cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen" : 21 Documents clear
PROSEDUR PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM KUHAP Takaliuang, Herry Yanto
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di negara berkembang sperti Indonesia, kesadaran tertib di jalan raya masih rendah mulai dari pengendara motor berjalan melawan arah, tidak mengunakan helm, mobil menerobos lampu merah, hingga angkutan umum yang ngentem seenaknya. Banyaknya pelanggaran lalu-lintas yang dilakukan oleh pemakai jalan, oleh karena itu pemerintah telah menyusun suatu peraturan lalu lintas yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku pemakai jalan dalam hal lalu lintas, maka disahkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang yang baru yaitu No. 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.  Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis metode yaitu metode pengumpulan data dan metode pengolahan/analisis data. Dalam hal Pengumpulan data, digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) melalui penelaan buku-buku, Perundang-undangan, Pasal-pasal dan berbagai dokumen tertulis lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang ada. Sehubungan dengan itu, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana pengaturan hukum terhadap  pelanggaran lalu lintas serta bagaimana  prosedur penyelesaian hukum terhadap pelanggaran  lalu lintas dalam KUHAP. Pertama, pengaturan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas diatur menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Kedua, prosedur penyelesaian hukum terhadap pelanggaran lalu dalam KUHP berupa: Pemeriksaan permulaan dilakukan tempat kejadian; Penindakan terhadap pelanggaran mengunakan formulir tilang atau blangko tilang yang berisi catatan-catatan penyidik;      Proses pemeriksaan dan pemanggilan menghadap persidangan pengadilan; Dalam hal penjatuhan Putusan; Penyitaan dalam pelanggaran lalu lintas jalan Menurut KUHAP  Pasal 38 dan mengenai pengembalian benda sitaan dalam acara pelanggaran lalu lintas jalan diatur dalam Pasal 215. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun  2009. Pada prinsipnya keberadaan peraturan lalu lintas bertujuan agar pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pemakai jalan dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas berlaku ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 211 sampai 216 KUHAP. Setiap pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat di kenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan
PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM KUHP DAN MENURUT UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Awawangi, Reydi Vridell
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap orang memiliki rasa harga diri mengenai kehormatan dan rasa harga diri mengenai nama baik. Tindak pidana penghinaan (beleediging) yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus, ditujukan untuk memberi perlindungan bagi kepentingan hukum mengenai rasa semacam ini. Tentang tindak pidana penghinaan (pencemaran nama baik), ada yang merupakan penghinaan umum dan ada penghinaan khusus yang diatur dalam KUHP. Sementara penghinaan khusus diluar KUHP yang kini terdapat dalam perundang-undangan kita, ialah penghinaan khusus (pencemaran nama baik) dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Penelitian ini merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum, dengan demikian obyek yang dianalisis yaitu norma hukum, baik dalam peraturan perundang­-undangan maupun yang sudah secara konkrit ditetapkan oleh hakim dalam kasus-kasus yang diputuskan di pengadilan.  Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana bentuk pencemaran nama baik menurut KUHP serta bagaimana bentuk pencemaran nama baik dalam dunia internet menurutUU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pertama, Pencemaran Nama Baik hanya diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasa1 310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP. Kedua, dengan menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pelaku Pencemaran Nama Baik melalui internet, oleh sebagian ahli hukum dinyatakan KUHP tak dapat diterapkan, namun sebagian ahli hukum lain menganggapnya KUHP dapat menjangkaunya. Mahkamah Konstitusi ketika memberikan putusan terhadap permohonan judicial review Pasal 27 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: secara harfiah bahwa unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau Pencemaran Nama Baik. Kaidah hukum Pencemaran Nama Baik itu tak hanya diakomodir oleh KUHP tapi juga produk hukum di luar KUHP yang  juga menerapkan sanksi pidana, di mana produk hukum itu adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP. Di dalam KUHP mengenai penghinaan dan Pencemaran Nama Baik diberikan definisinya, sedangkan UU ITE hanya menyebut penghinaan tanpa menjelaskannya, sehingga pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PENYIDIKAN MENURUT KUHAP Matindas, Cynthia Claudia
