cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Magister Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 112 Documents
PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA. Eka Kusnita, Faisal A. Rani, M. Gaussyah.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.757 KB)

Abstract

Abstract: The appellation of cassation in administrative dispute has been limited by the act in Article 45A (2) point c of the act Number 5, 2004 that is every citizen right or people in order to get justice in the Higher Court. In practice, the norm implementation has not been working well, by the acceptance and the rejection of the case limited in the Act by the Head of Administrative Court Banda Aceh. Thus, the legal problems exist are whether the limit in appealing the cassation is against constitutional rights, and whether the reasons of the Head of the Administrative Court of Banda Aceh in accepting and rejecting limited by the act has been in accordance with laws. It aims at finding the problems faced. This is jurudical normative legal research. The limit towards the administrative court is against the constitutional right of citizen that are the right to have legal protection which is the justice worded in Article 28 (1) of the 1945 Constitution. The justice given for every citizen cannot be limitted because it is cannot be measuraed. The legal consideration of the Head of Administrative Court of Banda Aceh are not proper to state law principle as the reason of the Chief accepted is to give it to the Supreme Court determining the case to be tried is part or not determined by the Act. Secondly, the reason shows that the violation of the legality principle and both reasons is againts the equality before the law principle. Keywords: Cassation Law Review, and Administrative Dispute Abstrak: Dalam Pasal 45A ayat 2 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 terdapat pembatasan hak pengajuan kasasi terhadap perkara tata usaha negara. Kemudian pelaksanaan norma tersebut tidak berjalan dengan semestinya, dengan diterima atau tidaknya permohonan kasasi yang dibatasi oleh Ketua PTUN Banda Aceh. Permasalahan hukumnya adalah apakah pembatasan kasasi hak untuk pengajuan kasasi bertentangan dengan hak-hak konstitusional, dan apakah alasan hukum Ketua PTUN dalam menerima atau tidaknya perkara tersebut sesuai dengan prinsip negara hukum. Tujuan penelitian ini untuk mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pembatasan perkara TUN melanggar hak-hak konstitusional warga negara yaitu hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D UUD 1945. Adapun alasan hukum Ketua PTUN tidak sesuai dengan prinsip negara hukum yaitu prinsip persamaan kedudukan di mata hukum dan asas legalitas, karena alasan hukum ketua PTUN menerima biar Mahkamah Agung yang menentukan perkara tersebut dibatasi atau tidak, sedangkan yang tidak diterima karena ada norma pembatasan. Untuk memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan disarankan kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi norma pembatasan tersebut. Disarankan kepada Ketua PTUN Banda Aceh untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan agar melaksanakan aturan yang telah dibuat, apabila perkara tersebut dibatasi maka batasilah selama aturan itu masih berlaku. Kata Kunci : Upaya Hukum Kasasi Dan Sengketa Tata Usaha Negara.
PELAKSANAAN PRINSIP SUBROGASI DALAM PERJANJIAN ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh) Yuwita, Amiruddin Abdul Wahab, Mahfud.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 3: Agustus 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.462 KB)

Abstract

Abstract:The research shows that the implementation of subrogation in the vehicle insurance contract in Banda Aceh is not accordance with the existing laws. Subrogation is actually the right of the guarantor that has provided restitution for guarantee to claim the third party or other parties causing the insurance having loss. However, there is the fact that the guarantee is keeping demanding the restitution from the third party causing the loss and claiming the insurance for the loss for the guarantor. In other word, the guarantee has already got the restitution over it should be by having it from the third party causing the loss and also from the insurance party hence the implementation of subrogation principle in the insurance of vehicle is not as expected. The constraint factors are in the implementation of vehicle insurance that is not going well are internal (guarantor); lack of understanding of the staffs regarding the basic principle of insurance, the staffs are not proactive, litigation privileged, an lack of coordination with the police. While, external factors are from guarantees and the third party comprising of lack of legal awareness and understanding from them, good faith factors, and environmental around the company.Eefforts have been done are publication to every customer regarding the principle of subrogation and also the rights and obligation arise in the contract and should be proactive in handling the claim from the guarantee and also negotiate with the parties. Keywords : Subrogation, insurance, Vehicle. Abstrak: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan subrogasi dalam perjanjian asuransi kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Subrogasi pada prinsipnya merupakan hak penanggung, yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung, untuk menuntut kepada pihak ketiga atau pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian. Akan tetapi yang terjadidalam praktik tertanggung tetap saja menuntut ganti rugi dari pihak ketiga yang menyebabkan kerugian dan juga mengajukan klaim asuransi atas kerugian yang dideritanya kepada pihak penanggung asuransi. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dalam melaksanakan prinsip subrogasi pada asuransi kendaraan bermotor berupa upaya yang bersifat prevetif, yaitu upaya untuk mengatasi hambatan internal dengan mengadakan sosialisasi dan pelatihan tentang prinsip-prinsip dasar asuransi bagi staf perusahaan asuransi, perusahaan melalui staf dan karyawan harus lebih teliti dalam melakukan survey di lapangan, menempuh jalur non litigasi dan juga litigasi dalam hal meminta penggantian kepada pihak ketiga yang menyebabkan kerugian serta melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian dan instansi terkait lainnya. Sedangkan upaya mengatasi hambatan eksternal dengan melakukan sosialisasi terhadap setiap calon nasabah tentang prinsip subrogasi beserta hak dan kewajiban yang timbul dari adanya prinsip subrogasi tersebut dan mengupayakan lebih proaktif dan cepat tanggap dalam menanggapi laporan klaim dari tertanggung dan melakukan negosiasi dengan pihak ketiga. Kata kunci :Subrogasi, Asuransi dan Kenderaan Bermotor.
STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP PERZINAAN MENURUT KUHP DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM Hendra Surya, Rusjdi Ali Muhammad, Mohd. Din.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 3: Agustus 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.8 KB)

Abstract

Abstract. Punishment towards adultery in Indonesian Penal Code is still debatable among legal experts or society. Even, every year, there are 2,6 million cases in Indonesia or every hour there are 300 women commit abortion due to unwanted relationship. It is due to Article 284 in regulating it, while in Islamic Criminal Law clearly regulates about it stating that the relationship is an adultery. The research shows that the adultery concept according to the Code is the concept of prevention at the end or after the commission meaning that the commssion is not deemed as a crime if the perpetrators are unmarried that can sue the party, the complain from the wife or husband, while in the Islamic Criminal Law the prevention concept is at the beginning that is prohibiting to attempt it or to commit it for every one committing it hence it can be punished despite the fact that there is no one husband or wife complains about it feeling loss. While, the ideal adultery concept regulation in the Code in the future is the change of adultery concept that can be found in the religious concept and it should be following the living values of Indonesian society. Key words: Punishment, Adultery, Indonesian Criminal Code and Islamic Punishment. Abstrak. Sanksi hukum terhadap perzinaan dalam KUHP masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli hukum maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bahkan setiap tahun terjadi 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia atau setiap jamnya terdapat 300 wanita telah menggugurkan kandungannya, karena kehamilan yang tidak dinginkan atau dari hubungan gelap. Hal ini terjadi akibat ketidaktegasan Pasal 284 dalam mengatur masalah perzinaan, sedangkan dalam hukum pidana Islam dengan tegas mengatur bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah perzinaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, konsep pidana perzinaan menurut KUHP yaitu konsep pencegahan di akhir atau setelah terjadinya perzinaan, dalam artian perzinaan tidak dikatagorikan sebagai tindak pidana, apabila pelaku belum ada ikatan perkawinan yang sah dan dapat dituntut, jika ada pengaduan dari suami atau isteri yang merasa dirugikan, sedangkan dalam hukum pidana Islam konsep pencegahan di awal, melarang setiap perbuatan yang mendekati zina, apalagi perbuatan zina dan siapapun yang melakukan zina, maka dapat dipidanakan walaupun tidak ada pengaduan oleh suami atau isteri yang dirugikan.Sedangkan,konsep pengaturan perzinaan yang ideal dalam KUHP mendatang adalah perubahan konsep delik perzinaan harus dilihat dari sudut agama dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Kata Kunci : Hukum,Zina, KUHP dan Pidana Islam.
KEBERADAAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA KAITANNYA DENGAN ASAS EFEKTIF DAN EFISIEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Herdiansyah Putra, Eddy Purnama, Taqwaddin.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 4: November 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.489 KB)

Abstract

Abstract : The existence of the Civil Servant Commission (CSC or abbreviated KASN in bahasa), its own function, tasks, authority had been extensively studied in this research. Hence, its main objectives to monitor and to evaluate several aspects, e.g. policy-implementation, civil servants’ management, a guaranteed of an embodied merit system, the monitoring of basic law’s implementation, ethical- and behavioral-codes among the civil servants employed by the Republic of Indonesia were also being reviewed. The CSC’s location, particularly, at the country’s capital city was regarded here as the main challenge and obstacles in term of its effectiveness in carrying its own duties. The aim of this study is to determine whether the CSC’s working principles was in accordance with the effectiveness and efficiency principles. Moreover, other similar regulation, e.g. Law Number 5/ Year 201 that explained about civil servants, might be hindered CSC in implementating of its function, tasks, and authority. Research methodology applied was normative juridical research. The indicators showed that the CSC had not yet optimally worked in accordance with the effectiveness and efficiency principles in carrying its own duties, such as by the hiring of leading positions, an exceed number of leading positions compared with the total number of area, a contradicted legislation regarding the management of regional government e.g. Article 375/ Paragraph 3 of Act No. 23/ Year 2014. This stated that the governor, himself, acts as a central government’s representative and he is responsible in supervising public issues, including civil servant management at regional level. This study recommends that the Indonesian government needs to maximize the CSC’s existence, to immediately recruit supporting staffs, or to form CSC at regional levels, so that it could meet its requirment to reach an optimum function, task, and authority. Furthermore, it is also immediately recommended to harmonize and to reach a common understanding by the hiring of leadership position.Keywords : civil servant management, Indonesian government, the civil servant commission. Abstrak: Keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara [disingkat dengan KASN (indonesia) atau CCS (inggris)] dengan fungsi, tugas, dan kewenangan dipelajari secara ekstensif dalam penelitian ini. Untuk itu, tujuan utama pembentukannya untuk melakukan monitoring dan evaluasi beberapa aspek, seperti pelaksanaan kebijakan, manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), penjaminan perwujudan sistem merit, serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan perilaku diantara ASN Republik Indonesia juga direview. Letak KASN, khususnya yang berkedudukan di ibu kota negara dianggap sebagai tantangan dan hambatan sehubungan dengan kefektifan dalam menjalankan tugasnya. Tujuan penelitian ini untuk memastikan apakah prinsip kerja KASN sesuai dengan asas efektif dan efisien. Selain itu, peraturan sejenis, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dapat menjadi hambatan bagi KASN dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Indikator menunjukan bahwa KASN belum bekerja secara optimal sesuai asas efektif dan efisien dalam melakukan tugasnya, seperti dalam pengisian jabatan pimpinan tinggi, banyaknya jumlah jabatan pimpinan tinggi dibanding dengan luas wilayah, adanya kontradiksi pengaturan perundangan mengenai tata laksana pemerintah daerah, seperti pasal 375 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23/ Tahun 2014. Disini disebutkan bahwa Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat dan bertanggung jawab dalam pembinaan yang bersifat umum, termasuk tata laksana kepegawaian pada perangkat daerah. Studi ini menyarankan pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan keberadaan KASN, segera melakukan perekrutan tenaga pendukung, atau untuk membentuk KASN di daerah, sehingga KASN dapat bekerja secara optimal dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan. Selain itu, studi ini juga segera merekomendasikan untuk mengharmonisasi dan mencapai kesamaan pemahaman terkait dengan pengaturan pengisian jabatan pimpinan tinggi.Kata kunci: tata laksana aparatur sipil negara, hukum pemerintahan Indonesia, Komisi Aparatur Sipil Negara.
HAK ASIMILASI NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN . Maidi Satria, Mohd. Din, Sulaiman.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1: Februari 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.596 KB)

Abstract

Abstract:The making the provision of assimilation stricter for the prisoners of corruption conviction due to the fact that the crime is different from the ordinary crime or this crime can be called as extra ordinary crime and the provision of assimilation provided has not provided benefit in preventing the crime that is rising, and the implementation of it has not been equipped by the monitoring from relating institutions. The obstacles faced are there are lack of facilities, the officers, and the stigmatisation of the perpetrators from the society that remains controversy. The efforts done are increasing the facilities in the prisons, law campaign, and publication for people regarding the benefit and aim of the program and to develop human resource capacity. Keywords :Assimilation Right, Prisoners, and Corruption Crime. Abstrak: Semakin diperketatnya pemberian hak asimilasi kepada narapidana tindak pidana korupsi atas dasar pertimbangan bahwa kejahatan tindak pidana korupsi yang dikualifikasikan sebagai extra ordinari crime atau kejahatan yang luar biasa dan Pelaksanaan asimilasi yang selama ini masih belum memberikan mamfaat dalam mencegah kasus korupsi, serta didalam pelaksanaan asimilasi masih terdapat tidak adanya mekanisme pengawasan yang baik dari semua pihak yang terlibat. Kendala dalam pelaksanaan asimilasi adalah sarana yang masih minim, sdm petugas yang belum memadai dan masih adanya pemahaman masyarakat yang buruk terhadap narapidana korupsi.Upaya yang dilakukan meningkatkan sarana dan fasilitas yang menunjang program asimilasi ,lebih meningkatkan SDM petugas pemasyarakatan serta memberikan penyuluhan hukum dansosialisasi tentang mamfaat dan tujuan asimilasi. Disarankan pengawasan serta koordinasi terhadap narapidana asimilasi harus lebih diperketat.Agar pelaksanaan asimilasi dapat berjalan lancar sesuai dengan program asimilasi. Kata kunci :Hak Asimilasi, Narapidana, Tindak Pidana Korupsi.
KEBERADAAN ALAT BUKTI SAKSI SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Cut Nilasari, Dahlan Ali, Rizanizarli.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 2: Mei 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.222 KB)

Abstract

Abstract: Article 37A (1) of the Act Number 31, 1999 which later changed with the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption and Article 77 of the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering. Both the acts regulate the shifting burden of proof. The research findings are that the synchronization of shifting burden of proof in the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption with the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering that there is no maximal synchronization toward the substance of shifting burden of proof that is mentioned in both acts. The strength and weakness of the application of shifting burden of proof, the strength are both acts applying the system only for trial stage and not at the investigation stage hence the transparency of shifting burden of proof is clear at the trial. While, the weakness of both acts is the criminal justice procedure regulating shifting burden of proof has not been ruled yet; hence it causes difficulty in its application. The status of shifting burden of proof system with the principle of presumption of innocence in the Suppression of Corruption and the Prevention and Suppression of Money Laundering is that the proof system on both acts oblige the accused to prove that the property of the accused is not derived from crimes. The system is against the principle of presumption of innocence that the accused is not burdened the obligation of proof, burdening proof is only for prosecutor as regulated on the Indonesian Criminal Process Act and the Act of Human Rights. Keywords: Shifting Burden of Proof and Presumption Innocence Abstrak: Pada Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembuktian terbalik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinkronisasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah yaitu pembuktian terbalik pada kedua undang-undang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Kata Kunci: Pembuktian Terbalik dan Asas Praduga Tidak Bersalah
HAK DAN KEWAJIBAN BENDAHARAWAN INSTANSI PEMERINTAH DALAM PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN DI KABUPATEN PIDIE Yusmadi, Dahlan, Mahdi Syahbandir.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.42 KB)

Abstract

Abstract: The implementation of the obligation of the person paying the tax at the governmental institution in collecting income tax in Pidie District has not been conducted well, it can be seen from the fact that there are the people in Regional Official Working Unit that are late in transferring it to the Tax Service Office as they are not fulfilling their duties relating the taxation based on existing rule causing the income of the state from the tax is having a trouble and it is prone to making loss to the state. The cause factors that the people do not transferring the collected income tax that has been collected are lack of understanding regarding the obligation of taxation, lack of coordination with the taxation officials, lack of campaign regarding how to pay the tax, to collect tax and to cut it and how to report it by the Governmental Obliged Tax Payer. The juridical consequence on the officers that is not fulfilling the collection and transferring it to the state are he will be sentenced criminally based on the criminal rule on the Act of Taxation especially regarding the rule on Income Tax of the Act. Keywords: The contents of the MoU and the Act of Aceh Governance Abstrak: Pelaksanaan kewajiban bendaharawan instansi pemerintah dalam pemungutan pajak penghasilan di Kabupaten Pidie belum berjalan sebagaimana mestinya hal ini ditunjukkan dengan adanya bendahara pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlambat dalam penyetoran pajak penghasilan ke Kantor Pelayanan Pajak karena bendahawaran yang tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang berakibat pada penerimaan negara dari sektor pajak juga mengalami kendala dan berpotensi merugikan negara. Faktor penyebab bendaharawan instansi pemerintah tidak menyetorkan pajak penghasilan yang telah dipungut antara lain, rendahnya pemahaman terhadap kewajiban perpajakan, lemahnya koordinasi dengan petugas perpajakan (fiskus), kurangnya penyuluhan tentang tata cara pembayaran pajak, pemotongan pajak dan pemungutan pajak serta tata cara pelaporan pajak oleh wajib pajak instansi pemerintah. Konsekwensi yuridis bagi bendaharawan instansi pemerintah yang tidak melaksanakan pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan adalah bendahara yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pidana UU Perpajakan khususnya UU PPh. Kata kunci: Bendaharawan dan Pajak Penghasilan
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH MELALUI OFFSET JAMINAN DI BANK BUKOPIN CABANG BANDA ACEH Dina Refina; Dahlan Dahlan; Sri Walny Rahayu
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 3: Agustus 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.41 KB)

Abstract

Abstract: The regulation of Indonesian Central Bank (known as Bank Indonesia or BI) No. 7/ 2/ Pbi/ Year 2005, Article 1 Point 15 has been applied as reference by the credit repayment in the form of offset guarantee delivered by PT. Bank Bukopin branch office of Banda Aceh with its credit loaner or debtor. This mentions “every collateral in any form of assets - that has been taken over and obtained by the bank - either through an auction or not from the debtor, is presumed as confiscatory item or bank’s asset (activa)”. The bank is authorized by its debtor to entitle his/her collateral either freely or not if he/she fails to comply his/her obligation. In the practice, however, there has been no clearly stated clause which guarantees debtor’s objection to entitle freely his collateral to the bank (in this regard Bank Bukopin) and to proceed it further by the credit repayment process. This has been referred as offset guarantee. Basically, to authorize the bank the selling of  collateral belong to a debtor is not a problem as long as the sale of an object or the sale price of the initial object is advantageous for both parties. This will be a problem if the sale of an object or sale price determined by the bank is usually below the market price, which disadvantages debitor’s interest. The offset guarantee can be employed in the repayment process only if the collaterals are in the form of fixed-properties, or located in the municipality, and/ or if main branch office of Bank Bukopin is available.Keywords: collateral, credit repayment, offset guarantee, selling authority.Abstrak: Peraturan Bank Central Indonesia (dikenal sebagai Bank Indonesia atau BI) No. 7/ 2/ Pbi/ Tahun 2005, Pasal 1 Angka 15 telah ditetapkan sebagai dasar dalam proses penyelesaian kredit dalam bentuk jaminan offset yang dikeluarkan oleh PT. Bank Bukopin Cabang Banda Aceh dengan peminjam kredit atau debitor.  Peraturan tersebut menyebutkan bahwa “setiap agunan dalam bentuk apapun - yang telah diambil alih dan didapatkan oleh  bank – baik melalui pelelangan ataupun tidak  dari debitor, dianggap sebagai bahan sitaan atau aset dari bank (aktiva)”. Bank diberikan kuasa oleh si debitor untuk menyerahkan agunannya baik secara sukarela atau tidak jika dia tidak dapat memenuhi kewajibannya.  Namun dalam praktiknya, belum ada klausul yang tercantum jelas yang menjamin keberatan debitor untuk menyerahkan agunannya secara sukarela kepada bank (dalam hal ini Bank Bukopin) dan kemudian memprosesnya secara lanjut dalam proses penyelesaian kredit. Hal ini disebut sebagai garansi offset. Pada dasarnya, memberikan kuasa kepada bank untuk menjual agunan milik debitor tidak menjadi persoalan asalkan penjualan suatu obyek atau harga jual obyek tanggungan menguntungkan kedua belah pihak. Ini akan menjadi persoalan apabila penjualan suatu objek atau harga jual yang ditentukan oleh bank biasanya dibawah harga pasar, yang merugikan kepentingan debitor. Jaminan offset ini hanya dapat dilakukan dalam proses pengembalian hanya jika agunan merupakan benda tidak bergerak, atau berada di daerah kotamadya dan/atau terdapat kantor cabang utama Bank Bukopin.Kata kunci: agunan, pembayaran kredit, jaminan offset, kuasa menjual.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI Hendry Junaidi, Mohd. Din, Adwani.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 4: November 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.032 KB)

Abstract

Abstract: The offenses wording in the Telecommunications Act, particularly the use of radio frequency spectrum into criminal acts are less obvious, namely Article 33 paragraph (1) and (2); Article 53 paragraph (1) and (2). It would led to speculative interpretations that the Act does not explain in detail. The purpose of this study is to determine how the policy formulation of criminal offense due to the use of radio frequency spectrum in force now and in the future would be. Article 53 paragraph (1) and (2) is a form of criminal sanctions, criminal acts refer to the provisions of Article 33 paragraph (1) and (2). The formulation of these articles have weaknesses viewed from the principle of legality, in particular the meanings embodied in the principle of legality which is the formulation of the offense should not be any less obvious (the application of the principle of lex certa). Criminal law policy on the crime of the use of radio frequency spectrum in the future is ideally formulated having regard to the principles that apply in criminal law as well as the meanings contained therein. It is suggested that in formulating a criminal provisions became clear what elements, nature, the norm whether cumulative or alternative or combination (alternate with cumulative) or different objects are merged into one character not the norm, thus these provisions can be easily understood and applied by the competent bodies properly. So also with the criminal responsibility should be clearly formulated and complete. Keywords: the criminal policy the use of radio frequency spectrum. Abstrak: Formulasi delik di dalam UU Telekomunikasi, khususnya terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang menjadi tindak pidananya masih ada yang kurang jelas yaitu Pasal 33 ayat (1) dan (2); Pasal 53 ayat (1) dan (2). Sehingga akan memunculkan spekulasi berupa penafsiran-penafsiran karena UU Telekomunikasi tidak menjelaskan secara rinci. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana penggunaan spektrum frekuensi radio yang berlaku sekarang dan masa mendatang. Pasal 53 ayat (1) dan (2) adalah bentuk sanksi pidana, perbuatan pidananya merujuk kepada rumusan Pasal 33 ayat (1) dan (2). Rumusan pasal-pasal tersebut mempunyai kelemahan jika dilihat dari asas legalitas, khususnya makna-makna yang terkandung dalam asas legalitas yaitu tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (penerapan dari asas lex certa). Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penggunaan spektrum frekuensi radio masa mendatang, idealnya diformulasikan dengan memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana serta makna-makna yang terkandung di dalamnya. Disarankan agar di dalam merumuskan suatu ketentuan pidana jelas apa yang menjadi unsur-unsurnya, sifat rumusan normanya apakah bersifat kumulatif atau alternatif atau gabungan (alternatif dengan kumulatif) atau objek yang berbeda karakter tidak digabung dalam satu norma, sehingga ketentuan tersebut dapat mudah dipahami dan diterapkan oleh badan-badan yang berwenang dengan semestinya. Begitu juga dengan pertanggungjawaban pidana harus dirumuskan dengan jelas dan lengkap. Kata kunci : Kebijakan pidana penggunaan spektrum frekuensi radio.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP NORMA HUKUM KEWAJIBAN MELAKSANAKAN SHALAT JUM’AT DALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002. Putra Aguswandi, Syahrizal Abbas, Mohd Din.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.006 KB)

