Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Hukum Pidana Islam di Aceh (Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar) Maisarah
Al-Fikrah Vol 3 No 2 (2014): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (742.186 KB)

Abstract

Qanun khamar merupakan wujud nyata dari keinginan masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah serta upaya pemerintahan pusat dalam meleraikan konflik yang berkepanjangan dengan memberikan otonomi khusus. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus terbentuklah Peraturan Daerah yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi diantaranya yaitu qanun khamar. Qanun ini dikhususkan kepada minuman yang memabukkan saja, sedangkan benda-benda lain yang memabukkan seperti narkotika dan obat-obat terlarang tidak termasuk dalam qanun ini. Hal ini karena Narkoba telah diatur dalam peraturan khusus yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Qanun khamar hanya berlaku secara khusus di Aceh meskipun dalam KUHP tidak ada larangan secara jelas. Secara teoritis qanun ini telah mengharamkan semua jenis kegiatan yang erat hubungannya dengan khamar. Akan tetapi dalam praktik rangkaian kegiatan tersebut belum dapat dihilangkan secara optimal. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan pelaksanaannya qanun ini harus ada peran serta masyarakat dalam usaha pencegahannya. Pemerintah berfungsi sebagai penegak hukum, sedangkan masyarakat luas membantu pemerintah dalam usaha penegakan hukum tersebut.
Maqashid Al-Syar’iyyah Menurut Perspektif Al-Syatibi Maisarah
Al-Fikrah Vol 4 No 1 (2015): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.491 KB)

Abstract

Ulama ushul fiqh menggunakan tiga pola penalaran dalam memahami syariat Islam yaitu lughawiyyah, ta‘liliyyah dan penalaran istiÎlaÍiyyah. Penalaran istiÎlaÍiyyah termasuk maqashid al-syar’iyyah di dalamnya yaitu mendeduksi tujuan-tujuan umum syariat berdasarkan pertimbangan kemaslahatan, serta menyusun kategori-kategorinya, guna menentukan skala prioritas ketentuan hukum untuk masalah baru. Dilatarbelakangi oleh stagnansi pemikiran yang terjadi di wilayah Granada dan lainnya sehingga mengilhami kesadaran metodologis al-Syathibi untuk melakukan observasi-induktif (istiqra`) yang tertuang dalam karya besarnya “al-Muwafaqat”. Ketokohan al-Syatibi dan pemikiran-pemikiran hukumnya mulai menjadi masintream penelitian baru bagi kegiatan kalangan pemikir pembaharuan dalam Islam terjadi pada abad ke-19 M, setelah beberapa abad ia wafat. Kategori yang dirumuskan al-Syatibi bertumpu pada maqashid al- syar’iyyah yaitu kuliyyah al-khams (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Hal ini merupakan ijtihadnya dalam penyelesaian persoalan hukum yang timbul pada masa ia hidup. Namun Langkah 'Asyur pada masa kontemporer ini, ditapaktilasi oleh Muhammad al- Ghazali, Ahmad al-Khamlaysyi, Yusuf Qardhawi, Ahmad al-Raysuni, Ismail Husni. Mereka semua gigih mendengungkan nilai-nilai universal seperti al-'adl, huquq al-ijtima'i, huquq al-iqtishadi, huqûq al-siyasi, sebagai penyempurna prinsip kulliyyah al-khams konvensional. Menghadapi banyaknya persoalan hukum yang timbul pada zaman modern ini, kategori maslahah yang dibagi oleh al-Syatibi pada tiga tingkatan dharuriyyat, hajiyyyat dan tahsiniyyat dapat menjadi kerangka dalam penyelesaian hukum serta dapat menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang memang tidak terdapat dalam nash. Dengan demikian diharapkan tujuan disyariatkan hukum dapat tercapai.
Kompetensi Relatif dan Absolut Antara Peradilan Islam di Indonesia Dengan Peradilan Umum Maisarah
Al-Fikrah Vol 4 No 2 (2015): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.396 KB)

Abstract

Keanekaragaman kepribadian, tradisi, kemampuan, keahlian, profesi dan kepentingan dalam masyarakat Indonesia, mencerminkan masyarakat yang majemuk. Maka hal itu dapat menjadi sumber perselisihan, pertentangan dan persengketaan di antara mereka. Keadaan itu tidak dapat dibiarkan terus berlanjut, karena akan menggangu ketertiban bersama dan menimbulkan ketidaktentraman masyarakat secara keseluruhan. Penyelesaian perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan negara dilaksanakan oleh badan peradilan. Peradilan merupakan kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Diantara peradilan di Indonesia yaitu peradilan agama dan peradilan umum yang memiliki kompetensi masing-masing yang berbeda. Berbicara kompetensi Peradilan dalam kaitannya dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut, maka biasanya menyangkut dua hal yaitu tentang ‚kekuasaan relatif‛ dan ‚kekuasaan absolut‛. Kedua peradilan memiliki kompetensi relatif yang sama yaitu mengenai daerah hukum suatu peradilan baik pengadilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding. Sedangkan kompetensi absolut diantara kedua peradilan memiliki perbedaan yaitu peradilan agama hanya menangani perkara perdata, ekonomi syariah dan sengketa tertentu saja yang terjadi antara sesama warga negara yang beragama Islam. Berbeda dengan kompetensi absolut peradilan umum yang mencakup perkara perdata dan pidana untuk warga negara maupun orang asing baik terjadi sesama muslim maupun non muslim. Demikian juga dengan rentetan sejarah Islam menunjukkan bahwa peradilan dalam Islam juga pernah terjadi pemisahan kompetensi dan jenis peradilan, meskipun ulama berikutnya memisahkan diantara dua kompetensi. Perbedaan pola peradilan merupakan suatu kebijakanuntuk mencapai kedamaian dan kesajahteraan masyarakat.
Perwalian Wali Nikah Anak Zina Menurut Fiqh Empat Mazhab dan Hukum Positif di Indonesia Maisarah
Al-Fikrah Vol 5 No 2 (2016): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (444.907 KB)

Abstract

Kedudukan wali sampai saat ini masih dalam perdebatan para ulama fiqh atau terlepas dari permasalahan harus ada atau tidaknya wali dalam pernikahan. Namun jika wali dalam pernikahan merupakan rukun nikah, bagaimana terhadap calon pengantin perempuan yang tidak mempunyai wali karena putusnya garis keturunan dengan bapaknya (anak zina). Walaupun demikian, akad nikah menjadi tuntunan agama dalam masyarakat di setiap daerah termasuk wilayah kecamatan Samalanga dalam menjaga kesucian keturunan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tata cara pelaksanaan nikah bagi anak zina yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai salah satu Lembaga Pemerintah yang menangani masalah perkawinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskritif kualitatif dengan mengkaji literatur dari kitab- kitab dan buku-buku beserta meneliti langsung terhadap kasus-kasus yang terjadi di KUA kecamatan Samalanga. Maka berhasil diperoleh beberapa temuan, antara lain: praktek dalam pernikahan Kepala Kantor Urusan Agama menganut mazhab Syafi’i yaitu wali merupakan rukun nikah, maka terhadap perempuan yang dilahirkan diluar nikah (anak zina) wali hakim menjadi wali nikah, maka di Indonesia wali hakim adalah sesuai Peraturan Menteri Agama RI yaitu jika di wilayah kecamatan Samalanga adalah kepala KUA kecamatan Samalanga. Sedangkan orang diluar lingkup Departemen Agama atau orang yang tidak di SK-kan Menteri Agama dalam bidangnya adalah tidak sah dan tidak dapat bertindak sebagai wali hakim. Disamping itu jika terjadi perkawinan tanpa wali maka pernikahan fasid, karena adanya pendapat “wali tidak menjadi rukun nikah” (pendapat Imam Hanafi). Maka hubungan diantara keduanya adalah syubhat sehingga mewajibkan mahar mitsil bagi suami.
Minimum Marriage Age: Study of Fiqh of Four Madhabs Maisarah; Afrizal; Zulfahmi; Fizal Mauliza; Faisal Murni
Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal Vol 1 No 2 (2019): Britain International of Humanities and Social Sciences, October
Publisher : Britain International for Academic Research (BIAR) Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/biohs.v1i2.46

Abstract

Fiqh of four madhab (Hanafi, Maliki, Shafi'i and Hambali) permit the marriage of minors, so that parents tend to marry their children at an underage. This ppinion is criticized in modern times who want a minimum age of marriage. The question arises how the interpretation of the four madhab (Islamic jurisprudence) of thought is used and are there other arguments that can be used in reinterpreting the existence of a minimum age of marriage. This study uses some methods, firstly, to examine the verses and hadith to find out whether there are cues about the minimum age of marriage or not. Secondly, to reinterpret using the ta‘liliyyah method and the termiyyah of the arguments used by the religious and contemporary scholars. The result shows that the madhab declares Surah al-Thalaq as the proposition regarding the ability of marriages of young children. According to the author, the logic is incorrect because there is no need to iddah for virgin women contained in Surah al-Ahzhab verse 49; The religious scholars also use it as the proposition of the Prophet's marriage hadith. with ‘Aisha r.a when she was a child, even though this incident occurred in Mecca before the Muslim period and before the hadith about the guardian's obligation to ask permission for a girl or widow. This study also finds other verses that can be used as arguments in limiting the age of marriage, namely Surat al-Nisa 'verses 5-6 and 9, the hadith of Ibn Mas'ud and maslahah to be achieved from a marriage, which explicitly states that both adult and maturity both physically and mentally as a condition of marriage.
Analisis Kebijakan Umar Bin Khattab dan Relevansinya Dengan Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Sektor Pertanian Fiesca Maini Asri; Maisarah
Al-Mizan Vol 9 No 1 (2022): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya sumber daya alam sehingga sektor pertanian berperan sebagai salah satu sektor penyumbang pendapatan negara. Namun, ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor pertanian tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung di dalamnya. Berbeda dengan masa Umar bin Khattab, melalui kebijakan yang dikeluarkanya sektor pertanian sebagai sumber terbesar kas negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan sektor pertanian khalifah Umar bin Khattab, apakah kebijakan sektor pertanian Umar bin Khattab mendorong pertumbuhan ekonomi dan relevansi kebijakan Umar bin Khattab dengan kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor pertanian. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, kebijakan Umar bin Khattab dalam sektor pertanian yaitu: pengelolaan lahan mati, Pemberian lahan pertanian kepada masyarakat untuk diusahakan dan diutamakan untuk kepentingan umum, Pembangunan Infrastruktur pertanian, Kebijakan kharaj dan zakat pertanian. Kedua, Masa kekhalifahan Umar, kekayaan negara melimpah ditandai dengan surplus anggaran dan tidak didapatnya mustahik zakat pada saat itu. Ketiga, Relevansinya dilihat dari tiga kategori yaitu: 1) Kebijakan pengelolaan tanah terlantar, 2) Kebijakan pembangunan infrastruktur pertanian dan 3) Kebijakan Kharaj (pajak) pertanian dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan kebijakan zakat pertanian.
Peran Dayah Manyang Gampong Muluem Dalam Peningkatan Kemandirian Pangan Keluarga Melalui Pemanfaatan Pekarangan Iswadi; Maisarah; Abdullah; Helmi Langkawe; Amiruddin Lhokweng; Nurul Aida
Khadem: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 1 No. 1 (2022): Khadem: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kegiatan ini dilakukan untuk Peningkatan Kemandirian Pangan Keluarga Melalui Pemanfaatan Pekarangan. Pengabdian ini menggunakan metode Participatory Action Research (PAR) Metode PAR merupakan kolaboratif antara peneliti dan komunitas untuk melakukan research bersama, merumuskan masalah, merencanakan tindakan, melakukan aksi secara berkesinambungan dan berkelanjutan. PAR dirancang memang untuk mengkonsep suatu perubahan dan melakukan perubahan terhadapnya. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat mengenai peningkatan pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan (penyuluhan) di Dayah Manyang Gampong Muluem Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen telah terlaksana dengan baik. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat mengenai peningkatan pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan (penyuluhan) di desa Dayah Manyang Gampong Muluem Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen mendapat respon yang baik dari masyarakat desa. Masyarakat Muluem dan Dayah Manyang Gampong Muluem sangat mengharapkan adanya penyuluhan dan pendampingan untuk kedepannya sebagai pengetahuan dalam mengelola perkarangan dan lahan-lahan yang tidak terpakai.