Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer

Arsitektur Observable-SOA untuk Pengembangan Perpustakaan Digital Terintegrasi Nasional Tri Astoto Kurniawan; Johan A. E. Noor; Nurudin Santoso
Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Vol 8 No 4: Agustus 2021
Publisher : Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25126/jtiik.2021844966

Abstract

Katalog induk nasional (KIN) memegang peran mendasar dalam pengembangan perpustakaan digital terintegrasi nasional. KIN merupakan hasil konsolidasi katalog dari setiap perpustakaan anggota. Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), yang bertanggung jawab untuk membangun KIN, saat ini menggunakan sebuah platform tunggal dalam konsolidasi tersebut. Semua perpustakaan anggota harus menyediakan sistem yang sama, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, untuk bisa berkolaborasi dalam KIN. Arsitektur monolitik seperti ini sangat berpotensi menghalangi perpustakaan yang belum siap dengan sistem yang dibutuhkan untuk berkontribusi dalam pengembangan KIN karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Artikel ini membahas arsitektur Observable-SOA untuk menjadi alternatif arsitektur yang fleksibel sehingga memungkinkan beberapa perpustakaan anggota yang berjalan pada berbagai platformnya masing-masing yang saling berbeda untuk bisa melakukan interoperasi secara efektif dalam mengembangkan KIN. Arsitektur tersebut memanfaatkan konsep yang ada pada SOA (service-oriented architecture) dan pola perancangan Observer. Arsitektur yang diusulkan, berikut algoritme dari beberapa layanan (service) dasar, telah berhasil diuji fungsionalitasnya dalam melakukan konsolidasi KIN dan pencarian katalog pada lingkungan simulasi yang merepresentasikan interoperasi antara Perpusnas dengan setiap perpustakaan anggotanya. Lingkungan uji tersebut melibatkan 4 perpustakaan digital yang diimplementasikan dengan menggunakan 3 sistem perpustakaan terintegrasi yang bersifat open source. Arsitektur Observable-SOA ini bisa menjadi pengganti arsitektur monolitik yang saat ini digunakan oleh Perpusnas untuk mengembangkan KIN tanpa harus membebani perpustakaan anggota dengan berbagai perangkat tambahan. AbstractThe national union catalog (KIN) plays a fundamental role in developing a national integrated digital library (NIDL). KIN is consolidated from the catalogs of its various constituent libraries. The National Library of Indonesia (Perpusnas), which is responsible for building KIN, is currently using a single platform built for such consolidation purposes. All constituent libraries must provide the same system, which includes hardware and software, to collaborate in KIN. This monolithic setting may prevent some libraries, which are not ready with the required system, to contribute in developing such KIN since it costs a lot. This article discusses the Observable-SOA architecture to provide a flexible setting allowing some constituent libraries with various different platforms to effectively interoperate in developing such catalog within a NIDL. Such architecture leverages the Observer design pattern and SOA (service-oriented architecture) concepts. The proposed architecture and some basic services algorithms were successfully tested for its functionalities in consolidating KIN and searching a particular catalog within a simulated environment representing the interoperability between the Perpusnas and its constituents. Such environment involved 4 digital libraries implemented by using 3 open-source integrated library systems (ILSs). This Observable-SOA architecture may be used to replace the monolithic architecture currently used by the Perpusnas to develop KIN without burdening the constituent libraries with various additional systems
Teknik Identifikasi Fitur Berdasarkan Kalimat Pernyataan Kebutuhan dalam Konteks Pengembangan Software Product Line M Syauqi Haris; Tri Astoto Kurniawan
Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Vol 9 No 3: Juni 2022
Publisher : Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25126/jtiik.2022935732

Abstract

Software product line (SPL) adalah konsep software reuse di bidang industri perangkat lunak yang memiliki fase awal berupa domain engineering untuk mengidentifikasi dan memetakan fitur-fitur dari sekumpulan produk perangkat lunak yang akan dikembangkan. Fitur perangkat lunak sering kali diekspresikan secara eksplisit dalam kalimat pernyataan kebutuhan yang ada pada dokumen spesifikasi kebutuhan perangkat lunak (SRS). Saat ini, penelitian tentang otomatisasi identifikasi fitur perangkat lunak berdasarkan dokumen spesifikasi kebutuhan telah banyak diusulkan dengan berbagai metode, namun hasil yang diperoleh kebanyakan adalah kata benda yang dianggap sebagai kandidat fitur. Representasi fitur dengan kata benda dianggap masih terlalu abstrak dan tidak mewakili konsep fitur sebagai kemampuan atau fungsionalitas suatu perangkat lunak. Dalam penelitian ini, identifikasi fitur yang direpresentasikan dengan frasa gabungan kata kerja dan kata benda diusulkan karena dianggap lebih menjelaskan kemampuan  dan fungsionalitas dari suatu perangkat lunak. Pola penulisan kalimat pernyataan kebutuhan dengan requirement boilerplate dimanfaatkan sebagai dasar identifikasi fitur perangkat lunak secara otomatis dengan menggunakan alat bantu pemrosesan bahasa natural atau NLP (natural language processing). Dalam penelitian ini diusulkan 4 (empat) aturan dependency parser, yang merupakan salah satu pipeline dalam NLP. Tingkat keberhasilan metode pada penelitian ini adalah antara 65% sampai dengan 88% untuk 5 kelompok kalimat pernyataan kebutuhan yang diujikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode yang diusulkan pada penelitian ini bisa mengautomasi proses identifikasi fitur pada tahapan domain engineering dalam pengembangan software product line khususnya yang menggunakan metode ekstraktif.AbstractSoftware product line (SPL) is a software reuse concept in the software industry that has an initial phase of domain engineering to identify and map the features of a set of software products to be developed. Software features are often expressed explicitly in the requirement sentences contained in the software requirements specification (SRS) document. Currently, research on the automation of software feature identification based on requirements specification documents has been proposed by various methods, but the results obtained are mostly nouns that are considered feature candidates. Representation of features with nouns is considered too abstract and does not represent the concept of features as capabilities or functionality of the software. In this study, the identification of features represented by combined phrases of verbs and nouns is proposed because it is considered to better explain the capabilities and functionality of software. The pattern of writing a requirement sentence with boilerplate requirements is used as the basis for automatically identifying software features using natural language processing (NLP) tools. In this research, 4 (four) dependency parser rules are proposed, which is one of the pipelines in NLP. The success rate of the method in this study is between 65% to 88% for the 5 groups of sentences that were tested. These results indicate that the method proposed in this study can automate the feature identification process at the domain engineering stage in product line software development, especially those using extractive methods.
Model Formal Negosiasi dalam Sistem Penjadwalan Rapat Berbasis Agen Tresnaningtiyas Sudartik Purbo; Tri Astoto Kurniawan
Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Vol 9 No 7: Spesial Issue Seminar Nasional Teknologi dan Rekayasa Informasi (SENTRIN) 2022
Publisher : Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25126/jtiik.2022976762

Abstract

Sistem penjadwalan rapat menggunakan pendekatan berbasis agen bekerja dengan cara melakukan pencarian secara terdistribusi dalam rangka menemukan waktu pelaksanaan rapat yang dapat diterima oleh para peserta rapat. Dalam proses pencarian tersebut, agen-agen bernegosiasi untuk menyeimbangkan preferensi rapat dan preferensi para peserta rapat. Selama proses tersebut, konflik dapat terjadi dan mengakibatkan negosiasi perlu dilakukan dalam beberapa putaran dimana semakin banyak putaran akan mengurangi efisiensi pencarian. Untuk meningkatkan efisiensi, negosiasi perlu dijaga agar berlangsung secara konvergen. Artikel ini membahas model formal dari negosiasi sistem penjadwalan rapat berbasis agen untuk menjelaskan secara presisi beberapa konsep penting dalam negosiasi penjadwalan rapat berbasis agen sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam pengembangan sistem pada tahap selanjutnya. Konvergensi dalam negosiasi diwujudkan dengan membangun dua fase negosiasi. Pada fase pertama, proposal berisi sejumlah cluster solution, sedangkan proposal pada fase kedua berbentuk specific solution yang dibangkitkan berdasarkan cluster solution yang banyak dipilih peserta rapat. Dalam negosiasi ini, resolusi konflik juga disiapkan untuk mengatasi konflik yang tidak dapat dihindari dengan menerapkan relaxing constraint. Konsep negosiasi ini bisa diimplementasikan sebagai protokol negosiasi dalam sistem penjadwalan rapat berbasis agen. AbstractAn agent-based meeting scheduling system performs a distributed search to find an acceptable meeting time for the participants. In the search process, agents negotiate to balance meeting preferences and those of the participants. Conflicts may occur during the search, resulting in the negotiation in many rounds.  In fact, more rounds will reduce search efficiency. Negotiation needs to be kept convergent for their efficiency. This article discusses a formal model of negotiating an agent-based meeting scheduling system to avoid ambiguity when it is developed. Convergence in negotiations is realized by establishing two negotiation phases. In the first phase, the proposal contains several cluster solutions, while the proposal in the second phase is in the form of a specific solution that is generated based on the cluster solution chosen by many meeting participants. Conflict resolution is prepared to overcome unavoidable conflicts by applying relaxing constraints in this negotiation. This concept is ready to be implemented as a negotiation protocol for an agent-based meeting scheduling system.