PENAOQ: Jurnal Sastra, Budaya dan Pariwisata
Vol 1 No 1 (2020): PENAOQ : Jurnal Sastra, Budaya dan Pariwisata

Syair Tumitu wa Tuhyiyu Fi Diwan al-Akhthal (Kajian Semiotika Riffaterre)

Saepul Millah (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Muhammad Dedad Bisaraguna Akastangga (Unknown)



Article Info

Publish Date
16 Apr 2020

Abstract

Karya sastra tidak hanya berarti sebuah kata-kata saja melainkan di balik kata-kata mengandung makna yang sangat dalam. Penelitian ini mencoba menggali makna terdalam dari salah satu puisi karya al-Akhtal dalam Kitab Diwannya yang berjudul “Tumitu wa Tuhyiyu” dengan pendekatan semiotic Riffaterre. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif Deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah dalam pembacaan heuristik. Bait pertama, menyebutkan permulaan yang menyebabkan mematikan (tak sadarkan diri) itu adalah minum khamar, bahkan bukan hanya tak sadarkan diri tapi lupa akan apa yang sudah terjadi. Baris kedua menjelaskan mengenai kondisi yang dialami oleh sekelompok orang yang meminum khamar, bahwa sekelompok orang tersebut tak sadarkan diri (mati) selama tiga hari artinya dampak yang diakibatkan setelah minum khamar itu berdampak besar, sehingga disebutkan ketika mereka sadarpun nafasnya masih belum kembali secara sepenuhnya. Sebagaimana model merupakan aktualisasi pertama dari matriks. Aktualisasi pertama dari matrik ini berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi tersebut. Dalam hal ini puisi tersebut diatas mempunyai susunan kalimat yang puitis yaitu, pertama terdapat pada kalimat sebagai berikut فعد بنا إلى مثلها بالأمس dan تميت وتحيي بعد موت Kalimat pertama adalah pernyataan ”kembalikan kami pada kehidupan seperti kemarin” dan “mematikan dan menghidupkan setelah mati”. Dua model ini yang dipilih, karena keduanya mewakili seluruh bunyi teks puisi yang tertuang dalam delapan bait. Kedelapan bait puisi tersebut mencerminkan dua pokok, pertama, tentang keadaan si peminum yang sebenarnya, bahwa mereka itu pada mulanya adalah orang yang baik, sehat, normal sebagaimana manusia pada umumnya. Kedua, menegaskan bahwa hakikat si peminum ini menunjukan keadaan yang sebenarnya yaitu kondisi sadar (hidup), meskipun kemudian ia mengalami dua kondisi antara menghidupkan (sadar) dan mematikan (tidak sadar). Matrik puisi yang kemudian didapat adalah “fatamorgana kenikmatan”.

Copyrights © 2020