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana hak-hak tersangka dalam pemeriksaan tingkat penyidikan dan bagaimana akibat-akibat hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka oleh pihak penyidik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa 1. Hak-hak tersangka dan kewajiban penyidik berkenaan dengan hak-hak tersangka, yaitu: Hak untuk segera mendapat pemeriksaan; hak untuk memperoleh informasi yang jelas; hak mendapatkan bantuan hukum,  pihak penyidik berkewajiban sebelum dimulainya pemeriksaan untuk memberitahukan kepada tersangka tentang haknya mendapatkan bantuan hukum dan hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.  2.Terhadap penyidik diletakkan kewajiban untuk menanyakan apakah tersangka menghendaki didengarnya saksi a de charge.Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian; Hak tersangka yang ditahan untuk berhubungan dengan dokter pribadinya; Hak tersangka yang ditahan untuk tetap berkomunikasi dengan keluarganya.  Hak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniwan; Hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.  Dalam KUHAP, tidak dapat ditemukan pasal yang menentukan akibat hukum jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN ORANG (PEOPLE SMUGGLING) Paembonan, Eranovita Kalalo
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Praktek kejahatan transnasional sangat berpotensi di Indonesia yang merupakan salah satu negara sedang berkembang.   Kejahatan  transnasional  tak hanya  didorong  faktor perdagangan bebas atau  lemahnya  penegakan  hukum  di  Indonesia, tetapi  juga  oleh  wilayah geografis  Indonesia  itu  sendiri. Di tengah-tengah persoalan bangsa yang saat  ini  sangat  banyak  dan  membutuhkan perhatian  serius, bertambah  lagi  satu  PR baru  yang  harus  ditempatkan  dalam prioritas  utama  yaitu  masalah  People smuggling atau  penyelundupan  manusia. Penelitian  ini  merupakan  penelitian hukum  normatif  yang  dipergunakan  dalam usaha menganalisis  bahan  hukum  dengan mengacu  kepada  norma-norma  hukum yang  dituangkan dalam  peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Dalam Hukum Positif di Indonesia dan bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Atas Pihak yang Melakukan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia. Pertama, tindak  pidana  penyelundupan  manusia diatur dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011  yang tertuang  dalam  satu pasal  yakni  Pasal  120,  yang merupakan pengembangan dari undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 Tentang Pidana Imigrasi dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992. Namun dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011 ini masih terdapat beberapa kelemahan. Kedua, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Orang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 120 diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Jika dilakukan oleh korporasi penjatuhan pidana hanya berupa pidana denda dengan ketentuan besarnya pidana denda tersebut 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda pada Pasal 120. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Dunia internasional termasuk  Indonesia memandang penyelundupan  manusia  (people smuggling)  merupakan suatu  transnational  organized  crime yang dapat mengancam keamanan negara. Tindak pidana  penyelundupan  manusia diatur dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Orang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 120.
KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM PEMBUKTIAN PERKARA MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN Sumilat, Agriane Trenni
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Kesehatan menjadi suatu hal yang didambakan oleh setiap orang. Banyak cara yang kemudian dilakukan agar tetap sehat, mulai dari penerapan pola hidup sehat (sebagai upaya preventif), sampai berobat ke dokter apabila terkena penyakit (sebagai upaya represif).Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Pengobatan ke dokter merupakan pilihan ketika seseorang (pasien) menderita suatu penyakit. Harapannya adalah agar penyakit yang dialaminya dapat disembuhkan oleh dokter tersebut. Metode   yang   digunakan   dalam   penulisan    ini   adalah    metode pendekatan  yuridis  normatif,  dimana  penelitian  yang  dilakukan  adalah  dengan  cara  meneliti  bahan-bahan  kepustakaan  yang  ada (library research),  yang  berhubungan  dengan  judul  Skripsi  yang  sedang  diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara malpraktek di bidang kedokteran serta apa konsekuensi hukumnya apabila tidak ada rekam medis. Pertama, rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian, selain berdasarkan PP No. 26/1969 tentang “Lafal Sumpah Dokter”, juga memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan oleh Pasal 187 KUHAP, yaitu apa yang ditulis dokter sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar dan lihat. Kedua, Pasal 17 PerMenKes tentang Rekam Medis terhadap dokter yang tidak melaksanakan rekam medis sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan.Pasal 79 butir b UU Praktik Kedokteran UU No. 29 Tahun 2004 yang jauh lebih berat daripada sanksi yang ada dalam PerMenKes No. 246 Tahun 2008 tentang Rekam Medis. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara malpraktek di bidang kedokteran adalah sebagai alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam PP No. 26 Tahun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter dan Pasal 187 KUHAP dan juga sebagai alat bukti keterangan ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 186 KUHAP.  Tidak dibuatnya rekam medis oleh dokter akan mengakibatkan dokter bisa diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (kelalaiannya) dan akan mendapatkan pidana kurungan atau denda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 butir b UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan tindakan administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Permenkes No. 246/MENKES/PER/III/2008
PERMOHONAN GRASI TERPIDANA MATI ATAS PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP Sumampow, Fernalia F
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum mengenai hak terpidana mati dalam mengajukan permohonan grasi dan bagaimanakah tata cara penyelesaian permohonan grasi oleh terpidana mati atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan : 1. Peraturan perundang-undangan mengatur hak terpidana mati pidana, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun untuk dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. 2. Penyelesaian permohonan grasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Kata kunci: Grasi, Pidana, Mati
KAJIAN TERHADAP PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA MENURUT KUHAP Jacob, Jonly D. J.
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal/hukum acara pidana. Sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum, setiap komponen dari sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem dapat berjalan secara terpadu. Demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan.  Agar dapat menyelesaikan suatu penelitian ilmiah diperlukan metode pendekatan yang tepat sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditentukan. Metode pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif/doktrinal.  Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana pelaksanaan upaya paksa penahanan kepada tersangka menurut KUHAP serta bagaimana persyaratan penahanan sebagai upaya paksa menurut KUHAP. Pertama,Penahanan adalah penempatan ter­sangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasat 1 butir 21 KUHAP). Berdasarkan Pasal 1 bu­tir 21 KUHAP dapat diketahui bahwa yang berhak untuk melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim (pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mah­kamah agung). Kedua, KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan penderitaan yang telah dialaminya.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan penahanan membuka kemungkinan yang lebih luas untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik karena kurangnya keterampilan dan pemahaman aparat maupun karena kelalaian. Di samping karena kurangnya keterampilan dan pemahaman akan hak asasi manusia sebagai inti dari prinsip proses hukum yang adil, terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktik pelaksanaan penahanan juga karena undang-undang tidak tuntas mengaturnya sampai mendetail, sehingga dalam banyak hal diserahkan kepada praktik dan kebiasaan. Yang semestinya tidak boleh menyimpang dari rumusan Undang-undang dan prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP.KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK PEKERJA ANAK DALAM SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA Kalangie, Heski
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sisi kelam dari kehidupan para generasi muda sebagai penerus kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia masih memiliki kompleksitas. Tingginya jumlah anak-anak yang bekerja yang sebagian besar di bawah usia 15 tahun baik di sektor formal maupun informal di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, yang dipicu oleh desakan situasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga mengharuskan anak-anak ini bekerja. Filosofi larangan anak untuk bekerja atau mempekerjakan anak sebagaimana diatur di dalam UU Ketenagakerjaan ini sebenarnya erat kaitannya dengan upaya melindungi hak asasi anak, yang juga dijamin perlindungannya dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang melarang mempekerjakan anak sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menentukan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana upaya pemerintah dalam memberikan perhatian atas masalah pekerja anak serta bagaimana pengaturan dalam hukum Indonesia yang secara eksplisit memberikan perlindungan atas pekerja anak. Salah satu aspek yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) ini adalah menyangkut perlindungan hukum terhadap pengupahan, dan kesejahteraan pekerja anak yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai dengan ketentuan Pasal 75 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 68 menentukan bawah pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan Anak, secara substansial dan prinsipil juga mengandung konsep perlindungan hukum terhadap anak secara utuh yang bertujuan untuk menciptakan atau mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya sektoral pemerintah yang sudah di upayakan, masih terlihat lemah dalam implementasi karena masyarakat belum sepenuhnya memahami dan menjalankan ketentuan yang berlaku dalam hal pekerja anak. Perhatian pemerintah terhadap pekerja anak sudah cukup memadai, meskipun belum adanya payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai masalah pekerja anak dalam sebuah pengaturan perundang-undangan secara tersendiri, akan tetapi adanya pengaturan dalam Undang-Undang tentang Anak yang mengacu pada Konvensi Anak Internasional sudah menunjukkan upaya positif dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak.