Abstract

Abstrack: Friday prayer is an obligation that must be implemented by every man in Islam. The implementation of the Friday prayer has been implemented by the people of Aceh based on the provisions that were ordered in the Qur'an and hadith. The Rule that offers the obligation of carrying out the Friday prayer is a personal matter (fardhu 'ain) of a servant with the God who created it. However, the Government of Aceh also creates rules regarding the obligation to implement the Friday prayer so that the rule of law in Aceh is not only regulates the relationship between human beings, but also regulates human relationship with their creator. The rules regarding the obligation to implement the Friday prayer contained in Article 8 of Qanun No. 11 of 2002 on the Implementation of Islamic Shari'ah of Belief Field (Aqeedah), worship and Greatness of Islam (Syi'ar Islam) which are also confirmed by sanctions for any person who leaves this obligation under the Article 21 of Qanun No. 11 of 2002. This is interesting because the rule are usually set in the positive law only regulates the problems occurred among human being, but now become more widespread with the enactment of regulations issued by the Government of Aceh on the obligation to implement the Friday prayer that is a matter between the human and God. Keywords : Prayer Friday. Abstrak: Shalat Jum’at merupakan suatu perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap laki-laki yang beragama Islam. Pelaksanaan Shalat Jum’at itelah dilaksanakan oleh masyarakat Aceh sejak dahulu berdasarkan ketentuan yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan hadits.Aturan yang mengatur mengenai kewajiban melaksanakan Shalat Jum’at merupakan urusan pribadi (fardhu ‘ain) seorang hamba dengan Allah yang menciptakannya.Namun Pemerintah Aceh juga membuat aturan mengenai kewajiban melaksanakan Shalat Jum’at sehingga aturan hukum di Aceh tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur mengenai hubungan manusia dengan penciptanya. Aturan mengenai kewajiban melaksanakan Shalat Jum’at tersebut tercantum dalam Pasal 8 Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dah Syi’ar Islam yang juga ditegaskan oleh sanksi bagi setiap orang yang meninggalkan kewajiban tersebut dalam Pasal 21 Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tersebut. Hal ini menarik karena aturan yang biasanya diatur dalam hukum positif hanya mengatur mengenai permasalahan yang terjadi antara sesama manusia, sekarang menjadi semakin meluas dengan berlakunya aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh mengenai kewajiban melaksanakan Shalat Jum’at yang merupakan urusan antara manusia dengan Tuhannya,. Kata kunci :Shalat Jum’at.

Page 1 of 12 | Total Record : 112