Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Functionalization of the Village Head as Customary Leader in the Social Field in South Sumatra Abdullah, Abdullah; Hasan, KN. Sofyan; Rumesten, Iza; Pasyah, Taroman
Brawijaya Law Journal Vol 7, No 1 (2020): Contitutional Issues: Economic, Social and Cultural Rights
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2020.007.01.04

Abstract

The presence of the New Order government has brought about changes in the lowest level of government, which fairly basic leads to some institutional unification and uniformity. This has resulted in the loss of legal community units in Indonesia. The loss of indigenous community units began with the beginning of Law Number 5 of 1979 on Village Governance as a follow-up to the birth of Law Number 5 of 1974 on the Principles of Government in the Regions. Correspondingly, in South Sumatra, the lowest institutional governance tool, which is also a territorial indigenous community unit called Marga was abolished through the Decree of the Governor of South Sumatra No.142/ KPTS/1983. With the abolition of the Marga, it implies the loss of a typical indigenous institution of South Sumatra, which was merged into the Village institution as stipulated in Law Number 5 of 1979 on Villages. As a result, all the lowest institutions in South Sumatra switched their names to villages including, their functions and authorities. The removal of the Marga government and being replaced with the Village, has resulted in the loss of social functions and the function of resolving disputes customarily manner in the community. The function shift of the village head was not necessarily the transfer of the authority of the pesirah Margahead to the village head in resolving arising problems in the community. As a result of this obscurity of the function, all arising problems in the community should resolve by the formal public law determined by the state. This results in an imbalance in the lowest community, including in villages in South Sumatra, to break the chain, the research framework has carried out to answer these problems.
Penyelundupan Hukum Dalam Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia; Kajian Dalam Perspektif Fiqh Islam dan Undang-Undang Perkawinan Taroman Pasyah
Simbur Cahaya VOLUME 28 NOMOR 1, JUNI 2021
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.486 KB) | DOI: 10.28946/sc.v28i2.867

Abstract

 Abstrak: Perkawinan di Indonesia menjadi konsep utama sebelum pasangan suami istri melangsungkan hidup bersama, yang tidak hanya di atur berdasarkan hukum negara, tetapi telah diatur berdasarkan kepada agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pasangan yang mau melaksanakan perkawinan sebelumnya. Aturan tersebut tidak hanya menjadi penghalal hubungan perkawinan bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan, melainkan melalui peraturan ini menjadikan pasangan hidup bahagia. Besarnya potensi perkawinan beda agama, mendorong diperlukannya peran negara. Negara memegang otoritas (being an authority) untuk mengatur kehidupan beragama. Adanya keterlibatan negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat memang menjadi persoalan tersendiri dikarenakan di dalam konsep negara modern tidak dikenal adanya intervensi negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat. Namun, sebagaimana yang diakuinya, dalam kenyataan empiris di hampir semua negara modern sekalipun, tidak terbukti bahwa urusan keagamaan sama sekali berhasil dipisahkan dari persoalan-persoalan kenegaraan, di antaranya adalah norma agama. Misalnya; Islam melarang keras wanita muslim menikah dengan laki-laki yang tidak seagama. Ketentuan ini sejalan dengan konsep ajaran nasrani yang juga memberikan larangan bagi wanita nasrani menikah dengan laki-laki yang tidak seiman dengannya. konsep itu telah menjadi pedoman utama bagi wanita muslim dan wanita nasrani untuk melangsungkan pernikahannya. Penjelasan diatas mengisyarat bahwa sahnya suatu pernikahan apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian sesuai dengan syarat dan rukun dalam perkawinan tersebut. Sejalan dengan itu di Indonesia juga mengatur terkaitnya sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut negara sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing agama. Dengan demikian, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan dan ketentuan, baik itu berdasarkan peraturan perundang-undangan, maupun berdasarkan aturan agama dan kepercayaan dari yang melangsungkan perkawinan. Akan tetapi keberadaan aturan yang menetapkan pelaksanaan pernikahan sah asal dilaksanakan menurut agama dan keyakinan masing-masing, telah menimbulkan kerancuhan dalam pandangan masyarakat yang berakibat penyelundupan hukum dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hal inilah yang menarik penulis untuk meneliti tentang penyelundupan hukum dalam hukum perkawinan di Indonesia; terkait apa faktor penyebab terjadinya penyelundupan hukum dalam hukum perkawinan di Indonesia, dan bagaimana keabsahan status perkawinan yang dilakukan berdasarkan kajian perspektif fiqh Islam dan UndangUndang Perkawinan di Indonesia. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penellitian ini adalah pendekatan normatif atau dogmatik hukum (Legal Dogmatic Opproach) sebagai pendekatan utama.
Legal Aspects of Zakat Empowerment In Indonesia Sofyan Hasan; Taroman Pasyah
Sriwijaya Law Review VOLUME 3 ISSUE 1, JANUARY 2019
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/slrev.Vol3.Iss1.120.pp59-74

Abstract

Zakat is a number of certain assets that the Muslim people have to give to the persons who are in need. However there are some problems in the zakat management in Indonesia. The objective of this article is to provide for a brief picture of the zakat management in Indonesia. The findings of the research conducted that it was found in 2011 that the Zakat agencies have been able to manage up to ten billion rupiahs which distribution covers the whole parts of Indonesia. Nevertheless, in Indonesia zakat has a big potential, by having 87% of Muslim populations and 20% of them are assumed as the zakat givers (muzakki). Therefore as it was reported in 2011 that the potential value of zakat was around Rp 217 trillions. In addition, the zakat added with infaq calculated around Rp 1.5 trillion per year. Meaning that the zakat collected has not reached even more than 1 percent of the potential zakat per year. Even though the number of Muslim people in Indonesia is very significant, the problems centered in the management of the zakat which is still in traditional pattern where the zakat givers (muzakki) give directly to the persons who has the right to receive zakat (mustahik). It is suggested that it need revolutionary improvement in the zakat management, there must be a mindset changing from traditional management to modern zakat management where the zakat officer (amil zakat) must be a professional one, and permanent job basis. This surely will improve the zakat management and the poverty will surely be eliminated. This research used empirical methods including the effectiveness and impact of the law