p-Index From 2019 - 2024
0.444
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Honeste Vivere
Petrus Bello
a:1:{s:5:"en_US";s:29:"Universitas Kristen Indonesia";}

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

SAHKAH HUKUM YANG BURUK SECARA MORAL ? PERDEBATAN ANTARA LON LUVOIS FULLER DAN H.L.A. HART Petrus Bello
Honeste Vivere Vol 33 No 2 (2023): July
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55809/hv.v33i2.238

Abstract

The concept of natural law, which was inherited by Thomas Aquinas, is still attractive. In the 20th century, his thoughts were re-examined and used as a basis by several legal philosophers, one of whom was Lon Luvois Fuller. Fuller is considered successful in actualizing Aquinas' thoughts in the realm of 20th century thought. Natural law is understood as a theory which states that law and morality have an absolute relationship (necessary relation); that the validity of law (rules, precedent, judge's decision) depends on its conformity with morality. The absolute link between law and morality according to Fuller is evident in the procedures that apply in the contemporary legal system which according to him reflects moral principles or legal morality. Fuller's thoughts were met with strong resistance from H.L.A. Hart stated that the moral principles according to Fuller are legal morality not as moral principles, but as legal principles.
Korupsi dan Homo Corruptus Petrus Bello
Honeste Vivere Vol 34 No 1 (2024): January In Press
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55809/hv.v34i1.261

Abstract

Korupsi tidak hanya menyangkut kerusakan dan perusakan standar kehidupan politik tetapi juga menyangkut kerusakan dan perusakan standar kehidupan ekonomi, sosial, kultural, dan sebagainya. Apa yang membuat suatu tindakan, praktik, atau kondisi kerusakan dan perusakan disebut korupsi? Mungkin terdengar sederhana, namun pertanyaan ini sentral mengingat hanya jenis tertentu tindakan atau praktik perusakan dipahami sebagai korupsi, sedangkan jenis tindakan atau praktik perusakan lain tidak diartikan sebagai korupsi. Ada banyak cara memahami persoalan itu. Beberapa strategi yang mungkin berguna, diantaranya adalah memahaminya dari soal penetapan hukum tetang korupsi yang wajib menetapkan objek penerapannya dengan presisi rumusan hukum. Itulah keniscayaan yang sekaligus juga kelemahan definisi korupsi dalam lingkungan pelaksanaan kebijakan publik dan juga memahaminya dalam kaitannya dengan manusia khususnya manusia yang korup (homo corruptus). Namun untuk tujuan kajian serius mengenai korupsi, penetapan hukum itu tidak sanggup menjawab pertanyaan ini : apa yang membuat tindakan/praktik suap, gratifikasi, penggelapan, pemalsuan disebut korupsi dan tidak dapat diterima? Tentu pertanyaan itu dengan mudah dijawab dengan mengasalkan pada otoritas kedaulatan tata-negara Indonesia (sovereignty): otoritas berdaulat negara Indonesia nenetapkan semua itu sebagai korupsi. Tapi cara menjawab itu merupakan cara menjawab dengan menghindari pokok persoalannya yaitu mengapa semuanya itu disebut korupsi dan tidak dapat diterima. Korupsi terjadi karena manusia-manusia yang atas dasar motif-motif tertentu melakukan korupsi. Tanpa manusia-manusia dengan logika dan prilaku koruptif mustahil korupsi dapat terus berkembang dan bertahan bahkan kini semakin merajalela di Indonesia. Dengan demikian, bagi penulis, pokok terpenting dalam mewujudkan strategi anti-korupsi ialah dengan memperhatikan aspek manusia yang melakukan korupsi (homo corruptus) baru kemudian merambah pada instrumen-instrumen hukum yang lebih luas dan kompleks.