Syahril, Shintamy Nesyicha
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS PRAKTIK PUNGUTAN LIAR DI KANTOR PELAYANAN PUBLIK Syahril, Shintamy Nesyicha; Herning Sitabuana, Tundjung
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.13354.2022

Abstract

Pungutan liar masih menjadi tradisi di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Pungutan liar (pungli) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau pegawai pemerintahan dengan meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Pungli biasanya sering terjadi di kantor pelayanan publik. Hal ini tentu melanggar hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum, tentu saja telah menjamin perlindungan hukum di dalam konstitusi. Pungli merupakan merupakan suatu tindak pidana, pungli sering terjadi karena rendahnya tingkat kesadaran hukum pegawai kantor pelayanan publik. Dengan terjadinya praktik pungli tentu saja bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pungutan liar merupakan suatu perbuatan pegawai pemerintah yang menghambat kesejahteraan masyarakat serta menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara. Kebijakan pidana terkait pungutan liar terdapat di dalam Pasal 348 ayat (1) dan Pasal 432 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pungutan liar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan. Pungutan liar kerap terjadi karena kurangnya pengawasan dari lembaga pemerintah yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk menjamin terlaksananya pelayanan publik yang bebas dari pungutan liar, maka dibutuhkan pengaturan yang lebih rinci serta pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah. Semakin tinggi tingkat budaya hukum pegawai pelayanan publik, maka akan menjamin hak perlindungan hukum warga negara sehingga negara yang sejahtera dapat terwujud.
PEMANGKASAN HUKUMAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN GENDER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Syahril, Shintamy Nesyicha; Rasji
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.13355.2022

Abstract

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara serta melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat sehingga diperlukannya hukuman yang membuat efek jera bagi para pelaku sehingga dapat mencegah tindak pidana korupsi kedepannya. Namun, terdapat putusan pengadilan yang memangkas hukuman pidana pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan gender. Jika dilihat dari perspektif filsafat hukum, maka seharusnya di dalam hukum terdapat suatu keadilan. Keadilan menurut Aristoteles menekankan pada prinsip kesamaan serta proporsionalitas, sedangkan menurut Bentham, keadilan harus mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Pada dasarnya keadilan adalah suatu konsep penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum. Atas pertimbangan hakim tersebut, menimbulkan banyak pertanyaan tentang apakah keadilan yang menjadi tujuan hukum tersebut telah tercapai. Keadilan memang harus mempertimbangkan hak perlindungan hukum serta hak perlakuan yang sama di hadapaan hukum. Namun, dengan adanya bias gender tersebut, maka keadilan tidak tercapai. Putusan terkait pemangkasan hukuman terhadap pidana pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan gender tersebut secara tidak langsung telah mendiskriminasi gender lainnya. Putusan tersebut di satu sisi terlihat mementingkan hak asasi manusia yang dimiliki terdakwa, namun di sisi lain justru mengabaikan hak warga negara yang telah dirampas. Hakim dalam membuat suatu putusan perlu memahami konsep keadilan, sehingga akan menghasilkan produk hukum yang baik.