Tulisan ini memberikan konsepsi baru atas iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt ialah upaya menghidupkan, mengelola, dan mengolah tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama. Islam menganjurkan agar manusia memakmurkan tanah (bumi) yang diamanahkan oleh Tuhan. Dalam kajian fiqh klasik, iḥyā’ al-mawāt berimplikasi kepada pemerolehan hak milik atas tanah yang diupayakan iḥyā’ al-mawāt dan berlaku bagi segala jenis tanah. Pada dasarnya prinsip-prinsip dan hak tanah terlantar diatur oleh undang-undang pokok agraria dalam pemerintahan, dan memiliki batasan terkait hak-hak terkait tanah terlantar Di Sumatera Utara perebutan tanah skala besar yang tak kunjung selesai walau tahun berganti, bahkan lahan yang diperebutkan merupakan asset negara, seperti konflik masyarakat di atas tanah PT, sedangkan dalam islam penggunaan ihya’ul mawat, pengelolaan tanah terlantar yaitu apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya. Dengan analisis deskriptif dan perbandingan terhadap konsep iḥyā’ almawāt dan hukum pertanahan di Indonesia, diperoleh dua kesimpulan utama. Pertama, tanah al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia meliputi tanah terlantar, tanah timbul, dan tanah reklamasi. Terhadap ketiga jenis tanah tersebut, boleh dilakukan upaya iḥyā’ al-mawāt atas seizin pemerintah. Kedua, implikasi iḥyā’ al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia hanya pada hak pemanfaatan dan pengelolaan (ḥaq al-intifā'), tidak sampai kepada pemerolehan kepemilikan (al-tamlīk).
Copyrights © 2021