Jurnal Magister Ilmu Hukum
Vol 2, No 2: Mei 2014

KEBERADAAN ALAT BUKTI SAKSI SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Cut Nilasari, Dahlan Ali, Rizanizarli. (Unknown)



Article Info

Publish Date
13 Apr 2014

Abstract

Abstract: Article 37A (1) of the Act Number 31, 1999 which later changed with the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption and Article 77 of the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering. Both the acts regulate the shifting burden of proof. The research findings are that the synchronization of shifting burden of proof in the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption with the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering that there is no maximal synchronization toward the substance of shifting burden of proof that is mentioned in both acts. The strength and weakness of the application of shifting burden of proof, the strength are both acts applying the system only for trial stage and not at the investigation stage hence the transparency of shifting burden of proof is clear at the trial. While, the weakness of both acts is the criminal justice procedure regulating shifting burden of proof has not been ruled yet; hence it causes difficulty in its application. The status of shifting burden of proof system with the principle of presumption of innocence in the Suppression of Corruption and the Prevention and Suppression of Money Laundering is that the proof system on both acts oblige the accused to prove that the property of the accused is not derived from crimes. The system is against the principle of presumption of innocence that the accused is not burdened the obligation of proof, burdening proof is only for prosecutor as regulated on the Indonesian Criminal Process Act and the Act of Human Rights. Keywords: Shifting Burden of Proof and Presumption Innocence Abstrak: Pada Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembuktian terbalik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinkronisasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah yaitu pembuktian terbalik pada kedua undang-undang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Kata Kunci: Pembuktian Terbalik dan Asas Praduga Tidak Bersalah

Copyrights © 2014