cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 20 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen" : 20 Documents clear
RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA Tahulending, Christofel
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah  permohonan restitusi diajukan oleh pihak yang mewakili anak korban tindak pidana dan bagaimanakah tata cara pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang mana dengabn metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Permohonan restitusi diajukan oleh pihak yang mewakili anak korban tindak pidana  terdiri  atas: Orang  Tua atau  Wali Anak yang menjadi  korban tindak  pidana;ahli waris  Anak yang menjadi  korban tindak  pidana; dan orang yang  diberi  kuasa  oleh Orang Tua, Wali, atau ahli waris Anak  yang  menjadi  korban  tindak  pidana dengan surat  kuasa  khusus. 2. Tata cara pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui panitera pengadilan  mengirimkan  salinan putusan pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan  hukum tetap,  yang memuat  pemberian  Restitusi  kepada  jaksa. Jaksa melaksanakan putusan dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada pelaku untuk melaksanakan pemberian Restitusi. Jaksa  menyampaikan  salinan  putusan  pengadilan  yang memuat pemberian  Restitusi  kepada pelaku dan  pihak  korban  dalam jangka  waktu  7 (tujuh) hari  sejak  salinan  putusan pengadilan yang  telah  memperoleh  kekuatan  hukum  tetap  diterima. Pelaku  setelah  menerima  salinan  putusan pengadilan dan berita  acara pelaksanaan  putusan  pengadilan  wajib melaksanakan putusan  pengadilan  dengan  memberikan Restitusi  kepada  pihak  korban  paling  lama  30  (tiga puluh)  hari  sejak menerima  salinan  putusan  pengadilan dan  berita  acara pelaksanaan  putusan  pengadilan.Kata kunci: restitusi; anak;
SUATU TINJAUAN TERHADAP SYARAT MATERIL YANG HARUS TERPENUHI DALAM PERKARA PIDANA Monintja, Michal Royke
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan KUHAP mendukung sepenuhnya pencarian kebenaran material dalam beracara pidana dan bagaimanakah peran sistem pembuktian (Pasal 183 KUHAP) dalam upaya pencarian kebenaran material dan Bagaimana kedudukan keterangan saksi dalam pencarian kebenaran material? Di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1.  Dalam sistem Hukum Acara Pidana, ada pembatasan-pembatasantertentu dalam upaya pencarian kebenaran material, yaitu: a. Pembatasan oleh hak asasi manusia dan sistem accusatoir; b. Pembatasan oleh apa yang menjadi wewenang penegak hukum; c. Pembatasan oleh hak-hak dari tersangka/terdakwa. 2. Ketentuan tentang dua alat bukti yang sah dalam sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP, merupakan ketentuan bersifat kompromi atau jalan tengah.  Di satu pihak, kebenaran material sebenarnya akan makin dapat terjamin kemungkinan tercapainya apabila banyak bukti yang diajukan, tetapi di lain pihak sulit untuk menemukan alat bukti dalam tindak pidana.  Sebagai kompromi atau jalan tengah, maka ditentukan syarat minimum berupa dua alat bukti yang sah. Jaminan dari segi yuridis saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya hanyalah bahwa saksi itu disumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), sehingga diharapkan saksi tidak berani memberikan keterangan yang tidak benar, baik karena perasaan/keyakinan keagamaannya ataupun karena adanya ancaman pidana terhadap perbuatan memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242 KUHPidana).Kata kunci: perkara pidana;
PRIMUM REMEDIUM DALAM HUKUM PIDANA SEBAGAI PENANGGULANGAN KEJAHATAN KERAH PUTIH (MONEY LAUNDERING) Singal, Elsa Priskila
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui kejahatan yang bagaimana yang tergolong sebagai kejahatan kerah putih (money laundering) damn bagaimana primum remedium dalam hukum pidana dapat menanggulangi kejahatan kerah putih (money laundering), yang mana dengan metode penelitian hukum normaif disimpulkan: 1. Kejahatan-kejahatan yang tergolong dalam white collar crime atau kejahatan kerah putih berdasarkan 3 (tiga) tipologi pelakunya yaitu dilihat dari status sosial pelaku, apakah berasal dari status ‘terhormat’ atau tidak; tindak kejahatan yang dilakukan memerlukan keahlian di bidang ‘komputerisasi’ atau tidak; tindak kejahatan yang dilakukan pelaku bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok, maka kejahatan kerah putih (white collar crime) itu banyak jenisnya antara lain: pencucian uang (money laundering); Korupsi; Penyuapan; Penghindaran/penggelapan Pajak; Penipuan dan Terorisme. 2. Primium remedium diartikan sebagai hukum pidana yang diberlakukan sebagai pilihan utama, hukum pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum, bukan lagi menjadi obat terakhir melainkan obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana. Dengan demikian ancaman pidana yang tercantum dalam aturan-aturan yang mengatur tentang kejahatan kerah putih khususnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) merupakan primum remedium, obat utama dan pilihan utama yang dapat menjadi upaya untuk penanggulangan kejahatan kerah putih khususnya kejahatan money laundering yaitu ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).Kata kunci: primum remedium; kejahatan kerah putih;
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYEBARAN VIDEO BERMUATAN ASUSILA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Moningka, Rivaldy Edwell
