cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen" : 21 Documents clear
PENUNTUTAN TERHADAP PERKARA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Piodo, Robert Andriano
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penuntutan terhadap perkara anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan bagaimana kewajiban penuntut umum dalam penyelesaian perkara anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif , maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Penuntutan terhadap perkara anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. 2. Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik. Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Kata kunci: Penuntutan, Perkara Anak.
STATUS HUKUM SERTA TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PEREKRUTAN PRIVATE MILITARY AND SECURITY COMPANIES DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Karwur, Grace M. F.
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keterlibatan personel asing dalam menyediakan bantuan militer sudah sering terjadi dalam konflik bersenjata. Selama tahun 1960-1970-an, situasi seperti ini sering diasosiasikan dengan istilah operasi terselubung yang melibatkan tentara bayaran. Akan tetapi, tahun-tahun terakhir ini muncul perusahaan-perusahaan profesional yang menawarkan jasa keamanan (militer), yang memiliki legitimasi untuk beroperasi di mata hukum. Blackwater, Executive Outcomes dan Sandline International sebagai contoh, telah melaksanakan sejumlah operasi tempur di berbagai negara di dunia Meningkatnya penggunaan “Perusahaan Militer dan Keamanan Swasta” (selanjutnya disebut PMSC) dalam pengertian modern menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. PMSC cenderung dipandang memiliki motivasi utama yang bersifat moneter daripada kesetiaan ideologis atau patriotik. Hal Ini menimbulkan pertanyaan: apakah PMSC adalah ”tentara bayaran” untuk tujuan hukum humaniter internasional? Jika tidak, apa status mereka? Negara-negara semakin sering menyewa PMSC untuk diterjunkan ke zona di mana konflik bersenjata sedang terjadi. Karena itu, akan lebih baik untuk membuat mekanisme pengaturan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Sadar akan banyaknya kebingungan terkait status karyawan atau personel PMSC berdasarkan hukum humaniter, tulisan ini akan sedikit menjelaskan aspek legal terkait tentara bayaran dan PMSC, serta mengeksplorasi apakah karyawan PMSC masuk dalam kategori sipil atau kombatan. Hal ini sangat penting, karena hanya ketika status mereka dipahami dan diterima, mereka bisa diatur secara efektif.
SISTEM SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ANAK DI INDONESIA Tjiang, Evan
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sanksi adalah konsekuensi logis dari suatu perbuatan yang dilakukan. Subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana dan tindakan adalah setiap pelaku pidana, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Anak-anak pelaku  pidana pun dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 3, 4, 5 diatur bahwa anak adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun. Namun, khusus usia anak yang dapat diajukan atau diproses melalui sistem peradilan pidana adalah orang yang usianya telah mencapai 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun.  Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier.  Hasil penelitian menunjukkan tentang jenis sanksi dalam hukum pidana materiel Indonesia terhadap anak telah memadai serta upaya penyempurnaan sistem sistem sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang tentang Undang-Undang Hukum Pidana, dan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pertama, Jenis Pidana dan Tindakan diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32.  Penjatuhan pidana dan tindakan, juga diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997. UU Pengadilan Anak, ada pedoman penjatuhan pidana, yaitu diatur dalam pasal-pasal 23, Pasal 26, Pasal 27, Pasa128, Pasal 29, dan Pasal 30. Kedua, upaya penyempurnaan sistem sanksi pidana pemerintah Indonesia tidak hanya berpatokan pada perundang-undangan yang ada, seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak; tetapi memperhatikan juga kepentingan Hak-hak anak yang terdapat dalam beberapa konvensi internasional, seperti Konvensi Jenewa tahun 1927, The Universal Declaration of Human Right, tahun 1948, yaitu Pernyataan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Declaration on the Right of the Child, tahun 1959 atau Deklarasi Hak Anak pada tahun 1959 yang dikeluarkan oleh PBB. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana dan tindakan. Dalam UU Pengadilan Anak maupun UU Sistem Peradilan Pidana Anak belum mencantumkan jenis pidana yang bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan anak, misalnya pidana kerja sosial, pidana adat (pemenuhan kewajiban adat). Dibandingkan antara ketentuan dalam KUHP, UU Pengadilan Anak, RUU-KUHP, dan UU-SPPA maka ketentuan dalam RUU-KUHP lebih prospektif dibandingkan dengan ketentuan lain.
