cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 20 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen" : 20 Documents clear
PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU DESERSI DALAM PASAL 87 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER Horukie, Dalson
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian yakni untuk mengetahui bagaimanakah keluasan cakupan dari rumusan Pasal 87 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang menyangkut desersi dan bagaimanakah pertimbangan dari sudut Hak Asasi Manusia berkenaan dengan tindak pidana desersi, khususnya Pasal 87 KUHPM do ,ama dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Tindak pidana desersi dalam Pasal 87 KUHPM, di satu pihak merupakan bentuk khusus dari tindak-tindak pidana ketidakhadiran tanpa izin lainnya karena dipandang sebagai perbuatan yang perlu diancam pidana lebih berat. Di samping Pasal 87 KUHPM ini, masih ada tindak-tindak pidana lainnya dalam KUHPM yang merupakan pemberatan terhadap perbuatan desersi.  2. Doktrin “noodplicht” atau kewajiban terpaksa, menyampingkan hak asasi anggota militer untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri, karena dengan memilih pekerjaan/tugas sebagai anggota militer, maka yang bersangkutan dianggap telah bersedia menerima risiko yang berbahaya atas dirinya.Kata kunci: desersi; militer;
WEWENANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN Besouw, Marco
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini duilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis tindak pidana di sektor jasa keuangan dan bagaimana wewenang  penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Jenis-jenis tindak pidana di sektor jasa keuangan, seperti perbuatan oleh orang perseorangan atau korporasi yang melanggar larangan menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan atau diwajibkan oleh Undang-Undang. Tindak pidana lainnya seperti dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan atau dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter. 2. Wewenang penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pelaksanaan wewenang penyidik pegawai negeri sipil diwajibkan atau diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait.Kata kunci: Wewenang penyidik pegawai negeri sipil, penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, otoritas jasa keuangan
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Ramli, M. Akbar
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penyidikan tindak pidana saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan bagaimanakah tindak pidana terhadap saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Penyidikan tindak pidana terhadap sanksi dan korban dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana oleh Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Khusus untuk korporasi yang melakukan tindak pidana terhadap saksi dan korban maka penyidikan, dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 2. Tindak pidana terhadap saksi dan korban yang memerlukan penyidikan oleh penyidik seperti: a. Perbuatan memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh Perlindungan sehingga tidak dapat memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan dan akibat perbuatan tersebut menimbulkan luka berat atau kematian pada saksi dan/atau korban; b. Perbuatan yang menghalang-halangi secara melawan hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh Perlindungan atau bantuan; c, Perbuatan yang menyebabkan saksi dan/atau korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, d. Perbuatan yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak saksi dan/atau korban karena memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan; e. Perbuatan secara melawan hukum memberitahukan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru.Kata kunci: penyidikan; saksi dan korban;
PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK DALAM PROSES PERKARA PIDANA ANAK Warikie, Awan Pelangi Putra
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan d8ilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses perkara pidana anak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimana perlindungan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses perkara pidana anak. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Proses perkara pidana anak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan melalui tiga tahapan, yakni tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang. Penyidikan perkara anak dilakukan oleh penyidik yang telah berpengalaman sebagai penyidik, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Penuntutan perkara anak dilakukan oleh penuntut umum yang berpengalaman dan memahami masalah anak. Pemeriksaan di muka sidang, anak disidangkan dalam ruang sidang khusus. 2. Perlindungan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan sejak proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang sampai pada penjatuhan pidana. Dalam penyidikan dan penuntutan, penyidik dan penuntut umum wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat. Dalam pemeriksaan di muka sidang anak, hakim tidak memakai toga, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum tidak memakai pakaian dinas. Penjatuhan pidana terhadap anak tanpa pemberatan.Kata kunci: Perlindungan khusus, anak,  proses perkara, pidana anak
TINDAK PIDANA MENGABAIKAN KEWAJIBAN MELAPORKAN ADANYA PERMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN KEJAHATAN TERTENTU MENURUT PASAL 164 KUHP Tombokan, Rivander
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan Pasal 164 KUHP tentang tindak pidana mengabaikan kewajiban melaporkan adanya permufakatan jahat dan bagaimana pengecualian terhadap kewajiban dalam Pasal 164 KUHP. Dengan menggunkan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan Pasal 164 KUHP tentang tindak pidana mengabaikan kewajiban melaporkan adanya permufakatan jahat yaitu di dalamnya terkandung norma perintah untuk bertindak berupa melaporkan/memberitahu kepada pejabat yang berwenang dalam hal mengetahui adanya permufakatan jahat untuk melakukan salah satu dari 9 (sembilan) macam kejahatan yang disebutkan dalam Pasal 164 KUHP. Pasal ini hanya dapat diterapkan jika kejahatan itu jadi dilakukan. 2. Pengecualian terhadap kewajiban dalam Pasal 164 KUHP yaitu jika dengan pemberitahuan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan bagi: 1. Diri sendiri; 2. Keluarga sedarah dalam garus lurus (orang tua, kakek nenek, anak, cucu, dan seterusnya), keluarga sedarah dalam garis menyimpang derajat kaedua atau ketiga (hubungan kakak beradik, hubungan paman/bibi dengan ponakan), keluarga semenda dalam garis lurus (hubungan menantu-mertua, hubungan menantu dengan orangtua dari mertua), dan keluarga semenda dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga (hubungan seseorang dengan kakak/adik dari suami/isteri, hubungan seseorang dengan paman/bibi dari suami/isterinya atau keponakan dari suami/isteri (derajat ketiga); 3. Suami/isterinya atau bekas suami/isterinya; atau 4. Orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.Kata kunci: Tindak pidana, mengabaikan kewajiban, permufakatan jahat.
KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN ATAS ADANYA TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Kamagi, Shendy S.
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaruh keterangan ahli sebagai alat bukti dan bagaimana kedudukan Keterangan Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam KUHAP, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. KUHAP belum mengatur secara cukup memadai mengenai keterangan ahli sebagai alat bukti yaitu pengaturan keterangan ahli dalam KUHAP masih terlalu singkat dan terbatas cakupannya. 2. Kedudukan pembuktian keterangan ahli bukanlah sebagai bukti yang sempurna melainkan sebagai bukti  bebas (vrij bewijs).  Hakim  tidak  terikat  atau  tidak wajib untuk tunduk pada apa yang dikemukakan dalam keterangan ahli.  Ini sesuai dengan sistem pembuktian negatief-wettelijk yang dianut dalam Pasal183 KUHAP yang mengharuskan  adanya keyakinan hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Kata kunci: keterangan ahli; pembuktian; acara pidana;
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA DALAM PENYIDIKAN DAN PEMERIKSAAN SIDANG PENGADILAN Runtuwene, Maykel
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan alat bukti yang sah serta kekuatan pembuktian dan bagaimanakah kekuatan pembuktian Keterangan Ahli hukum pidana dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang dengan menggunakanmetode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah bagi Penutut Umum merupakan usaha untuk meyakinkan Hakim, bahwa berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan Terdakwa bersalah sesuai dengan surat dakwaan. Bagi Terdakwa dan Penasehat Hukumnya, pembuktian merupakan usaha sebaliknya yakni meyakinkan Hakim berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan Terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Bagi Hakim melalui alat-alat bukti yang sah baik yang berasal dari Penuntut Umum maupun dari Terdakwa dan Penasehat Hukumnya dijadikan dasar untuk membuat keputusan. 2. Keterangan Ahli ialah apa yang Seorang Ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Suatu Keterangan Ahli baru mempunyai nilai pembuktian, bila ahli tersebut dimuka Hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Dengan bersumpah baru mempunyai nilai sebagai alat bukti. Jika Ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah di muka Penyidik maka nilainya sama dengan Keterangan ahli yang diucapkan dalam sidang.Kata kunci: keterangan ahli; penyidikan;
DALUWARSA PENUNTUTAN DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT Makanaung, Andre Valentino
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan pemalsuan surat dalam KUHP dan bagaimana daluwarsa sebagai alasan gugurnya hak menuntut tindak pidana pemalsuan surat, di mana dengan mengunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Tindak pidana pemalsuan surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHPidana mengandung unsur serba objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif: a. Membuat surat palsu; b. Memalsukan surat yang dapat 1) Menerbitkan seseuatu hak 2) Menerbitkan sesuatu perjanjian (perikatan) 3) Menimbulkan pembebasan sesuatu hutang 4) Diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. Unsur subjektif: a. Dengan maksud b. Untuk mengemukakan atau memakai surat itu se-olah-olah asli dan tidak palsu c. Pemakaiana atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. 2. Tindak pidana pemalsuan mengandung batasan waktu menjadikan gugurnya hak untuk mengadakan penuntutan tindak pidana terhadap orang melakukan kejahatan atau pelanggaran dikenal dengan daluwarsa penuntutan karena untuk penuntutan telah gugur karena telah lewat waktu tertentu dan telah memenuhi syarat – syarat. Daluwarsa dihitung menurut hari ; bulan menurut jam dperoleh bila hari terakhir dari jangka waktu yang diperlukan telah lewat.Kata kunci: daluwaesa penuntutan; pemalsuabn surat;
PENGATURAN HUKUM DALAM MEMPEROLEH IZIN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Siby, Jaklyn Ira Makdalena
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yakni untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum mengenai perizinan lingkungan sebagai persyaratan dalam memperoleh izin usaha menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan bagaimanakah pemberlakuan sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran terhadap izin lingkungan,yang dengan menggunakanmetode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan hukum dalam memperoleh izin usaha menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan dan berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. Izin usaha dan/atau kegiatan termasuk izin izin operasi dan izin konstruksi. Perubahan yang dimaksud antara lain, karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat.Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. 2. Pemberlakuan sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran terhadap izin lingkungan  Sanksi administratif terdiri atas: teguran tertulis; paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.  Sanksi administratif sebagaimana tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.Kata kunci: izin usaha; lingkungan hidup;
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DI INDONESIA Rumokoy, Hizkia
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hak, kewajiban, peran masyarakat dan larangan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dan bagaimana penyelesaian sengketa dan sanksi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hak, kewajiban, peran masyarakat dan larangan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman diatur melalui Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman bahwa setiap orang berhak untuk: Menempati, menikmati dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur; Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; Memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berupa keuntungan sebagai dampak dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, antara lain melalui kesempatan berusaha, peran masyarakat dan pemanfaatan hasil pembangunan, dan lain-lain. 2. Penyelesaian sengketa dan sanksi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia diatur pada Pasal 147 sampai 149 UU No. 1 Tahun 2011, bahwa ada 3 (tiga) cara yaitu: Musyawarah untuk mufakat; Penyelesaian sengketa di pengadilan; Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Ketentuan mengenai sanksi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 163 Undang-undnag No. 1 Tahun 2011 baik berupa: Sanksi Administratif, Sanksi Pidana dan Sanksi Tambahan.Kata kunci: Penyelesaian sengketa, penyelenggaraan perumahan, kawasan permukiman.

Page 1 of 2 | Total Record : 20


Filter by Year

2019 2019


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue