Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MENGHADIRKAN KEMBALI SITUS KUBUR TAJAU DI GUNUNG SELENDANG, SANGASANGA KABUPATEN KUTAI KERTANEGARA Hartatik
AMERTA Vol. 36 No. 1 (2018)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract. Representing Jar Burial Site in Selendang Mountain, Sangasanga District, Kutai Kertanegara. The jar burial site in Selendang Mountain is one of the unique sites because it is a secondary burial site with 52 tajau containers that cluster tightly and without funeral gifts. The radio carbon dating from two bone samples from the jar it reveal that this burial is originated from the late 17th century (1682-1999). That is in accordance with the relative dating of the Martavan jar and ceramic plate (jar cover) from the Ming Dynasty in 16th-17th centuries AD. The identities of the people who were buried in the jars are not known yet, because of limitated DNA comparing data of the tribes in Kalimantan. What are the important values contained in the jar burial site in Mount Selendang, and how can it be understood by the people? This article aims to explain the important value of jar burial sites in Mount Selendang and strategies to presenting the jar burial site in order to be known and understood by society. This article is result a descriptive one with inductive reasoning. The primary data used are from Sangasanga jar burial researches in 2010 and 2011, reviewing research recommendations and follow-up of those recommendations. The results of the research of the jar burial site in Sangasanga is expected to be known and provide benefits for the society, in form of knowledge about the burial system and social aspects of the past religion and the history of community life in Sangasanga. Thus it will raise an understanding the diversity of society in Sangasanga since since a long time ago until now. Keywords: Jar burial, Kutai Kertanegara, Public archeology, Multicultural Abstrak. Situs Kubur Tajau di Gunung Selendang Sangasanga merupakan salah satu situs yang unik karena merupakan situs penguburan sekunder dengan wadah 52 tajau yang mengelompok rapat dan tanpa bekal kubur. Hasil uji radiokarbon dari dua sampel tulang dari dalam tajau diketahui bahwa kubur ini berasal dari akhir abad ke-17 (tahun 1682 s.d. 1699). Hal tersebut sesuai dengan pertanggalan relatif dari wadah kubur jenis tajau Martavan dan piring keramik (tutup tajau) yang berasal dari masa Dinasti Ming sekitar abad 16-17 M. Identitas manusia yang dikuburkan dalam tajau belum diketahui karena keterbatasan data pembanding DNA suku suku di Kalimantan. Nilai penting apa yang terkandung dalam Situs Kubur Tajau di Gunung Selendang dan bagaimana caranya supaya nilai penting itu dapat dipahami oleh masyarakat? Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan nilai penting Situs Kubur Tajau di Gunung Selendang dan strategi untuk menghadirkan Situs Kubur Tajau tersebut supaya dapat dikenal dan dimaknai oleh masyarakat. Penelitian ini merupakan hasil penelitian deskriptif dengan penalaran induktif. Data primer yang digunakan berasal dari penelitian kubur tajau Sangasanga tahun 2010 dan 2011, telaah rekomendasi penelitian, dan tindak lanjut dari rekomendasi tersebut. Hasil dari penelitian Situs Kubur Tajau Sangasanga diharapkan dapat dikenal dan memberikan manfaat bagi masyarakat, berupa pengetahuan tentang sistem penguburan dan aspek sosial religi masa lalu serta sejarah kehidupan masyarakat Sangasanga. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman tentang keberagaman masyarakat di Sangasanga sejak zaman dahulu hingga kini. Kata Kunci: Kubur tajau, Kutai Kertanegara, Arkeologi publik, Multikultural
PELESTARIAN TINGGALAN ARKEOLOGI DI TANJUNGREDEB: KONTESTASI ANTARA PRAKTIK DAN REGULASI Wasita; Hartatik; Nugorho Nur Susanto; Ida Bagus Putu Prajna Yogi; Restu Budi Sulistiyo; Fitri Wulandari; Diyah W. Restiyati
Naditira Widya Vol. 14 No. 1 (2020): Naditira Widya Volume 14 Nomor 1 April Tahun 2020
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Partisipasi dalam kegiatan pelestarian tinggalan arkeologi bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk masyarakat. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah partisipasi yang tepat dan tidak akan menimbulkan masalah baru. Penelitian di Tanjungredeb ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana kegiatan pelestarian, pandangan setiap pemangku kepentingan tinggalan arkeologi, dan dampaknya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Analisisnya dilakukan dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data untuk menemukan pola atau tema, agar dapat dipahami maknanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada upaya pelestarian tinggalan arkeologi di lokasi penelitian yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, sebagian praktik pelestarian itu tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pihak yang berkepentingan dengan tinggalan arkeologi harus segera turun tangan untuk menginformasikan cara pelestarian yang benar. Selain itu, dianggap perlu mengubah cara pandang pelestarian yang belum tepat agar dapat mencegah timbulnya masalah baru di masa depan.Participating in an archaeological heritage preservation can be done by anyone, including the community. However, the most important aspect is appropriate participation that will not cause new problems. The study in Tanjungredeb aimed to find out how the preservation operates, to understand the perspective of each archeological stakeholder, and the impact. This research used a descriptive-analytic method with a qualitative approach. Data collection was done by observations, interviews, and document studies. The analysis was conducted by compiling and classifying data to find patterns or themes; thus, their meaning can be understood. Results of the study indicate that there were efforts to preserve archeological remains in the study areas by governments and the communities. However, some preservation practises do not comply with the Law of the Republic of Indonesia number 11 of 2010 concerning Cultural Heritage. Therefore, it can be concluded that the parties concerned with archeological remains must immediately mediate to inform the correct method of preservation. Also, it is necessary to change imprecise perspectives of preservation to prevent new problematic matters in the future.
SUNGAI BARITO DALAM PERSEBARAN SUKU DAYAK DI KALIMANTAN BAGIAN TENGGARA Hartatik
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sungai Barito merupakan sungai besar yang berhulu di Pegunungan Schwaner Muller di bagian utara Kalimantan Tengah dan bermuara di Banjarmasin menuju Laut Jawa. Sebagai sungai terlebar di Indonesia, Barito terkenal sejak ratusan tahun silam hingga kini. Berbagai mitos dan legenda tercipta di sekitar aliran sungai ini. Situs-situs kuno tersebar dari hilir hingga hulu sungai, seperti situs Kerajaan Banjar di Banjarmasin, situs Patih Muhur di Batola, dan permukiman suku Dayak di bagian tengah hingga hulu Sungai Barito. Artikel ini akan membahas tentang keberadaan Sungai Barito (dan anak sungainya) kaitannya dengan persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara. Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui persebaran suku Dayak berdasar persebaran data arkeologi, sejarah, dan tradisi di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya di bagian tenggara Kalimantan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan penalaran induktif. Data diperoleh dari berbagai sumber terutama hasil penelitian Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dan studi pustaka. Keberadaan sungai berpengaruh pada konsep religi dan bentuk pola hunian. Dalam konsep religi, Sungai Barito sering disebut dalam mantrabalian sebagai tempat tinggal pidara. Dari hasil analisis pemanfaatan ruang dan persebaran hunian diketahui pola hunian yang cenderung mengelompok tidak jauh dari sungai, meskipun ada juga yang memanjang di tepi sungai. Persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara dimungkinkan melalui Sungai Barito dan anak-anak sungainya, seperti Sungai Negara dan Martapura. Barito River is a large river which disembogues at Schwaner Muller Mountains in the northern part of Central Kalimantan, and empties in Banjarmasin towards Java Sea. As the widest river in Indonesia, Barito is famous since hundreds of years ago to the present. Various myths and legends had been created around this river. The ancient sitesscattered from downstream to upstream, such as Banjar Kingdom in Banjarmasin, Patih Muhur in Batola, and settlement of Dayak tribe along the middle to upper Barito River. This article discusses about the existence of Barito River (and its tributaries) and its connection with the Dayak dispersal in southeastern part of Kalimantan. The purpose of this paper is to determine the distribution of the Dayak based on archaeological data distribution, historical data, and tradition along the Barito River and its tributaries in the southeastern part of Kalimantan. The method used is descriptive with inductive reasoning. Data obtained from various sources specially from Balai Arkeologi Kalimantan Selatan research reports, and literature study. The river existence has affected of religion concept and occupancy patterns. In the religion concept, the Barito River often called in the balian spell as a residence of pidara. The results of spatial analysis and settlement spread is that patterns of occupancy is near the river as a cluster, although there is also linear pattern along the riverbank. Thedispersal of Dayak in the southeastern part of Kalimantan is possible through of the Barito River and its tributaries, such as the Negara River and Martapura River.
EKSISTENSI RUMAH-RUMAH ADAT BANJAR DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Hartatik
Naditira Widya Vol. 10 No. 2 (2016): Naditira Widya Volume 10 Nomor 2 Oktober Tahun 2016
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Rumah adat Banjar merupakan salah satu sumber daya budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah perkembangan arsitektur, seni, dan sejarah budaya lokal. Materialnya yang terbuat dari bahan kayu menyebabkan rumah adat ini rentan terhadap kerusakan, baik karena ulah manusia, cuaca maupun faktor biologis. Di balik keterancamannya, rumah adat mempunyai nilai yang dapat diambil manfaatnya untuk masa kini dan masa depan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan realitas pengelolaan dari sisi pemerintah dan masyarakat, sejauh mana keberadaan rumah adatBanjar sebagai salah satu sumber daya budaya dapat dimanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan, serta pesan apa saja yang dapat ditangkap oleh masyarakat dalam memaknai rumah adat ini. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan metode dekriptif, pengambilan data dilakukan dengan survei dan kajian pustaka. Analisis data dilakukan dengan menggunakan penalaran induktif dengan pendekatan sosial budaya. Dari hasil analisis diketahui bahwa keberadaanrumah adat Banjar belum dikelola secara maksimal, belum ada kerjasama yang harmonis terutama antara pemerintahdaerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Kabar baiknya, perjuangan para penggiat budaya untuk melestarikan rumahadat dan keseimbangan alam telah mendapat respon positif dari pemerintah. Kini bangunan rumah tradisional berupakonstruksi panggung dan beberapa elemennya telah diakomodir dalam peraturan daerah di beberapa tempat. Hal tersebut menunjukkan adanya apresiasi terhadap budaya leluhur yang penuh kearifan lokal dan kesungguhan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. The Banjarese traditional house is one of cultural resources which significance for history of architecture, art and history of local culture. The wooden material building causing the traditional house is susceptible to damage, by human error, weather, and biological factor. Behind its threatened, traditional house has advantage values to the present and future. The purpose of this research is to explain the reality of management by government and society, to what extent the Banjarese traditional house as the cultural resources can be exploited in sustainable development, and what kind of messages can be captured by public on the meaning of traditional house. This paper is the result of qualitative research with descriptive method, and collected data were done by survey and literature review. The data analysis was performed using inductive reasoning. The analysis showed that the existence of Banjarese traditional house has not been managed optimally,and harmonious cooperation, mainly between local authorities at provincial and district levels is still not available. However, there is a good news, that cultural activists effort to preserve the traditional house and natural balance has received a positive response from the government. Recently, the construction stage of traditional houses and some of its elements have been accommodated in local regulation at some places. It shows their appreciation of the cultural heritage contains with local wisdom, and the commitment to maintain environmental balance.