Ulama ushul fiqh menggunakan tiga pola penalaran dalam memahami syariat Islam yaitu lughawiyyah, ta‘liliyyah dan penalaran istiÎlaÍiyyah. Penalaran istiÎlaÍiyyah termasuk maqashid al-syar’iyyah di dalamnya yaitu mendeduksi tujuan-tujuan umum syariat berdasarkan pertimbangan kemaslahatan, serta menyusun kategori-kategorinya, guna menentukan skala prioritas ketentuan hukum untuk masalah baru. Dilatarbelakangi oleh stagnansi pemikiran yang terjadi di wilayah Granada dan lainnya sehingga mengilhami kesadaran metodologis al-Syathibi untuk melakukan observasi-induktif (istiqra`) yang tertuang dalam karya besarnya “al-Muwafaqat”. Ketokohan al-Syatibi dan pemikiran-pemikiran hukumnya mulai menjadi masintream penelitian baru bagi kegiatan kalangan pemikir pembaharuan dalam Islam terjadi pada abad ke-19 M, setelah beberapa abad ia wafat. Kategori yang dirumuskan al-Syatibi bertumpu pada maqashid al- syar’iyyah yaitu kuliyyah al-khams (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Hal ini merupakan ijtihadnya dalam penyelesaian persoalan hukum yang timbul pada masa ia hidup. Namun Langkah 'Asyur pada masa kontemporer ini, ditapaktilasi oleh Muhammad al- Ghazali, Ahmad al-Khamlaysyi, Yusuf Qardhawi, Ahmad al-Raysuni, Ismail Husni. Mereka semua gigih mendengungkan nilai-nilai universal seperti al-'adl, huquq al-ijtima'i, huquq al-iqtishadi, huqûq al-siyasi, sebagai penyempurna prinsip kulliyyah al-khams konvensional. Menghadapi banyaknya persoalan hukum yang timbul pada zaman modern ini, kategori maslahah yang dibagi oleh al-Syatibi pada tiga tingkatan dharuriyyat, hajiyyyat dan tahsiniyyat dapat menjadi kerangka dalam penyelesaian hukum serta dapat menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang memang tidak terdapat dalam nash. Dengan demikian diharapkan tujuan disyariatkan hukum dapat tercapai.
Copyrights © 2015