al-Qur’an al-Karīm dan Hadits atau Sunnah Rasulullah adalah dua sumber primer dan asasi dalam Islam. Hal ini selain telah menjadi konsensus (ijmā’) umat, juga telah menjadi sebuah keyakinan (i’tiqād) yang bulat dan mapan (taken for granted), tidak boleh diganggu gugat.Menurut al-‘Utsaimin, seorang yang menjadikan al-Qur’an sebagai dalil, ia hanya membutuhkan satu perangkat penelitian (nazhar), yaitu penelitian tentang hukum yang dikandung oleh nash al-Qur’an (al-nazhar fī dalālah al-nash ‘alā al-hukm), tidak membutuhkan penelitian terhadap musnad atau transmisi periwayatannya, karena al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, lafazh maupun maknanya (lafzhan wa ma’nan). Sedangkan bagi orang yang ingin menjadikan hadits sebagai dalil, maka ia membutuhkan dua perangkat penelitian sekaligus, yaitu: Pertama; penelitian tentang orisinilitas dan validitas hadits (al- nazhar fī tsubūtihā ‘an al-Nabī ); apakah benar berasal dari Rasulullah , karena tidaksetiap hal yang disandarkan kepada beliau adalah benar. Kedua; penelitian tentang hukum yang dikandung oleh nash hadits.Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadits guna mengetahui tingkat validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Ini berarti mengadakan penelitian ulang terhadap hadits-hadits, terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrīj. Takhrīj pada prinsipnya adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadits dari kitab-kitab hadits, untuk menganalisis keadaan sanadnya, baik aspek kesinambungan transmisi perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan diketahui tingkat validitas hadits. Begitulah model takhrīj ini –sebagai suatu penelitian ulang– terhadap hadits-hadits yang sudah terhimpun dalam kitab-kitab hadits memerlukan kesungguhan dan ketelitian. Keywords: takhrīj, ilmu takhrīj hadits, dan metodologi takhrīj
Copyrights © 2017