cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,550 Documents
KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Manoppo, Euginia J. C.
LEX CRIMEN Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap kedudukan korban kejahatan menurut Sistem Peradilan Pidanadan bagaimana perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan kedudukan korban kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan, apalagi dalam KUHAP dan KUHP, namun dalam beberapa perundang-undangan walaupun tidak memberikan porsi yang besar tapi korban sudah lebih diperhatikan seperti dalam: UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tentang Perobahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. 2. Perlindungan Hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 adalah diberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial karena korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Pemberian Rehabilitasi ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Kemudian pada tahun 2014 antara Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika.Kata kunci: narkotika, korban
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENANGGUNG JAWAB USAHA YANG MEMBUANG BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Susanto, Erwin
LEX CRIMEN Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 dan bagaimana ketentuan pemberlakuan Sanksi Pidana terhadap penanggung jawab usaha yang membuang Bahan Berbahaya dan Beracun Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pada dasarnya tindak pidana lingkungan  merupakan perbuatan yang dilarang yang dilakukan  dengan mencemarkan atau merusak lingkungan, dan tindak pidana dalam undang-undang ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan (rechtsdelicten), sehingga pelakunya pantas untuk mendapatkan sanksi hukum. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009, dimana ketentuan pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. 2. Pemberlakuan Sanksi Pidana terhadap penanggung jawab usaha yang membuang Bahan Berbahaya dan Beracun menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, berdasarkan Pasal 100 ayat (2) UUPPLH, tindak pidana ini baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Bahwa penegakan hukum pidana lingkungan dilakukan dengan memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.Pemidanaan yang dapat diterapkan kepada penanggung jawab usaha adalah sanksi pidana denda oleh karena itu ketentuan KUHAP Pasal 270 sampai Pasal 273 mengenai pelaksanaan sanksi pidana denda pelaku pembuangan limbah B3.Kata kunci: Penerapan sanksi pidana, penanggung jawab usaha, membuang bahan berbahaya dan beracun, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN OBJEK WISATA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 Lawang, Marcella Apriani
LEX CRIMEN Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengawasan terhadap ancaman pencemaran dan perusakan lingkungan objek wisata bahari dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan objek wisata bahari. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Pengawasan terhadap ancaman perusakan dan pencemaran lingkungan objek wisata bahari merupakan aspek penting dalam menjaga dan melestarikan objek wisata bahari sebagai aset nasional dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional berupa penyediaan lapangan pekerjaan dan aktivitas ekonomi lainnya (multiplier effect) serta pemasukan devisa bagi Negara. Terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan objek wisata bahari di Indonesia menunjukkan mekanisme pengawasan dan monitoring oleh pemerintah dan pemerintah daerah belum berjalan dengan efektif. 2. Pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelalu perusakan dan pencemaran lingkungan objek wisata bahari diatur dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dalam Pasal 64 menyatakan: (1)      Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2)      Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak   Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Kata kunci: Pencemaran dan perusakan, lingkungan, objek wisata.
PERAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2006 Raba', Mieke Rayu
LEX CRIMEN Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran BPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara menurut  UU No. 15 Tahun 2006 dan bagaimana peran BPK untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) menurut UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), peran BPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara, BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap keuangan negara yang dikelolah oleh pengelola keuangan negara. menyusun laporan hasil pemeriksaan, menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR, DPD, DPRD dan menyerahkan pula kepada Presiden, Gubernur/walikota untuk di tindak lanjuti, menilai dan menetapkan kerugian negara dan menjadi saksi ahli dalam peradilan. 2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, peran BPK untuk menciptakan pemerintahan yang baik adalah BPK sebagai lembaga  pemeriksaan yang  bebas dan mandiri  dalam  melakukan pemeriksaan didasari dengan prinsip pertanggungjawaban,transfaran, akutanbilitas, dan profesionalsme   sebagai wujud pelaksanaan asas-asas pemerinthan yang baik di indonesia sehingga dapat menciptakan pemeritahan yang baik dimana BPK dalam melakukan pemeriksaan dapat membongkar praktik-praktik KKN dan menyelamatkan uang negara.Kata kunci: Badan Pemeriksa Keuangan, Pemeriksaan, Pengelolaan Keuangan Negara, Pemerintahan yang baik
PEDOFILIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Mokale, Junita
LEX CRIMEN Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, secara tegas menyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan ibunya. Selain itu anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat bagi pertumbuhannya dengan wajar. Anak berhak atas perlindungan-­perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Dalam realitas ternyata jangan melindungi, malah anak sering dijadikan objek kejahatan, khususnya kejahatan seksual. Salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah kejahatan pedofilia. Pedofilia adalah manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dengan anak-anak. Kata Kunci : Pedofilia
KEADAAN TERPAKSA SEBAGAI BAGIAN DARI DAYA PAKSA PASAL 48 KUHP (KAJIAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR 13 PK/PID.SUS/2014) Ratu, Desy Rebecca
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP dan bagaimana penerapan syarat untuk adanya keadaan terpaksa menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) baru terjadi setelah adanya putusan-putusan pengadilan yang menerima keadaan terpaksa sebagai bagian daya paksa, sekalipun ada perbedaan yang cukup jelas antara daya paksa absolut dan relative di satu pihak dengan keadaan terpaksa di lain pihak, yaitu dalam daya paksa absolut dan relative, paksaan itu berasal dari manusia sedangkan dalam keadaan terpaksa paksaan itu berasal dari bukan manusia, seperti bencana dan serangan hewan. 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014, tanggal 8/4/2014, telah menolak alasan daya paksa/keadaan terpaksa dari Terdakwa sebagai seorang isteri yang menjalankan perusahaan setelah suaminya lumpuh yang mengemukakan bahwa diterimanya dorongan untuk menjalankan perusahaan merupakan perbuatan terpaksa semata-mata untuk menghindari perusahaan ditutup (pailit) yang akan mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal.  Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa dorongan untuk menjalankan perusahaan guna menghindari perusahaan ditutup yang akan mengakibatkan PHK secara massal, bukan merupakan suatu daya paksa/keadaan terpaksa.Kata kunci: Keadaan terpaksa, bagian dari daya paksa.
SANKSI PIDANA BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS DAN ANGGOTA DIREKSI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL Wibowo, Ira Natalia
LEX CRIMEN Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah larangan bagi anggota dewan pengawas dan anggota direksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan bagaimanakah sanksi pidana bagi anggota dewan pengawas dan anggota direksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2011 yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Larangan bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yakni untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban sebagai badan penyelenggara jaminan  sosial yang berbentuk badan hukum publik.  Bentuk-bentuk larangan bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam pengelolaan dana jaminan sosial sebagai upaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum terpenuhinya hak peserta jaminan sosial untuk memanfaatkan pengembangan program jaminan sosial dan dapat dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan Peserta. 2. Sanksi pidana bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) apabila melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pemberlakuan sanksi pidana dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial lainnya tidak melanggar bentuk-bentuk larangan yang berlaku.  Kata kunci: jaminan social; dewan pengawas; direksi;
UPAYA HUKUM TERHADAP DEPONERING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF Tambuwun, Bryan
LEX CRIMEN Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep kepentingan umum yang menjadi alasan dikeluarkannya deponering atau menyampingkan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung dan adakah upaya hukum terhadap deponering dalam perspektif hukum progresif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Dalam menyampingkan suatu perkara Jaksa Agung memiliki alasan yang cukup yakni sejauh mana kepentingan umum tersebut dirugikan akibat suatu perkara. Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mengatakan Jaksa Agung memiliki wewenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum, dalam penjelasan Pasal 35 huruf c dikatakan bahwa kepentingan umum yang dimaksudkan adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau masyarakat luas dengan meminta saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut. 2. Pembatalan hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Agung sendiri apabila penerapan keputusan deponering tersebut adalah keliru, namun hal tersebut sangat kecil kemungkinan untuk bisa dilakukan. Dalam hukum progresif mengemukakan adanya keterpaduan antara peraturan dan perilaku oleh sebab itu apabila peraturan tertulis tidak mampu untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat maka dapat dimungkinkan untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking) oleh penegak hukum. Kata kunci: Upaya Hukum,deponering, hukum progresif
HAKEKAT KEBERADAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI Kusen, Stevana Ameliana
LEX CRIMEN Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana manfaat karakteristik mediasi dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri dan bagaimana kekuatan mengikat keputusan memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative disimpulkan:   1. Mediasi dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri memiliki manfaat sebagai sarana dan proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa.  Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli melalui seorang mediator di dalam sistem peradilan yaitu pada Pengadilan Negeri. 2.          Kekuatan mengikat dari keputusan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri  berpedoman pada prinsip-prinsip bahwa mediasi dilakukan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa, dengan tujuan: 1) Menghasilkan suatu rencana kesepakatan ke depan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa. 2) Mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari keputusan-keputusan yang mereka buat. 3) Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik dengan cara membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian secara konsensus. Kata kunci: Kebendaan, mediasi, peneylesaian sengketa
Peranan Etika Profesi Hukum Terhadap Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia Pelle, Livia V.
LEX CRIMEN Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan etika profesi hukum dalam upaya pemberantasan kejahatan, dan bagaimana efektivitas etika provesi hukum dalam menanggulangi  kejahatan yang timbul dilingkungan professional. Penggunaan metode penelitian kepustakaan menghasilkan kesimpulan: 1. Etika profesi penegak hukum dalam pemecahan masalahnya adalah penegak hukum. 2. Efektivitas etika profesi dari segi masyarakat politik kriminal. Ini dapat dikatakan sebagai perlindungan masyarakat terhadap kejahatan atau denan istilah lain social defence. Istilah ini mengingatkan kita kepada lambang dari Departemen Kehakiman yang bergambar pohon beringin dengan perkataan pengayoman dibawahnya. Kata kunci: etika profesi hukum, penegakan hukum

Page 1 of 155 | Total Record : 1550


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue