Dalam artikel ini, Syafi'i Ma' arif mengemukakan argumentasinya bahwa umat Islam merupakan kekuatan pembebas Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Sejak Belanda menginjakkan kuku kekuasaannya di bumi Nusantara, umat Islam tidak pernah berhenti mengadakan perlawanan terhadap pemerintah penjajahan. Hal ini disebabkan Islam sendiri menghargai kebebasan dan kehormatan manusia di atas segalanya. Di antara perlawanan bersenjata yang paling ditakuti oleh pihak kolonial Belanda adalah Perang Padri (1821-1837) di Sumatra Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, dan Perang Aceh (1873-1912) di Aceh. Bagi umat Islam, perang terhadap segala bentuk penjajahan adalah perang di jalan Allah dan kemerdekaan penuh hams diperoleh kembali. Karena itulah, ketika tentara Jepang menggantikan Belanda untuk menjajah bumi Indonesia, perlawanan serupa juga terus dikobarkan, meskipun tantangan semakin berat. Untunglah, berkat Rahmat Tuhan, pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Kegagalan perlawanan bersenjata disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perlawanan berlangsung secara sporadis dan hanya dalam lingkup lokal. Kedua, mereka tidak disatukan secara terorganisir. Ketiga, teknik perang dan persenjataan kaum pejuang jauh tertinggal dari yang dimiliki para penjajah. Mereka juga tidak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melawan. Selain itu, kaum terjajah juga mengidap mental terjajah yang kronis. Untuk rnenanggulangi hal-hal tersebut, umat Islam membentuk organisasi pergerakan sejak awal abad ke-20. Maka muncullah Sarekat Islam, Muharnmadiyah, al-Irsyad, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Sejak itu, konsep persatuan Indonesia sebagai satu bangsa mulai didengungkan. Agama (Islam), Bahasa (Indonesia) dan faham nasionalisme menjadi perekat persatuan. Tidak seperti Budi Utomo, Sarekat Islam yang
Copyrights © 2000