cover
Contact Name
Eko Didik Widianto
Contact Email
rumah.jurnal@live.undip.ac.id
Phone
+62248312419
Journal Mail Official
hukumprogresif@live.undip.ac.id
Editorial Address
Doctor of Law, Diponegoro University Imam Bardjo, SH. No.1, Semarang, Central Java, Indonesia
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Hukum Progresif
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 18580254     EISSN : 26556081     DOI : -
Core Subject : Social,
Progressive Law journal is a container and pouring the idea of progressive legal thought. published 2 (two) times a year in April and October. Editors receive, edit and publish manuscripts that meet the requirements. Editors are not responsible for the content of published manuscripts.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007" : 7 Documents clear
Beberapa Catatan tentang Konsep Hukum H.L.A. Hart dalam Buku the Concept of Law Achmad Gunaryo
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.676 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.69

Abstract

H.L.A. Hart adalah seorang pemikir hukum yang paling berpengaruh dalam pemikiran hukum positif. Dalam melihat hukum Hart mengakui bahwa itu tak mungkin bisa didefinisikan secara menyeluruh yang dapat diterima oleh semua. Dia berargumentasi bahwa hukum dapat dimengerti dari persatuan antara aturan-aturan primer dan aturan-aturan sekunder. Persatuan ini, menurut dia, akan menjadi aturan-aturan sosial. Ketika melihat hukum, Hart memposisikan diri sebagai social observer of law. Dia mencoba mengerti dan menerangkan hukum dari pandangan eksternal agar terbebas dari bias dan inward looking. Namun dalam kenyataannya, pandangan eksternal ini hanya digunakan sebagai pengantar terhadap persoalan intinya. Beangsur-angsur pandangan eksternal itu menjadi lenyap dan digantikan sama sekali oleh pandangan internal. Dia mengatakan bahwa hukum harus dilihat “essentially from internal point of view.” Dengan demikian dia tidak konsisten. Ketika dia mengatakan internal point of view, yang dimaksud pada dasarnya adalah officials. Sedangkan yang dimaksud officials adalah pejabat peradilan dalam hal ini adalah hakim. Di sinilah telah terjadi reduksi. Reduksi pertama mengenai sumber hukum. Hakim didudukkan sebagai “the only agent” pembentuk hukum. Meskipun harus berakar pada gabungan antara atruran-aturan primer dan ekunder, namun hakimlah yang memberikan kataakhir apakah aturan primer itu valid atau tidak.
Arsenal Hukum Progresif Satjipto Rahardjo
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3.829 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.1

Abstract

Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.
Keraguan dan Keadilan dalam Hukum Menurut Jacques Derrida (Sebuah Telaah Filosofis) Anton F. Susanto
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4.014 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.97

Abstract

Konsep keraguan keputusan dan keadilan dalam tulisan-ulisan Derrida pada dasarnya sangat anti-sistemik, bahkan hampir bersifat ophoristic, karena membicarakan Derrida adalah kontroversial keseluruhannya, tidak saja karya-karyanya tetapi juga kehidpuan kesehariannya. Pemikirannya mencerminkan semangat, rasa gelisah, dan cemas. Oleh karena itu, ia merasa harus bertindak dengan cara dirinya sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati nurani yang dimilikinya. Hal iniliah mengapa pemikiran Derrida sangat kontroversial di tengah hegemoni paradiga tunggal.
Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif (Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi) Yudi Kristiana
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4.16 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.21

Abstract

Ketidakberhasilan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi antara lain dibebakan oleh pendekatan konvensional yang digunakan birokrasi kejaksaan dalam penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Pendekatan konvensional birokrasi kejaksanaan ditandai dengan karakter yang birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkis dan berlaku sistem komando. Karakter birokrasi kejaksaan ini telah menciptakan peluang terjadinya penyimpangan yang bersembunyi di balik bekerjanya birokrasi. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi birokrasi kejaksaan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan TPK dengan pendekatan hukum progresif yang dilakukan dalam tiga komponen secara sekaligus yaitu kelembagaan, kultur dan substansi hukum.
Analisis Yuridis terhadap Lembaga Penjaminan Kredit Daerah Bagi UMKM Elektison Somi
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (47.03 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.111

Abstract

PP No. 54 tahun 2005, melarang Pemerintah Daerah (Pemda) memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. Di sisi lain, Ipres No. 6 Tahun 2007, menginstruksikan kepada sejumlah institusi dan lembaga terkait termasuk Pemda, untuk melakukan penguatan permodalan bagi UMKM. Kebijakan tersebut mengharuskan peningkatan peran lembaga Penjaminan Kredit bagi UMKM, seperti Perum Pengembangan Sarana Usaha (SPU) dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). Beberapa Daerah, merespon kebijakan tersebut dengan cara mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan menyertakan permodalannya. Terdapat persoalan sinkronisasi aturan antara Inpres dan PP No. 54 Tahun 2005. Bagi pemda yang terlanjur membentuk dan ikut serta menanamkan modal pada LPKD jelas bertentangan dengan ketentuan PP tersebut. Sebaiknya, perlu pembatalan LPKD  yang terlanjur dibentuk oleh suatu Daerah. Adanya semacam LPKD hanya dimungkinkan jika hal itu dilakukan oleh pihak swasta.
Fenomena Peranan Masyarakat dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Sulawesi Selatan dalam Perspektif Hukum Progresif dan Pasal 49 Ayat (1) KUHP Kamri Ahmad
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4.642 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.43

Abstract

Titik balik dari pertentangan antara hukum secara normatif (dalam arti luas) dengan aplikasinya, gerakan massa hanyalah variabel. Gerakan massa tersebut menunjukkan dan menuntut bahwa tidak ada elemen masyarakat yang harus bebas sebagai pengecualian hukum keadilan. Demikian pula, tidak ada elemen masyarakat yang bersifat elementer bilamana hukum ingin diangkat ke tingkat dignity. Sebab semua elemen masyarakat adalah sama kedudukannya pada tingkat hukum yang dignity itu. Inilah salah satu inti hukum progresif. Yang ada dan yang berbeda adalah ada yang mengatur dan ada yang diatur. Artinya hukum itu mengatur yang mengatur demi keteraturan yang diatur dan konsisten pengatur. Apabila yang yang terjadi adalah ketidakaturan yang disengaja berarti terjadi ketidakadilan. Maka secara normatif dalam arti luas, masyarakat memiliki hak eksepsional untuk melindungi diri sendiri. Karena kosensus hukum antara rakyat (masyarakat negara). Negara dan pemerintah tidak boleh terabaikan apalagi tereliminasikan.
Kode Etik Penyelenggara Negara dalam Mewujudkan Good Governance Zudan Arif Fakrulloh
Jurnal Hukum Progresif Vol 3, No 1 (2007): Volume: 3/Nomor1/April/2007
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.172 KB) | DOI: 10.14710/hp.3.1.63

Abstract

Mewujudkan good governance dalam pemerintahan negara Indonesia telah menjadi tujuan yang akan dicapai. Selain itu kegiatan ini juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang ada di negara Indonesia dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai  merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana yang disebabkan oleh praktik bad governance seperti tidak trasparan, rendaghnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga,diskriminasi terhadap stakeholders yang berbeda, dan inefistensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor seringmengaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau ciri-ciri good governance dari lembaga pelaksana. Agar tujuan tersebut tercapai dengan baik, maka diperlukan kode etik penyelenggaraan negara. Kode etik akan menjadi “profesional atantards”, atau “right rule of conduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh penyelnggara negara atau administrator publik.

Page 1 of 1 | Total Record : 7