Pemisahan agama dan politik di negeri yang sejak awal dilatarbelakangi perbincangan tentang diskursus agama sebagai dasar negara, memang tidaklah mudah. Sejarah perjalanan kebangsaan dan keindonesiaan dengan berbagai peristiwa politik yang mewarnainya, seringkali membuat agama menjadi sumber motivasi dalam menentukan pilihan politik. Di satu sisi, fenomena ini merupakan sebuah kelaziman sekaligus keniscayaan. Namun ketika hubungan agama dan politik (negara) menimbulkan gesekan, maka pada saat itulah rasionalitas publik dipertaruhkan. Agama yang sejatinya merupakan pedoman hidup bagi kemanusiaan universal, cenderung larut dalam simbolisasi. Pada gilirannya, pilihan pada agama tertentu yang mayoritas menjadi tidak terelakkan. Sementara simbol keagamaan yang minoritas cenderung tidak memperoleh tempat untuk dipertimbangkan. Tulisan ini hendak menegaskan bahwa pada saat agama memasuki ruang publik dan menjadi bagian dari perbincangan politik, maka saat itu pula rasionalitas politik didahulukan. Agama diletakkan sebagai pedoman sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai politik yang luhur sebagai bagian dari upaya mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik dan mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, golongan ataupun kelompok, termasuk agama. Meski upaya tersebut tidaklah mudah, tapi pemaknaan tentang relasi agama dan politik (negara) yang sesungguhnya merupakan sebentuk peniruan (mimesis), akan melahirkan hubungan antara keduanya yang lebih harmonis dan mampu memahami perbedaan satu sama lain tanpa harus terjerumus dalam friksi yang berlebihan. Sebab sebagaimana pilihan politik yang bisa berubah-ubah, simbol pola keberagamaan pun pada dasarnya juga berubah-ubah seiring dinamika zaman yang melingkupinya.
Copyrights © 2021