ABSTRACTSumur 7 Cibulan Kuningan, West Java, is a religious tourism object which is rarely deserted by public. One of the factors is that Sumur 7 is believed as the remains of King Siliwangi. The focus of the study is on identifying the signs at Sumur 7 area as a form of sacredness believed by the community. Ferdinand de Saussure’s semiotics is used to analyze the structure of the sacred formation signs at Sumur 7. The concept of Saussure’s semiotics is a system of sign dichotomy, namely signifer and signifed. Signifer is the material aspect while signifed is the mental aspect. The fnding shows that the naming of Sumur 7 and positioning of the serial numbers of the visits are signs which are relatedto the myth of Prabu Siliwangi and the concept of Tritangtu Sunda. The relationship of these signs forms the community’s belief system towards the sacredness of Sumur 7 Cibulan.Keyword: Sumur 7, Prabu Siliwangi, semiotics, sacred, TritangtuABSTRAKSumur 7 Cibulan Kuningan Jawa Barat adalah objek wisata religi yang tidak pernah sepi dikunjungi masyarakat. Salah satu faktornya, Sumur 7 ini lekat dengan mitos yang diyakini masyarakat sebagai salah satu petilasan Prabu Siliwangi. Fokus kajian ini pada identifkasi tanda-tanda yang terdapat di area Sumur 7 sebagai pembentuk sakralitas yang diyakini oleh masyarakatnya. Semiotika Ferdinand de Saussure digunakan untuk menganalisis struktur pembentukan tanda sakralitas pada Sumur 7. Konsep dasar darisemiotika Saussure adalah sistem dikotomi tanda yakni penanda dan petanda. Penanda merupakan aspek material sedangkan petanda merupakan aspek mental. Ditemukan bahwa, penamaan ketujuh sumur dan pemetaan atau penempatan nomor urut tahapan kunjungan merupakan tanda-tanda yang memiliki relasi dengan mitos Prabu Siliwangi dan konsep Tritangtu Sunda. Relasi tanda-tanda inilah yang membentuk sistem keyakinanmasyarakat terhadap sakralitas Sumur 7 Cibulan.Kata Kunci: Sumur 7, Prabu Siliwangi, Semiotika, Sakralitas, Tritangtu.
Copyrights © 2022