Thomas Oni Veriasa
Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W -IPB), Lembaga Alam Tropika Indonesia

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Memperbaiki Kinerja Perhutanan Sosial Menuju Keberlanjutan Hutan Jawa Thomas Oni Veriasa; Bambang Tri Daxoko; Novan Aji Imron; Andri Santosa; Muhammad Kosar
Policy Brief Pertanian, Kelautan, dan Biosains Tropika Vol 5 No 4 (2023): Policy Brief Pertanian, Kelautan dan Biosains Tropika
Publisher : Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/agro-maritim.5.4.17-28

Abstract

Di Pulau Jawa, pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak dapat dipisahkan dari dinamika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah . Transformasi kebijakan pengelolaan Hutan Jawa secara signifikan dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang membagi kewenangan pengelolaan hutan untuk memperkuat kolaborasi multipihak dan desentralisasi tanggung jawab pengelolaan hutan termasuk Perhutanan Sosial. Pada pasal 112, peraturan ini menjelaskan tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus di Pulau Jawa. Pada program Perhutanan Sosial kesenjangan yang “tinggi” terjadi pada aspek pendampingan dan pemanfaatan. Namun, kesenjangan “moderat” pengelolaan PS terjadi di seluruh aspek yang dinilai yaitu pendampingan, pemanfaatan dan keberlanjutan. Pada pendampingan, kesenjangan terjadi pada intervensi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah tidak sebaik pada saat pra izin PS Beberapa hambatan mencakup kurangnya sumber daya pendamping dari pemerintah, tarik ulur wewenang tenaga pendamping dari pemerintah pusat dan daerah, serta perubahan regulasi yang cepat di tingkat pusat. Pada beberapa kasus studi, ditemukan persoalan inklusivitas pengelolaan hutan yang mana penerima izin bukanlah orang yang membutuhkan akses kelola sehingga menyebabkan kegiatan pengelolaan PS menjadi tidak fokus dan cenderung mandeg. Lebih luas persoalan inklusivitas berkaitan dengan desentralisasi pengelolaan hutan dan hambatan kerja-kerja multipihak. Walaupun regulasi terbaru mengatur soal desentralisasi pengelolaan hutan sampai ke tingkat provinsi, namun belum semua kabupaten memiliki perhatian yang serius untuk menjadikan PS sebagai bagian agenda pembangunan daerah. Pengelolaan PS yang terbuka pada kolaborasi dan pengarusutamaan masyarakat yang termarginalkan yang tepat sasaran akan mampu mengatasi ego-subjektif antar institusi, kapasitas sumber daya manusia dan persoalan penganggaran. Transformasi pengelolaan PS yang inklusif diperlukan untuk membuka keragaman aplikasi sistem kelembagaan berbasis lokal dan kebutuhan kontekstual pada tingkat daerah dan tapak (masyarakat) termasuk memastikan kelestarian dan keberlanjutan kawasan hutan.