cover
Contact Name
Muhammad Nur Salim
Contact Email
denmassalim88@gmail.com
Phone
+6281392727084
Journal Mail Official
keteg@isi-ska.ac.id
Editorial Address
Jl. Ki Hajar Dewantara No.19, Jebres, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126, Indonesia
Location
Kota surakarta,
Jawa tengah
INDONESIA
Keteg : Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi
ISSN : 14122065     EISSN : 27146367     DOI : https://doi.org/10.33153/ktg
Core Subject : Art,
The journal is invited to the original article and has never been published in conjunction with another journal or conference. The publication of scientific articles is the result of research from both the external and internal academic communities of the Surakarta Indonesian Art Institute in the Karawitanologi discipline. The scope of distribution, Karawitan Education and Learning; Historical Study and Development of Karawitan; Study on Karawitan; Karawitan Organology Study; Karawitan Aesthetic Study; Karawitan Composition Study.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 15, No 1 (2015)" : 7 Documents clear
VOKAL DALAM KARAWITAN GAYA SURAKARTA (Studi Kasus Kehadiran Kinanthi dalam Gending) S., Suyoto; Timbul Haryono
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1859.539 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2033

Abstract

Dalam karawitan gaya Surakarta terdapat dua unsur penting, yaitu: instrumen dan vokal. Instrumen adalah sumber bunyi yang dapat menimbulkan nada-nada, sedangkan vokal adalah bunyi atau nadanada yang ditimbulkan dari suara manusia.Vokal dalam karawitan dimaksud antara lain: sindhènan, båwå, gerong, senggakan, dan alok, yang kehadirannya tidak lain untuk menambah indahnya sajian karawitan. Dalam vokal juga terdapat dua hal penting yaitu lagu dan teks. Kehadiran teks yang berujud bahasa itu biasanya dalam bentuk tembang atau cakepan yang lain. Kedudukan teks (cakepan) ada kalanya lebih penting dari instrument, atau setidaknya sejajar dengan instrument dalam perangkatgamelan. Seperti misal pada karawitan agamis, keberadaan text adalah lebih penting daripada instrumen. Gending-gending yang menggunakan cakepan khusus, seperti gending karya Mangkunegara IV, yang semuanya tertata, mulai dari båwå sampai pada cakepan gérong.Teks yang digunakan dalamgending tradisi pada umumnya dipilih dari beberapa alternatif karya sastra yang ada, artinya tidak ada keharusan, apalagi kemutlakan dalam penggunaannya, misalnya cakepan tertentu untuk gending tertentu. Hampir 90% teks Kinanthi diakses sebagai cakepan gerongan gending yang memiliki garap vokal. Penggunaan Kinanthi sebagai gérongan sudah barang tentu didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Kinanthi terdiri 6 gatra,2) memiliki guru wilangan setiap gatra 8 suku kata, sehingga dengan gatra, guru wilangan yang genap akan lebih mudah penerapannya ke dalam gending. Selain Kinanthi sebagai cakepan gérong juga digunakan di dalam cakepan båwå, yaitu, båwåSekar Macapat Kinanthi Mintajiwa, laras slendro pathet manyura, båwå Sekar Macapat Kinanthi céngkok Sekar Gadhung, laras slendro pathet manyura. Kinanthi menjadi gending,yaitu:Kinanthi Sandhung, ketawanglaras slendro pathet manyura, Kinanthi Pawukir, ketawang laras slendro pathet manyura, dan Kinanthi Subakastawa, ketawang laras slendro pathet sanga.Sekar Kinanthi juga digunakan untuk ådå-ådå dalam wayangpurwa, untuk palaran dalam klenengan, untuk cakepan sindhènan dalam gending sekar.Kata kunci: Kinanthi, båwå, gérong, dan gending.
AKUSTIKA RESONATOR PADA GAMELAN P., Panggiyo
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1117.623 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2023

Abstract

Hasil penelitian tentang gamelan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Sebagian besar berupa kajian tentang notasi gending, teknik garap ricikan, patet, laras, notasi tembang, gerongan, sindenan dan lain-lain. Namun demikian, penelitian yang secara khusus mengupas perihal bunyi pada gamelanbelum pernah dilakukan sebelumnya. Tulisan ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan bunyi pada gamelan. Terdapat tiga unsur pokok terjadinya bunyi, yakni sumber bunyi, zat penghantar dan indera pendengar. Terkait dengan instrumen gamelan yang memiliki keanekaragaman jenis danbentuk, maka bunyi yang dihasilkan masing-masing instrumen gamelan memiliki perbedaan. Hal ini terkait juga pada salah satu unsur fisik yang dapat dilihat secara kasat mata yakni resonator. Pada hakekatnya cara kerja resonator adalah turut bergetarnya tabung atau kotak resonator, berfungsi memperbesar amplitudo sehingga menimbulkan bunyi yang lebih keras atau nyaring. Proses inilah yang kemudian mengantarkan peneliti ke dalam permasalahan tentang akustika resonator yang terdapat pada masing-masing jenis ricikan gamelan.Kata kunci: akustika, resonator, gamelan.
PROSES AMPLIFIKASI GAMELAN JAWA DALAM PERGELARAN KARAWITAN Iwan Budi Santoso
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1016.986 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2027

Abstract

Pergelaran seni merupakan ajang bagi seniman pertunjukan yang dipertontonkan kepada masyarakat untuk mendapatkan apresiasi. Ketika pergelaran seni di hadirkan kepada masyrakat, biasanya selalumelibatkan berbagai unsur pertunjukan. Unsur-unsur tersebut mempunyai peran dan tanggungjawab yang berbeda-beda. Salah satu unsur pertunjukan adalah hadirnya musik sebagai pendukung pertunjukan seni yang lainnya, atau justru musik hadir sebagai konser mandiri. Peran musik dalam pergelaran seni juga membutuhkan peran unsur lainnya. Unsur tesebut adalah kebutuhan akan adanya proses amplifikasi yang digunakan untuk menguatkan bunyi instrumen musik oleh penata suara. Secara khusus pada kasus pertunjukan musik karawitan yang menggunakan gamelan Jawa selalu banyak kekurangan dalam proses amplifikasi. Hal ini karena kurangnya pemahaman terhadap musikkarawitan dengan gamelan Jawa. Jika musik karawitan dapat dipahami oleh para sound engineer, maka pergelaran seni dengan musik gamelan Jawa akan berhasil dengan baik.Kata Kunci: Pergelaran Karawitan, Gamelan Jawa, amplifikasi.
MUNGGUH DALAM GARAP KARAWITAN GAYA SURAKARTA: SUBJEKTIFITAS PENGRAWIT DALAM MENGINTERPRETASI SEBUAH TEKS MUSIKAL Bambang Sosodoro
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1287.948 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2025

Abstract

Pada hakikatnya, tulisan ini mengkaji sebuah konsep yang terkandung dalam garap karawitan gaya Surakarta, yakni mungguh. Secara prinsip, masyarakat karawitan Jawa memaknai mungguh sebagai persoalan yang menyangkut tentang etika-estetika, nilai-nilai keindahan, dan keidealan pengrawitdalam menyikapi ricikannya. Mulai dari sikap duduk menabuh, teknik memainkan atau menyuarakan instrumen, hingga ke persoalan musikal, yakni garap gendhing atau instrumen. Mungguh adalah bahasa Jawa yang berarti: patut atau pantes, manggon, trep, gathuk, dan penak (pantas, sesuai pada tempatnya, pas, cocok, dan enak). Studi ini mengkaji secara tekstual, yaitu menempatkan karawitan Jawa sebagai sebuah teks (musikal), artinya sesuatu yang perlu dibaca dan ditafsir. Adapun fokusnya adalah menyoroti perkembangan mungguh pada garap, berikut pandangan-pandangan oleh para pengrawit khususnya di Surakarta. Kelenturan jenis musik ini menawarkan sejumlah alternatif garap, maka tidak mengherankan jika muncul banyak perbedaan pandangan, keyakinan, dan selera di antara para pengrawit. Dalam menggarap gendhing “klasik”, sebagian besar pengrawit selalu mempertimbangkan konsep-konsep estetika Jawa, salah satunya ialah mungguh. Mungguh sesungguhnya adalah persoalan kebiasaan, kelaziman garap yang telah mapan, disepakati secara kolektif oleh masyarakat karawitanJawa. Bahkan, sifatnya sangat subyektif dan terikat oleh ruang dan waktu. Untuk mengungkap dan mengkaji konsep mungguh, diperlukan konsep garap. