Di dalam transaksi gadai emas syariah (raḥn) dilakukan oleh sipemilik barang (rahin) dan sipenerima barang (murtahin) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan si pemilik barang dengan cara menggadaikan barang miliknya (marhun) sesuai dengan prinsip syariah yang telah berlaku. Permasalahan yang ada didalam skripsi ini adalah bagaimana praktik yang digunakan oleh PT Pegadaian Syariah Cabang Tapaktuan serta penulis meneliti kesesuaian dan konsekuensi yang didapatkan oleh pihak Pegadaian Syariah ditinjau menurut Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Raḥn. Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode kualitatif, langsung ke lokasi untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Patokan penetapan ujrah yang diterapkan oleh PT Pegadaian Syariah Cabang Tapaktuan adalah 0.45%, 0.71%. dan 0.62% kemudian persentase ujrah tersebut dikalikan dengan besar pinjaman nasabah dan hasilnya itulah yang menjadi biaya pemeliharaan marhun yang ditanggung nasabah. Praktik yang dilakukan Pegadaian Syariah tersebut belum sesuai dengan Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn pada point ke 4 (empat) “Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan besar pinjaman”. Namun pada praktik yang dijalankan oleh PT Pegadaian Syariah Cabang Tapaktuan juga menggunakan banyak Fatwa-fatwa yang mendukung jalannya system pada produknya dan juga pihak Pegadaian Syariah menciptakan produk yang dinamakan diskon ujrah demi meringankan para nasabah dalam membayar biaya pemeliharaan marhun yang digadaikannya. Dari paparan diatas disimpulkan bahwa PT Pegadaian Syariah tidak mendapatkan konsekuensi apapun sebab mereka didukung oleh banyak Fatwa demi menjalankan system yang ada pada produknya serta menciptakan diskon ujrah demi meringankan pembiayaan yang dilakukan nasabah.
Copyrights © 2023