Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar (TSL) merupakan salah satu dari kejahatan yang menghasilkan banyak uang secara global yaitu sekitar 5 hingga 23 miliar dolar AS setiap tahunnya, sedangkan di Indonesia, perdagangan ilegal TSL ini diperkirakan menghasilkan Rp 9-13 triliun setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran risiko TPPU dan TPPT dari TSL berdasarkan profil pelaku, wilayah, delik pidana Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAE), dan TSL yang terlibat dalam TPPU; serta mitigasi risiko yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan metodologi explanatory sequential design dalam proses melakukan penilaian risiko. Profil pelaku individu, wilayah Jawa Bali (sebagai sumber aliran dana) dan Sumatera (sebagai tujuan dana), Pasal 21 ayat 2 huruf a UU KSDAE, dan trenggiling ditemukan sebagai profil, wilayah, delik pidana dan TSL yang berisiko tinggi. Risiko TPPU perdagangan ilegal TSL di Indonesia berdasarkan data yang tersedia dapat dinilai rendah hingga menengah. Sementara itu, berdasarkan data yang ada saat ini, sulit menilai risiko TPPT kejahatan TSL. Untuk memitigasi risiko perdagangan ilegal TSL dan TPPU, para pemangku kepentingan melakukan upaya antara lain pelaporan kejahatan TSL yang berbasis teknologi, edukasi dan sosialisasi, penerapan multi-door approach dalam penanganan perkara, kerjasama formal dan informal, serta perbankan hijau.