA TATWA DAN PENGARUH TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA I Wayan Artayasa
Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Vol. 11 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (454.309 KB) | DOI: 10.25078/kalangwan.v11i1.1488

Abstract

Hindus considered Bhatara Kumara in Bali as a protector or guardian deity fornewborn children. Offering and worshiping Bhatara Kumara is very important to do every dayto protect or give children gifts. However, in Tutur Kumara Tatwa, Bhatara Kumara teachingsare not only for children but for all people.The teachings conveyed are a form of self-control in this life. The teaching or educationin Tutur Kumara Tatwa certainly has implications for human life, especially in Bali. Children'seducation is essential to do from an early age to develop good character. Good character isnot only for children but also applies to all human beings. According to Tutur Kumara Tatwa,character education from Bhatara Siwa to Bhatara Kumara originated from a field whereBhatara Kumara was grazing called Argakuruksana. Bhatara Kumara felt like life in solitude.During his life as a shepherd, he had experienced many ups and downs. It is what can belearned as teaching or values in life that can affect human life.Bhatara Kumara was blessed or awarded by Bhatara Shiva to stay young, achievingeternal happiness. Bhatara Kumara is represented as the god of a baby. It means that babiesshould have received character education from their parents. Bhatara Kumara's role in humanlife, especially for Bali's Hindu community, is seen as the God of children from birth to TelungOton's age (630 days). Bhatara Kumara is placed in Pelangkiran and is believed to be thechild's protector or guardian.
STRATEGI SEKOLAH DALAM MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI DHARMAGITA DI SMK KHARISMA, MENGWI, BADUNG I Wayan Artayasa
Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra Vol. 10 No. 1 (2020)
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (377.94 KB) | DOI: 10.25078/kalangwan.v10i1.1604

Abstract

Masyarakat Bali dalam hidupnya tak pernah terlepas dengan sebuah sastra. Dalam sastra itu sendiri memiliki beberapa bentuk yaitu Gancaran, Tembang, dan Palawakya. Tembang (Prawiradisastra,1991:64) yaitu seni suara yang dibangun dari bermacam-macam laras dan nada sebagai bahannya. Tembang yang dikenal masyarakat bali yaitu sekar rare, sekar alit, sekar madya, sekar agung dan tembang pop bali pun juga termasuk yang sangat digemari. Dengan adanya tembang membantu dalam transfer nilai pendidikan karakter. Nilai karakter ialah suatu penggabungan dalam pengelolaan pemikiran, sikap maupun budi pekerti dalam menentukan apa yang baik dilakukan maupun yang tidak baik dilakukan, dalam bentuk permikiran, perkataan maupun perbuatan sehingga terciptanya sifat atau pribadi individu yang khas. Diharapkan agar tembang ini bukan hanya sebagai sarana pelipur lara atau penuangan ekspresi jiwa tetapi mampu berguna sebagai sarana penanaman nilai pendidikan karakter bagi seseorang. Jenis penelitian ini yaitu kualitatif dengan menggunakan metode analisis.
PELESTARIAN SUMBER MATA AIR MELALUI TRADISI NGINGSAH DI DESA ADAT MUNDEH Gek Diah Desi Sentana; I Wayan Artayasa
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 2 (2022): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasionar Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Permas adalah sebutan bagi penari Rejang Lilit di Desa Adat Mundeh, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Rejang Lilit dipentaskan saat piodalan jelih di Pura Pesamuan. Sebelum menarikan Rejang Lilit, jero permas akan melakukan ritual khusus, ngingsah. Ngingsah adalah sebuah ritual pembersihan sebelum memulai piodalan jelih di Pura Pesamuan. Ritual ini berkaitan erat dengan keberadaan sumber mata air di tepi sungai, sumber mata air itu disebut dengan beji. Jero permas harus hadir dalam ritual tersebut, untuk membersihkan diri di beji dan mengambil tirta beji. Tirta inilah yang akan digunakan untuk membersihkan seluruh sarana upakara yang digunakan untuk piodalan jelih. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Fungsionalisme Struktural dari Malinowski, terdapat empat aspek penting yaitu tempat upacara, waktu upacara, alat upacara, orang-orang yang melakukan upacara, memiliki keterkaitan yang kuat. Hasil dari penelitian ini adalah ritual ngingsah menjadikan air sebagai entitas religi, yang mampu melestarikan sumber mata air di Desa Adat Mundeh.