cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX PRIVATUM
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 1,391 Documents
PENGALIHAN HAK EKONOMI ATAS HAK CIPTA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Gerungan, Andre
LEX PRIVATUM Vol 4, No 2 (2016): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai hak ekonomi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana pengalihan hak ekonomi atas hak cipta menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun  2014 tentang Hak Cipta. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Pengaturan hukum mengenai hak ekonomi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menunjukkan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk meiakukan: penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian ciptaan; atau pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan. Bagi pihak lain yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. 2. Pengalihan hak ekonomi atas hak cipta menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menunjukkan hak cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud. Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena: pewarisan;  hibah;  wakaf; wasiat; perjanjian tertulis; atausebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "dapat beralih atau dialihkan" hanya hak ekonomi, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri Pencipta. Kata kunci: Pengalihan hak ekonomi, hak cipta,
PENANAMAN MODAL ASING DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 Ismail, Ismail
LEX PRIVATUM Vol 5, No 8 (2017): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ImplementasiUndang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat dan bagaimana dampak penanaman modal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Berdasarkan pembahasan penulis menarik kesimpulan bahwa masuknya penanam modal asing ke Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain; jumlah penduduk yang tergolong besar, peluang pasar yang menguntungkan ditambah kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal yang disebutkan terakhir ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para penanam modal asing. Kesemuanya ini turut dipicu dengan terbukanya era globalisasi, yang diikuti perdagangan bebas yang membuka peluang masuknya modal asing secara masif. Salah satu sector kebijakan ekonomi yang mempunyai pengaruh besar pada kondisi perekonomian secara umum adalah kebijak investasi.   Penanaman modal menjadi bagian penyelenggaraan perekonomian nasional sebagai upaya penyediaan keterbukaannya lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi, meningkatkan kapasitas teknologi, serta mendorong kemajuan ekonomi kerakyatan.  2.  Salah satu sektor kebijakan ekonomi yang mempunyai pengaruh besar pada kondisi perekonomian secara umum adalah kebijakan investasi atau penanaman modal. Model kebijakan investasi yang dipakai suatu negara sangat berpengaruh pada pola interaksi dunia bisnis yang ada di negara tersebut .Penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Salah satu yang bisa diharapkan dari Penanaman Modal yaitu Penanaman Modal Asing.Kata kunci: Penanaman Modal Asing, Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat .
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN Yulius, Louis
LEX PRIVATUM Vol 1, No 3 (2013): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Industrialisasi di dunia saat ini sangat penting, dimana masyarakat  saling menopang satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera. Untuk itu, kemajuan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka dan memiliki daya saing yang begitu banyak tantangan, baik sebagai pelaku usaha, konsumen dan pemerintah. Hal ini yang membuat lebih lemah kedudukan/posisi konsumen dibanding pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha dalam masyarakat sekarang ini sangat diperlukan dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.  Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen secara umum mempunyai prinsip-prinsip hukum, seperti prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, prinsip praduga selalu bertanggung jawab, prinsip praaduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, prinsip tanggung jawab mutlak, dan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Disisi lain pelaku usaha terikat untuk memperhatikan apa yang menjadi hak-hak dari konsumen. Dan yang inti dari tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen dapat berupa penggantian dengan barang dan/atau jasa yang sama dan penggantian dengan sejumlah uang.  Dan yang menjadi upaya-upaya dari pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen yang pertama adalah dasar pertanggungjawaban yang terdiri dari pertanggungjawaban publik dan pertanggungjawaban privat, yang kedua adalah pembuktian yang terdiri dari sisi perbuatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum, dan yang ketiga juga paling utama adalah ganti kerugian berupa, ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan kerugian konsumen berdasarkan perbuatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.  Oleh karena itu, begitu pentingnya tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen berupa prinsip-prinsip hukum seperti memberi ganti kerugian berupa uang apabila mengakibatkan sakit. Namun, sampai saat ini kerugian immateril yang diderita konsumen seperti rasa kecewa, sakit hati, marah dan sebagainya tidak pernah diperhitungkan oleh pelaku usaha. Dan juga tidak semua pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti kerugian karena masih kurangnya kesadaran hukum dari pelaku usaha. Kata Kunci : Konsumen, Pelaku Usaha
PERBANDINGAN SISTEM PERALIHAN HAK MILIK MENURUT KUHPERDATA DAN UUPA NO. 5 TAHUN 1960 Beta, Sultan Pratama
LEX PRIVATUM Vol 7, No 5 (2019): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara penguasaan kebendaan hak milik perspektif sistem hukum perdata (KUH Perdata) dan bagaimana prosedur terjadinya peralihan hak milik perspektif sistem hukum perdata (KUH Perdata). Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Cara penguasaan benda atau kebendaan hak milik dalam sistem hukum perdata sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat melalui jual-beli; warisan; hibah; tukar-menukar dan lain-lainnya yang diperuntukkan bagi para pihak dapat menikmati kegunaan/manfaat suatu benda/kebendaan secara bebas dengan tidak mengganggu hak/ketentraman orang lain, sebagaimana diatur dalam regulasi yang terkait, dengan syarat peralihan/penguasaan dilakukan oleh orang dewasa, orang yang berhak, instansi/lembaga yang berkepentingan untuk hak tersebut. 2. Prosedur terjadinya peralihan hak milik dilakukan dengan mengacu pada regulasi, sistem hukum perdata, hukum agraria, sistem hukum Islam, dan sistem hukum adat. Adapun yang menjadi obyek peradilan hak milik meliputi: benda atau kebendaan yang mempunyai nilai ekonomi dan bermanfaat bagi pihak, dengan cara melakukan pemilihan, jual-beli, pewarisan, hibah, penyerahan, membuka lahan/hutan, daluwarsa, wasiat, guna kepentingan para pihak untuk dapat menikmati secara bebas dengan tidak melanggar hukum yang berlaku.Kata kunci: Perbandingan, Sistem Peralihan, Hak Milik, KUHPerdata dan UUPA
KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 Budiman, Jelvitson Stevy
LEX PRIVATUM Vol 5, No 1 (2017): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang  dan bagaimana Kewenangan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kedudukan PPATK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan dari lembaga-lembaga lain, Kedudukan PPATK sangatlah Power Full di bandingkan dengan lembaga-lembaga lain. Oleh sebab itu Pengaturan tentang PPATK itu sendiri di atur secara khusus dibandingkan lembaga-lembaga lainnya sehubungan dengan kedudukan PPATK tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga tersebut untuk membasmi kejahatan-kejahatan dalam hal keuangan namun dari segi hukum juga tidak bisa mengabaikan hal-hal yang harus dijaga dan dilindungi terlebih dahulu. Lembaga ini juga sering di sebut lembaga Super power dan lembaga ini bersifat independen karena PPATK dalam melaksanakan tugasnnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden, karena sifatnya yang independen, PPATK dalam melaksanakan tugasnnya  tidak ada satu pun lembaga yang dapat turut campur tangan dalam mengungkapkan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang. 2. Kewenangan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat meminta kepada penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi keuangan yang pada bilamana PPATK harus meminta penetapan terlebih dahulu dari Pengadilan Negeri, dan itu pun harus disertai bukti yang cukup untuk menghentikan sementara suatu transaksi sehingga dapat melindungi kas keuangan negara. Pada kenyataanya pasal ini dilegalisasikan oleh undang-undang tersebut . keberadaan dari pasal tersebut membuat tumpang tindih antara kewenangan PPATK dan Penyidik sehingga dapat berpotensi pelanggaran Hukum yang terjadi. Kata kunci: Kewenangan, PPATK, tindak pidana, pencucian uang
PENGATURAN DAN PEMENUHAN PEROYAAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI LEMBAGA JAMINAN DALAM HUKUM PERDATA Gani, Muammar
LEX PRIVATUM Vol 6, No 3 (2018): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses hak tanggungan terkait dengan hak jaminan atas tanah dan bagaimana pengaturan dan pemenuhan peroyaan hak tanggungan sebagai lembaga jaminan dalam hukum perdata, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkanbahwa: 1. Keterkaitan hak tanggungan dengan hak jaminan dalam lembaga jaminan, bahwa hak tanggungan merupakan lembaga hak jaminan bagi tanah menurut sistem hukum nasional UUPA No.5 Tahun 1960, hanya khusus berkenaan dengan rumusan hak tanggungan atas tanah dan dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Hak tanggungan menunjukkan ciri dan sifat, bersifat memaksa, mengikuti benda yang dijaminkan dalam tangan siapa berada, bertingkat-tingkat, mana yang lebih tinggi, wajib didaftarkan dan dapat disertai janji-janji tertentu, dan hak atas tanah sebagai hak tanggungan menurut UUPA. 2. Pengaturan dan pemenuhan “roya” atau “peroyaan” hak tanggungan yang melekat pada buku tanah sebagai objek hak tanggungan, pemenuhan roya ditujukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), hapusnya hak tanggungan atas peristiwa sebagai syarat menyerahkan sertifikat asli sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah. Pengaturan “roya” atau “peroyaan” diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UUHT, “roya” bukanlah syarat untuk hapusnya beban ini bukan akibat hukum sebagaimana pada pendaftaran hak tanggungan, peroyaan catatan hak tanggungan dari buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya akan dilakukan, kalau hak tanggungan sudah hapus.Kata kunci: roya, hak tanggungan