ALASAN PEMBERHENTIAN PENYIDIKAN SUATU TINDAK PIDANA KORUPSI Rumajar, Johana Olivia
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Korupsi sudah melanda Indonesia sudah sejak lama dan hampir menyentuh semua lini kehidupan masyarakat, sepertinya korupsi sudah sampai pada apa yang disebut sebagai ‘budaya korupsi’. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah di dalam pemberantasan korupsi dengan menetapkan berbagai strategi nasional, lebih-lebih di era reformasi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 30 Tahun 2002, tidak serta merta dapat melakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi karena kewenangan tersebut ada pada penyidik dan penuntut umum yang masing-masing diambil dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.  Penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tentang apa yang menjadi alasan penghentian penyidikan suatu tindak pidana korupsi serta bagaimana kewenangan penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi. Pertama, Alasan penghentian penyidikan suatu tindak pidana korupsi menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP yakni:Tidak diperoleh bukti yang cukup; Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; danPenghentian penyidikan demi hukum. Dalam ketentuan Pasal 14 RUU Hukum Acara Pidana secara tegas disebutkan bahwa penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena: Nebis in idem; Tersangka meninggal dunia; Sudah lewat waktu; Tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan; Undang-undang atau pasal yang yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan putusan pengadilan; danBukan tindak pidana atau terdakwa masih di bawah umur 8 tahun pada waktu melakukan tindak pidana. Kedua, Kewenangan penyidik untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi adalah : Tidak ditemukannya perbuatan melawan hukum; Tidak ditemukannya bukti yang kuat; danTidak ditemukannya kerugian negara.Terdapat empat pola pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh Kejaksaan, yaitu: Penerbitan (SP3) secara diam-diam;Pengumuman (SP3) diberikan apabila telah tercium oleh masyarakat banyak;(SP3) diberikan kepada para tersangka korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar;Pemberian (SP3) dilakukan pada saat berkuarang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) alasan penghentian penyidikan suatu tindak pidana korupsi adalah sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yakni: Tidak diperoleh bukti yang cukup;Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; danPenghentian penyidikan demi hukum. Sedangkan kewenangan penyidik untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi, apabila dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut:Tidak ditemukannya perbuatan melawan hukum; Tidak ditemukannya bukti yang kuat; danTidak ditemukannya kerugian negara.
KAJIAN HUKUM TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 Lembong, Amelia Geiby
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui  bagaimana sistem pemidanaan anak di Indonesia dan bagaimana Klasifikasi Saksi Pidana Anak Menurut UU No. 11 Tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian juridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan Restoratif justice/keadilan restoratif dalam proses penanganan perkara anak. Mulai dari proses Penyidikan sampai putusan hakim dalam undang undang ini sangat mengutakaman kepentingan anak dalam masa persidangan  terlebih dalam penanganan kejiwaan anak. Dengan tujuan agar melindungi hak-hak anak yang berlaku terlebih hak-hak bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar terhindar dari trauma bahkan gangguan pada kejiwaan anak dan proses penyelesaian perkara anak dengan metode dan cara yang lebih fokus pada kesejatraan dan kebaikan anak. 2. Klasifikasi saksi pidana yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2012 terbagi dalam beberapa bagian di sesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan anak, pada umumnya sanksi yang diatur lebih mengutakamakan sistem pengawasan dan pembinaan karaktere dan mental anak baik dalam lembaga yang di sediakan pemerintah maupun swasta bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Pidana penjara terhadap anak dalam LPKA dilakukan Sebagai Alternatif terakhir, dan bagi anak yang melakukan tindak pidana yang apabila perbuatan anak tersebut dapat membahayakan masyarakat. Kata kunci:  Pemidanaan, Anak

Page 2 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue