Tahegga Primananda Alfath, Tahegga Primananda
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

DIPLOMASI SOFT POWER ASIMETRIS BERBASIS SUMBER DAYA KELAUTAN LINTAS BATAS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN Alfath, Tahegga Primananda; Nugroho, Riyo Lian
Legality : Jurnal Ilmiah Hukum Vol 24, No 2 (2016): September
Publisher : Faculty of Law, University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.34 KB) | DOI: 10.22219/jihl.v24i2.4267

Abstract

South China Sea (SCS) conflict starting from the issuance of new maps by People’s Republic of Tiongkok in 1947, mostly claim SCS territory to bring imaginary line called the nine dash line that is based on the historical aspect. Under the UNCLOS, a claim over a territory that is based on stale Historical not justified. The nine-dash line where tensions among countries in the Neighborhood SCS, including Indonesia. There are several peaceful dispute settlement mechanism of UNCLOS including conciliation, binding settlement, arbitration, special arbitration. SCS dispute settlement should use the methods of peaceful settlement that called diplomatic win-win solution. Asymmetric soft power diplomacy that takes into account the interests of both countries and organizations will be able to be an alternative dispute resolution SCS protracted, with a record of win-win solution can be felt directly to their dispute. The method used is using the method with the approach of the Statute Law Research Approach and Conceptual Approach, supported by Legal Materials Primary and Secondary Legal Materials.
Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Hadi, Syaiful; Alfath, Tahegga Primananda; Syarifudin, Trianita Yandhini
Lex Scientia Law Review Vol 2 No 2 (2018): Kajian Hak Asasi Manusia Antara Perlindungan, Pemenuhan, dan Penegakan Hukum
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (705.54 KB) | DOI: 10.15294/lesrev.v2i2.27591

Abstract

Reklamasi wilayah pesisir menjadi kian marak dipelbagai daerah, dengan dalih peningkatan investasi dan pendapatan daerah, perizinan untuk melakukan reklamasi seakan mudah, BUMN/BUMD atau swasta dijadikan mitra kerjasama oleh pemerintah sebagai pelaksana proyek reklamasi. Proyek reklamasi yang dilegalkan oleh pemerintah didasarkan atas akan adanya konservasi laut, investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pembangunan hunian tepi laut. Padahal proyek reklamasi tersebut bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat sekitar khususnya masyarakat nelayan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut yang kemudian menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap penghidupannya, hal ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan hal tersebut, masalah hukum yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pertama, kewajiban pemerintah dalam perlindungan hak asasi manusia terhadap masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua, apakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan dibawahnya telah memberikan akses perlindungan terhadap hak asasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.