SYARAT MATERIL DAN FORMAL GUGATAN REKONVENSI DALAM PERKARA PERDATA Sabda, I Nyoman Setiadi
LEX PRIVATUM Vol 3, No 2 (2015): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tata cara mengajukan gugatan perdata dan apakah dimungkinkan bisa terjadi penggabungan gugatan perdata serta apakah dalam proses persidangan bisa diajukan gugatan Rekonvensi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Gugatan dapat diajukan secara Tertulis pada Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) R.Bg, juga dapat diajukan secara Lisan pada Pasal 120 HIR dan Pasal 144 R.Bg. 2. Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum dalam satu surat gugatan tidak dilarang oleh Hukum Acara Perdata. Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat atau koneksitas satu sama lain. 3. Undang-undang tidak mengatur mengenai syarat-syarat gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi dianggap sah jika gugatan Rekonvensi Diformulasi secara Tegas dan diterangkan tergugat dalam jawaban. Kata kunci: Syarat materil dan formal, gugatan rekonvensi, perkara perdata
STUDI PERKAWINAN MENURUT MASING-MASING AGAMA DAN KEPERCAYAAN YANG TIDAK DICATATKAN Muis, Dita Julistia
LEX PRIVATUM Vol 6, No 10 (2018): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah status terhadap perkawinan menurut masing-masing agama dan kepercayaan yang tidak dicatatkan dan bagaimanakah akibat hukum terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Perkawinan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Yang harus dilakukan pencatatan yang menjadi sahnya perkawinan yang dilaksanakan sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi suami dan isteri yang bersangkutan dalam melangsung kehidupan keluarganya. 2. Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan yakini perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Demikian juga satus anak yang dilahirkan tidak sah. Dan konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.Kata kunci: perkawinan; tidak dicatatkan;
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA TAHUN 1969 Songko, Gerald E.
LEX PRIVATUM Vol 4, No 4 (2016): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tahapan pembentukan perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina Tahun 1969 dan bagaimana kekuatan mengikat suatu perjanjian Internasional serta bagaimana proses berlaku dan berakhirnya suatu perjanjian Internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Pada dasarnya  pembentukan perjanjian internasional dapat dilakukan melalui tiga tahap yakni ; Tahap Perundingan, Penandatanganan dan Pengesahan. Secara tehnis perjanjian internasional melalui proses penyusunan naskah, penerimaan dan pengesahan bunyi naskah. Unsur-unsur formal naskah suatu perjanjian, biasanya terdiri dari mukadimah, batang tubuh, klausula-klausula penutup dan annex. Menurut Pasal. 9 Konvensi Wina, bahwa penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan semua peserta secara bulat atau mayoritas dua pertiga dari peserta yang hadir yang memberikan suara, sedangkan Pasal. 10 menyatakan bahwa pengesahan bunyi naskah dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam perjanjian itu sendiri. 2. Setiap perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui tahapan pembentukan perjanjian internasional pada dasarnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap Negara peserta. Mengenai kekuatan atau sifat mengikat perjanjian internasional secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal. 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan  bahwa : Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 3. Pada umumnya suatu perjanjian internasional dinyatakan mulai berlaku pada saat penandatanganan oleh wakil dari masing-masing pihak yang mengadakan perundingan, walaupun dalam prakteknya dalam perjanjian multilateral klausul yang mulai berlaku sejak tanggal penandatangan  jarang sekali terjadi disebabkan banyaknya para pihak pada perjanjian multilateral tersebut. Sedangkan untuk berakhirnya   perjanjian internasional dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain batas waktu berlakunya perjanjian internasional sudah berakhir dan tujuan perjanjian sudah berhasil dicapai. Kata kunci: Kekuatan mengikat, perjanjian Internasional, Konvensi Wina
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN C MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Montolalu, Thalia Anjella Sarah
LEX PRIVATUM Vol 5, No 9 (2017): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa  kewenangan  pemerintah  daerah  dalam  pengelolaan  pertambangan  bahan  galian  C/batuan  menurut  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2014  tentang  Pemerintahan  Daerah dan bagaimana  perizinan  usaha  pertambangan  bahan  galian  C/batuan  menurut  Undang-Undang  Nomor  23  tahun  2014  tentang  Pemerintahan  daerah, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, disimpulkan bahwa: 1. Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2014  tentang  Pemerintahan  Daerah  membawa  paradigma  penyelenggaraan  kewenangan  Pemerintahan  terkait  pengelolaan  Sumber  Daya  Alam  (SDA),  termasuk  dibidang  pertambangan  mineral  non  logam  dan  batuan.  Kewenangan  Pemerintah  Daerah  Kabupaten/  Kota  beralih  ke  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  sehingga  Bupati/  Walikota  tidak  lagi  mempunyai  kewenangan  dalam  penyelenggaraan  Urusan  Pemerintahan  bidang  pertambangan  batuan.  Kewenangan  pemerintah  daerah  provinsi  dalam  pertambangan  bahan  galian  C/  batuan  adalah  menerbitkan  wilayah  izin  usaha  pertambangan  batuan  (WIUP),  izin  usaha  pertambangan  (IUP)  batuan,  izin  pertambangan  rakyat  untuk  komoditas  batuan  dalam  wilayah  pertambangan  rakyat  (WPR),  serta  penetapan  harga  patokan  batuan.  Oleh  karena  Usaha  pertambangan  terjadi  didaerah  Pemerintahan  Kabupaten/  Kota,  maka  pemerintah  daerah  kabupaten/  kota  harus  tetap  ikut  mengawasi  aktivitas  pertambangan. 2. Izin  Usaha  Pertambangan  batuan  diterbitkan  oleh  Menteri  atau  Gubernur  sesuai  kewenangannya.  Pemerintah  Kabupaten/  Kota  tidak  mempunyai  kewenangan  dalam  Urusan  perizinan  pertambangan  termasuk  bahan  galian  golongan  C/  Batuan.  IUP  Batuan  yang  telah  dikeluarkan  sebelum  berlakunya  UU  Nomor  23  Tahun  2014,  tetap  berlaku  sampai  dengan  habis berlakunya  IUP .Kata kunci: galian c, pemerintah daerah 

Page 1 of 140 | Total Record : 1391


Filter by Year

2013 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Privatum Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Privatum Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Privatum Vol. 11 No. 2 (2023): lex privatum Vol. 11 No. 1 (2023): Lex Privatum Vol. 10 No. 5 (2022): Lex Privatum Vol 10, No 1 (2022): Lex Privatum Vol 9, No 13 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 12 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 11 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 10 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 9 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 8 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 7 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 6 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 5 (2021): Lex privatum Vol 9, No 4 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 3 (2021): Lex Privatum Vol 9, No 2 (2021): Lex privatum Vol 9, No 1 (2021): Lex Privatum Vol 8, No 4 (2020): Lex Privatum Vol 8, No 3 (2020): Lex Privatum Vol 8, No 2 (2020): Lex Privatum Vol 8, No 1 (2020): Lex Privatum Vol 7, No 7 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 6 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 5 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 4 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 3 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 2 (2019): Lex Privatum Vol 7, No 1 (2019): Lex Privatum Vol 6, No 10 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 9 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 8 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 7 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 6 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 5 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 4 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 3 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 2 (2018): Lex Privatum Vol 6, No 1 (2018): Lex Privatum Vol 5, No 10 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 9 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 8 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 7 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 6 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 5 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 4 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 3 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 2 (2017): Lex Privatum Vol 5, No 1 (2017): Lex Privatum Vol 4, No 8 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 7 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 6 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 5 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 4 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 3 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 2 (2016): Lex Privatum Vol 4, No 1 (2016): Lex Privatum Vol 3, No 4 (2015): Lex Privatum Vol 3, No 3 (2015): Lex Privatum Vol 3, No 2 (2015): Lex Privatum Vol 3, No 1 (2015): Lex Privatum Vol 2, No 3 (2014): Lex Privatum Vol 2, No 2 (2014): Lex Privatum Vol 2, No 1 (2014): Lex Privatum Vol 1, No 5 (2013): Lex Privatum Vol 1, No 4 (2013): Lex Privatum Vol 1, No 3 (2013): Lex Privatum Vol 1, No 2 (2013): Lex Privatum Vol 1, No 1 (2013): Lex Privatum More Issue