Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : LEX CRIMEN

KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIDANG LALULINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Stella Theresia Karisoh; Marnan A.T. Mokorimban; Victor Demsi Denli Kasenda
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut : 1. Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil di bidang lalulintas dan angkutan jalan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, diantaranya seperti melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus dan melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan bermotor umum serta melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi kendaraan bermotor ditempat penimbangan yang dipasang secara tetap dan melarang atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor,atau perusahaan angkutan umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan dan pengujian kendaraan bermotor, dan perizinan atau melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran yang terjadi. 2. Implementasi kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dilakukan sesuai dengan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya PPNS agar selalu berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Kata kunci : Kewenangan, Koordinasi, Implementasi
Pemberian Ganti Kerugian Sebagai Pemenuhan HAM Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Vernando Satria Bima Murti; Jolly Ken Pongoh; Victor Demsi Denli Kasenda
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dalam pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang merupakan bagian daripada Hak Asasi Manusia. dan untuk mengetahui penegakan Hak Asasi Manusia melalui pemberian ganti kerugian kepada korban salah tangkap. Korban salah tangkap seringkali terjadi di indonesia dikarenakan kekeliruan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas mereka. Kepolisian dalam menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Bukti permulaan yang cukup ini akan dijadikan dasar oleh pihak kepolisian dalam menetapkan tersangka dari kasus tindak pidana. Sekurang-kurangnya pihak kepolisian harus mengantongi dua alat bukti yang sah menurut KUHAP diantaranya adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun pada kenyataanya, pihak kepolisian seringkali mengabaikan hal ini sehingga muncullah kasus salah tangkap ini. Pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang terbukti tidak bersalah merupakan sebuah pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Karena dalam proses pengungkapan perkara pidana tersebut telah mengambil hak-hak dasar korban salah tangkap sebagai contoh, seseorang dipenjara oleh pihak kepolisian maka hak yang dicabut adalah hak kebebasan pribadi yang dimana hal ini termasuk kedalam hak yang melekat dari lahir dan hanya bisa dicabut kalau seseorang benar-benar seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum. Pada pelaksanaannya, korban salah tangkap bisa mengajukan permohonan ganti kerugian. Pengajuan ini dapat dilakukan melalui praperadilan setelah adanya penetapan bahwa perkaranya tidak sah dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan, penetapan tersangka, penyitaan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Kemudian, korban salah tangkap juga bisa mengajukan ke pengadilan negeri apabila kasus salah tangkap tersebut terbukti tidak bersalah pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Korban salah tangkap wajib mendapatkan putusan bebas yang berkekuatan hukum yang tetap agar dapat mengajukan permohonan ganti kerugian. Kata Kunci : Ganti Kerugian, Hak Asasi Manusia, Korban Salah Tangkap.