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yakni untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyebaran video bermuatan asusila menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2016 dan bagaimanakah upaya pihak berwajib dalam melindungi sistem elektronik yang diretas, di mana dengan mertode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pertanggungjawaban pidana pelaku penyebar video bermuatan asusila menurut Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dengan sanksi hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) juncto Pasal 29 Undang-Undang No.44 Tahun 2008 Pornografi dengan sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Hal ini juga tidak hanya terbatas pada pelaku penyebaran tapi juga menjerat pelaku yang ada di dalam video bermuatan tersebut yang mampu menggunakan suatu sistem elektronik. 2. Upaya-upaya perlindungan yang diberikan oleh pihak berwajib dalam hal ini Polisi Republik Indonesia adalah membentuk suatu satuan baru yaitu Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (Dittipidsiber) yang berada dibawah Bareskrim Polri yang ditugaskan khusus untuk melakukan penegakan hukum dan juga turut memberantas kejahatan siber yang ada di Indonesia.Kata kunci: informasi dan transaksi elektronik; video asusila;
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) UNTUK MENEMUKAN KEBENARAN MATERIL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Wakary, Elvianus J. R.
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana syarat untuk elakukan pemecahan perkara (splitsing) dan bagaimana pemecahan perkara (splitsing) dapat diterima ditinjau dari sudut kepentingan penuntutan dan dapat diterima ditinjau dari sudut hak asasi manusia,yan mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Syarat untuk melakukan pemecahan perkara (splitsing) pasal 142 KUHAP adalah : Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Dengan demikian, apabila dalam 1 (satu) berkas perkara itu hanya dimuat 1 (satu) tindak pidana saja, penuntut umum tidak dapat melakukan pemecahan perkara (splitsing) sekalipun pelakunya ada beberapa orang; Beberapa tindak pidana itu dilakukan oleh beberapa orang tersangka; Yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141. 2. Kepentingan penuntutan adalah agar penuntut umum dapat melakukan penuntutan dan penuntutan itu nantinya di pengadilan dapat mencapai tujuannya.  Kepentingan penuntutan akan membenarkan dilakukannya pemecahan perkara (splitsing) di mana saksi di suatu perkara menjadi terdakwa di perkara lainnya. Ditinjau dari sudut hak asasi manusia, setidaknya ada dua asas yang tidak membolehkan pemecahan perkara (splitsing) sehingga saksi di suatu perkara menjadi terdakwa di perkara lain, di mana dua perkara itu saling berkaitan erat, yaitu :  Asas yang terkandung dalam pasal 166 KUHP bahwa orang tidak dapat diwajibkan memberatkan diri sendiri, khususnya untuk melakukan perbuatan yang yang mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi dirinya sendiri. Pasal 14 ayat (3) huruf (g) dari “The International Covenant on Civil and Political Rights”, yang menentukan bahwa seseorang yang dituntut pidana setidak-tidaknya (minimum) berhak sepenuhnya atas jaminan untuk tidak dipaksa bersaksi melawan diri sendiri atau untuk mengaku bersalah.Kata kunci: penecahan perkara; splitsing;
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN PENDANAAN TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME Tamaroba, Fira
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk tindak lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan teorisme dan bagaimanakah pemberlakuan ketentuan pidana terhadap tindak pidana lain berkaitan dengan tindak pidana pendanaan teorisme yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Bentuk-bentuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan teorisme, seperti Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, atau Setiap Orang yang memperoleh dokumen atau keterangan berkaitan dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme dalam rangka pelaksanaan tugasnya tidak melaksanakan kewajibannya untuk merahasiakan bahkan membocorkan dokumen atau keterangan yang berkaitan dengan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme. Direksi, komisaris, pengurus, atau pegawai PJK melanggar larangan karena memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Pejabat atau pegawai LPP melanggar larangan karena memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme yang telah atau akan dilaporkan kepada PPATK, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun kepada Pengguna Jasa Keuangan atau pihak lain. 2. Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap tindak pidana lain berkaitan dengan tindak pidana pendanaan teorisme berupa pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan dan telah terbukti secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.Kata kunci: terorisme; pendanaan terorisme
PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HUKUM BAGI DOKTER YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Rewur, Ericha
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menegtahui bagaimanakah perlindungan yang dapat diberikan kepada dokter yang berhadapan dengan hukum  dan bagaimanakah penegakan  hukum pidana bagi dokter yang berhadapan dengan hukum di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar-dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam menjalankan profesinya dan berhadapan dengan hukum karena terjadi dugaan malpraktek terdapat dalam Pasal 50 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran dan Pasal 27 ayat (1)  UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Apabila dokter tidak melakukan yang seharusnya dilakukannya sebagai seorang dokter atau melakukan kesalahan yang bukan disengaja, biasanya berbentuk kelalaian, maka dokter tersebut dapat dituntut dan diancam dengan pidana menurut Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun dan denda, dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dokter diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dokter yang melakukan kelalaian dinacam dengan pidana penjara  paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).Kata kunci: dokter;
PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM Hosang, Jonathan K.
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemberian bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam dan bagaimanakah penolakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pemberian bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam diantaranya pencarian dan pengidentifikasian orang dan barang; pemeriksaan barang dan lokasi, penyampaian dokumen, termasuk dokumen untuk mengupayakan kehadiran orang; penyediaan informasi, dokumen, catatan, dan barang bukti, penyediaan dokumen asli atau salinan resmi yang relevan, catatan, dan barang bukti, penyediaan barang, termasuk peminjaman barang bukti, penggeledahan dan penyitaan, pengambilan barang bukti dan keterangan dan bantuan timbali balik dalam masalah pidana lainnya. 2. Penolakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam dilakukan apabila menurut pandangan Pihak Diminta, pelaksanaan permintaan dimaksud akan mengganggu kedaulatan, keamanan, ketertiban umum, atau kepentingan umum dan permintaan terkait dengan tindak pidana yang tersangkanya telah dinyatakan tidak bersalah atau diampuni serta permintaan terkait dengan suatu penuntutan terhadap seseorang atas tindak pidana yang telah dijatuhi putusan yang berkekuatan hukum tetap.Kata kunci: bantuan timbal balik;
KAJIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN MUTUAL LEGAL ASSISTANCE RI-KONFEDERASI SWISS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI TINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 2006 TENTANG PERJANJIAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Andries, Tamar T. K.
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Kedudukan Mutual Legal Assistance (MLA) dalam pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi dan bagaimana perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) Republik Indonesia-Konfederasi Swiss dalam memberantas Korupsi di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi global diringi dengan perkembangan tindak pidana yang tidak lagi mengenal batas yurisdiksi, sehingga penanggulangannya membutuhkan penanganan bersama negara-negara dunia. Banyak pelaku kejahatan yang kemudian melarikan diri atau menyimpan hasil kejahatannya di luar negara asalnya dengan berbagai tujuan. Termasuk menghindari pajak maupun menyelamatkan aset dari hasil kejahatan. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan salah satu cara menghentikan tindakan curang pelaku tindak pidana yang hendak menyembunyikan aset maupun mengindari pajak atas hasil tindak pidana yang dilakukan. 2. Bagi Indonesia, Konfederasi Swiss adalah negara yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai tempat bersembunyi maupun menyimpan aset hasil kejahatan tersebut, sehingga kerja sama Indonesia dan Konfederasi Swiss tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan bentuk keseriusan pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss dalam upaya penanggulangan kejahatan transnasional. Pengesahan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss harus segera dilakukan mengingat Indonesia telah menandatangani perjanjian Pada tanggal 4 Februari 2019. Perjanjian tersebut memberikan syarat bagi Indonesia maupun Konfederasi Swiss sebagai negara pihak untuk mengesahkan perjanjian dimaksud berdasarkan hukum nasional negara masing-masing. Indonesia melakukan pengesahan dengan Undang-Undang disebabkan materi muatan perjanjian tersebut berkenaan dengan masalah politik, keamanan, dan kedaulatan negara serta dilandasi dengan iktikad baik Republik Indonesia untuk menerapkan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss.Kata kunci: korupsi;
TINDAK PIDANA TIDAK MENURUTI PERINTAH ATAU PERMINTAAN YANG DILAKUKAN MENURUT UNDANG-UNDANG OLEH PEJABAT BERDASARKAN PASAL 216 AYAT (1) KUHP Mambu, Hizkia
LEX CRIMEN Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya peneleitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana tidak menurut perintah atau permintaan menurut undang-undang oleh pejabat dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP dan bagaimana pengenaan pidana terhadap pelanggaran Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana tidak menuruti perintah atau permintaan (tuntutan) menurut undang-undang oleh pejabat dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP memiliki cakupan yang luas karena pengertian  pejabat (pegawai negeri) yang diwajibkan mengadakan pengawasan atas sesuatu sangat luas yang meliputi hampir setiap pejabat (pegawai negeri), sehingga dapat digunakan menuntut hampir semua perbuatan tidak menuruti perintah atau permintaan (tuntutan) dari seorang pejabat (pegawai negeri). 2. Pengenaan pidana terhadap pelanggaran Pasal 216 ayat (1) KUHP sejak adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menjadi pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu atau pidana denda paling banyak paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).Kata kunci: perintah pejabat; 216 ayat (1) kuhp;

Page 1 of 2 | Total Record : 20


Filter by Year

2021 2021


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue