Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen di Indonesia ternyata mengalami banyak kendala. Salah satunya adalah eksistensi BPSK dalam memutuskan suatu sengketa konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak secara tuntas memberikan peran kepada BPSK sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen. Beberapa persoalan terkait mengenai eksistensi BPSK itu sendiri. Tidak hanya itu, tetapi ada persoalan lain menyangkut wewenang BPSK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan BPSK “final dan mengikat” kehilangan makna dan menjadi tidak berarti bagi konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (2) di mana terbukanya peluang mengajukan keberatan di Pengadilan Negeri. Dalam proses pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK, muncul permasalahan bahwa bagaimana pengadilan harus memperlakukan keberatan atas putusan BPSK tersebut. Upaya keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri pun terbatas hanya untuk putusan arbitrase oleh BPSK. Lalu bagaimana dengan putusan BPSK yang timbul dari mediasi dan konsiliasi?. Proses penyelesaian sengketa yang berbelit dan ketidakkonsistenan BPSK dalam memutus suatu sengketa bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam Hukum Acara Perdata yaitu proses cepat, biaya ringan, dsb. Dalam paper ini, nantinya penulis akan membahas mengenai persoalan tersebut di atas dan memberikan saran demi tercipatanya dunia peradilan di Indonesia yang lebih baik.Kata Kunci : BPSK, sengketa konsumen, pengajuan keberatan.
Copyrights © 2015