Salah satu wilayah di Pulau Madura yang memiliki kontribusi besar dalam produksi tanaman obat adalah Kabupaten Sumenep. Sumenep juga dikenal sebagai pusat pembuatan ramuan obat tradisional. Peran pentingnya etnofarmaka sebagai sediaan bahan baku obat tradisional di lingkungan masyarakat Sumenep perlu ditanamkan dari generasi ke genarasi berikutnya. Adanya interaksi tersebut membentuk persepsi sebagai rangsangan dalam sikap dan tindakan manusia terhadap tanaman obat. Maka penting bagi peneliti untuk menelaah lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat Madura terhadap peran tanaman etnofarmaka di Kabupaten Sumenep. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan peran etnofarmaka sebagai bahan baku sediaan obat tradisional pada masyarakat Madura; 2)Mengetahui persepsi masyarakat mendasarkan gol umur terhadap peran etnofarmaka; 3)Mengetahui prioritas peran tumbuhan etnofarmaka di kalangan masyarakat Madura. Penelitian dilakukan di Kecamatan Rubaru, Ambunten, Lenteng, Manding dan Batuan. Penentuan lokasi tersebut ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa kelima Kecamatan tersebut merupakan sentra produksi beberapa macam tanaman biofarmaka di Kabupaten Sumenep. Metode analisa yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan presepsi masyarakat Madura mengenai etnofarmaka dengan menggunakan Skala Likert serta digunakan observasi berpartisipasi dalam menelaah lebih lanjut peran etnofarmaka dalam presepsi masyarakat. Adapun Hasil dari penelitian ini adalah jenis penggunaan tanaman Etnofarmaka untuk penyakit di Kabupaten Sumenep seperti Jahe untuk pengobatan batuk, masuk angin, obat bisul; Kencur untuk pengobatan batuk, selesai melahirkan; Kunyit untuk pengobatan panas dalam, tipus, panu, tidak nafsu makan; Temu Ireng untuk pengobatan tidak nafsu makan, batuk, cacingan; Temulawak untuk pengobatan kolesterol, demam; Lengkuas untuk pengobatan rematik, ganguan pencernaan; Temu Kunci untuk pengobatan gangguan lambung; Mengkudu untuk lemah jantung, keputihan; dan Lidah Buaya untuk pengobatan batuk, rambut rontok, luka; penggunaan Etnofarmaka secara urut pada usia terbesar dengan 38% terdapat pada umur 41-50 tahun, kemudian 24% pada kisaran umur 20-30 tahun, dan 22% pada umur antara 31-40 tahun, sedangkan 16% pada umur 51-60 tahun dan dibawah 20 tahun sangat sedikit; dan Prioritas peran tumbuhan Etnofarmaka di kalangan masyarakat Madura sebagai tumbuhan pengobatan dengan tingkat kemudahan mendapatkan, dapat digunakan di semua golongan usia, tingkat kesesuaian kebutuhan oleh masyarakat dan penggunaan tanpa efek samping.
Copyrights © 2019