PERINTAH JABATAN DAN PERINTAH JABATAN TANPA WEWENANG DALAM PASAL 51 KUH PIDANA Sondakh, Heindra
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perintah jabatan dalam Pasal 51 ayat (1) KUH Pidanadan bagaimana perintah jabatan tanpa wewenang dalam Pasal 51 ayat (2) KUH Pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Substansi (materi pokok) dari “perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang” adalah: pejabat, penguasa, pegawai negeri. Seorang pejabat memiliki wewenang memberikan perintah tertentu harus dilihat dari undang-undang yang menjadi dasar hukum dari jabatan yang bersangkutan. Untuk adanya perintah jabatan tidak perlu bahwa antara yang memberi perintah dan yang diperintah ada hubungan atasan-bawahan, dan juga yang diperintah tidak perlu harus seorang pegawai negeri. 2. Substansi dari perintah jabatan tanpa wewenang, yaitu perintah jabatan tanpa wewenang ini pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah dari pidana.  Pengecualian terhadap ketentuan umum mengenai perintah jabatan yang tanpa wewenang ini hanyalah apabila yang diperintah memenuhi dua syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHPidana, yaitu: Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang; dan, Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah. Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang
KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MENGINTEROGASI TERSANGKA MENURUT KUHAP Doringin, Brayen
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun  demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi apa yang menjadi hak-hak dari seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat yuridis-normatif. Untuk menghimpun bahan yang diperlukan, maka penulis telah menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari buku-buku hukum, artikel-artikel yang membahas masalah hukum, himpunan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta berbagai sumber tertulis lainnya.  Hasil penelitian menunjukkan tentang kewajiban-kewajiban Penyidik mendahului dalam menginterogasi terhadap tersangka serta kewajiban-kewajiban Penyidik pada saat menginterogasi terhadap tersangka. Pertama, 1) kewajiban-kewajiban Penyidik terhadap tersangka itu dapat dibedakan atas: Kewajiban Penyidik terhadap tersangka mendahului dilakukannya pemeriksaan (interogasi); Kewajiban Penyidik pada saat melakukan pemeriksaan (interogasi). 2) Penyidik terhadap tersangka mendahului dilakukannya pemeriksaan (interogasi) yang diatur dalam Bab XIV Bagian Kedua. Kedua, Kewajiban-kewajiban Penyidik Pada Saat Menginterogasi Terhadap Tersangka. Dalam KUHAP telah ditentukan adanya beberapa kewajiban bagi Penyidik pada saat melakukan pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangka. Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP dengan sendirinya memberikan kepada aparat penegak hukum yang dalam hal ini termasuk penyidik untuk mempergunakan prinsip aqusatuir dalam setiap pemeriksaan dan bukan menggunakan prinsip inquisatuir.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam KUHAP, kewajiban-kewajiban Penyidik mendahului dilakukannya pemeriksaan terhadap tersangka, yaitu : Kewajiban memanggil tersangka dengan surat panggilan yang sah. – Kewajiban memberitahu kepada tersangka tentang apa yang disangkakan kepadanya. – Kewajiban memberitahu kepada tersangka haknya mendapat bantuan hukum. – Kewajiban Penyidik terhadap tersangka pada saat melakukan pemeriksaan (interogasi), yaitu : – Kewajiban menanyakan kepada tersangka apa ia menghendaki didengarnya saksi a decharge. – Kewajiban memanggil dan memeriksa saksi a decharge jika tersangka menghendaki saksi a decharge. Kewajiban mendapatkan keterangan tersangka tanpa tekanan dari siapapun dan atau bentuk apapun terhadap tersangka.
FUNGSI PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Moray, Jeinel K
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagaimana halnya negara­-negara lain, Indonesia juga menaruh perhatian penting terhadap masalah pencucian uang (money laundering), dan membawa keluar negeri yang dianggap sebagai tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnasional organized crime). Setelah disahkannya UU Nomor 15 tahun 2002, yang telah diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan kemudian terakhir kali dirobah dengan UU Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, diharapkan kejahatan pencucian uang dapat dicegah atau diberantas. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Pendekatan hukum normatif dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.  Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana peran PPATK dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang; bagaimana kendala yang  dihadapi oleh PPATK dalam mencegah dan memberantas pencucian uang serta bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh PPATK di dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Pertama, menurut Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Kedua, kendala yang dihadapi oleh PPATK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adalah antara lain faktor internal. Ketiga, upaya hukum yang dilakukan oleh PPATK dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang adalah sesuai dengan apa yang terdapat pada tugas dan wewenang PPATK di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan dapat dilaksanakan beberapa prinsip oleh Penyedia Jasa Keuangan, seperti pelaksanaan prinsip waspada, sistem pelaporan dan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dibentuknya PPATK dalam mencegah dan memberantas pencucian uang dimaksudkan untuk tindakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
SANKSI PIDANA AKIBAT DENGAN SENGAJA MELANGGAR KAWASAN TANPA ROKOK Rengkung, Timothy Edwin
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran atas larangan di kawasan tanpa rokok dan bagaimanakah pemberlakuan pidana denda apabila melakukan pelanggaran atas larangan di kawasan tanpa rokok. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disim[pulkan bahwa: 1. Pelanggaran atas larangan di kawasan tanpa rokok, terjadi apabila merokok pada tempat seperti: fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar;  tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok.  2. Pidana denda atas pelanggaran kawasan tanpa rokok dapat dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok. Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan atau usaha; pencabutan izin. Kata kunci: Sengaja melanggar, Kawasan, Tanpa Rokok
UPAYA HUKUM PADA TINGKAT KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VERKAPTE VIJSPRAAK) DALAM PERKARA PIDANA Lamsu, Asmarani
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mahkamah Agung merupakan puncak dari upaya (hukum) dalam mencari keadilan melalui proses peradilan baik sebagai pengadilan tingkat kasasi maupun pengadilan untuk pemeriksaan peninjauan kembali. Mahkamah Agung di dalam melaksanakan fungsi yudisialnya tidak selamanya memenuhi harapan para pencari keadilan khususnya, dan masyarakat pada umumnya.  Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dimana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang telah ada (library research), yang berhubungan dengan judul yang sedang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tentang proses pemeriksaan pada tingkat kasasi, semua putusan pengadilan apakah dapat dikasasi serta Putusan Bebas (VerkapteVriispraak) apakah dapat diajukan upaya Hukum Kasasi. Pertama,  Mahkamah Agung pada peradilan kasasi, mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara. Hukum acara kasasi yang diatur dalam KUHAP, bukan hanya berlaku sebagai hukum acara kasasi bagi lingkungan peradilan umum saja, tetapi berlaku juga bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Kedua, menurut ketentuan Pasal 244 putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi yakni semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan; kecuali terhadap putusan; Mahkamah Agung sendiri, dan putusan bebas. Lihat Penjelasan Pasal 244, UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Undang-undang membatasi bahwa kasasi terhadap putusan Mahkamah Agung, tidak diperkenankan. Ketiga,Terhadap putusan bebas berdasarkan Pasal 67 KUHAP Penuntut Umum tidak dapat meminta banding dan berdasarkan Pasal 244 KUHAP Penuntut Umum tidak dapat meminta pemeriksaan kasasi. Terhadap putusan bebas dalam praktik hukum larangan kasasi yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP tersebut diterobos melalui yurisprudensi demi tegaknya hukum.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa jika Terdakwa/Penuntut Umum menolak putusan pengadilan/Hakim secara fundamental dalam Hukum Acara Pidana maka upaya hukum yang dapat ditempuh terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Putusan Pengadilan yang dapat diajukan permohonan kasasi yaitu sebagaimana  diatur dalam KUHAP menyebutkan yang dapat diajukan kasasi ialah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung. Dari perumusan Pasal 67 KUHAP secara jelas dapat diketahui bahwa terhadap putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri tidak dapat dimintakan banding.
BEDAH MAYAT DAN AKIBAT HUKUMNYA Poluan, Yukifli
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan ilmu kedokteran dalam mengusut suatu tindak pidana dan bagaimana pengaturan Hukum Positif Bedah Mayat di Indonesia. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. 2. Kebijakan hukum positif di Indonesia saat ini tentang masalah bedah mayat diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Kata kunci: Bedah, mayat.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DARI TINDAKAN KEKERASAN Santoso, Widi
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan yang dapat dialami anak dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak dari tindakan kekerasan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis/emosional dan kekerasan seksual, antara lain berupa: dicubit, didorong, digigit, dicekik, ditendang, disiram, ditempeleng disuruh push-up, disuruh lari, mengancam, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diusir dipaksa bersihkan wc, dipaksa mencabut rumput, dirayu, dicolek, dipaksa onani, oral seks, diperkosa dan lain sebagainya.  2. Perlindungan hukum terhadap anak dari tindakan kekerasan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan KUHP melalui pasal-pasalnya yang mengatur tentang masalah persetubuhan, perbuatan cabul, menghilangkan jiwa anak dan penganiayaan. Kata kunci: Anak, Tindakan kekerasan

Page 1 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue