Al-Qur’an diturunkan untuk difahami, diamalkan dan didakwahkan. Sebagian ayatnya cukup terang, tetapi sebagian lagi masih memerlukan penjelasan, baik dengan tafsir,yakni penjelasan makna lapaz dari nash al-Quran, hadist atau ra’yu sesuai arti lahir (yang rajih), maupun dengan ta'wil, yakni memalingkan lafaz kepada makna katanya (marjuh) karena alasan tertentu. Dari sudut bentuknya, ta'wil identik dengan tafsir kecuali dalam beberapa hal, sedang pembahasan paling mendasar antara keduanya adalah bahwa tapsir pada dasarnya kembali kepada riwayat dan makna pertama, sedang ta'wil kembali kepada dirayah dan makna kedua.Sikap ulama terhadap ta'wil secara umum terlihat dari pandangan mereka tentang otoritas dan kaidah-kaidah tafsir secama umum, tafsir bi al-ra’yi kajian khusus tentang kaidah-kaidah kehahasaan dan kajian khusus tentang ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Para ulama yang mempunyai akidah yang sahih, ilmu yang dalam, akhlak yang mulia dan mengamalkan ilmunya, pada umumnya mengakui dan memberlakukan ta'wil pada tempat yang semestinya sesuai prinsip-prinsip dan ruh al-Quran dan al-Sunnah serta kaidah-kaidah kebahasaan, tidak menolak sama sekali dan tidak membahasnya tanpa batas. Tetapi ulama salaf pada umumnya lebih sedikit memakai ta'wil ketimbang ulama khalaf Ada dua bahaya besar yang dapat mengaburkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu riwayat maudlui dan doif serta sehagian israiliyat yang berkaitan dengan tafsir bi al-ma'tsur dan ta’wil fasid yang berkaitan dengan tafsir bi al-ra’yi. Baik pada zaman dahulu maupun pada zaman kontemporer, ta'wil fasid banyak bermunculan karena berbagai faktor.Kata Kunci: Ta’wil, Tafsir, Ushul Fiqh, Ulama Tafsir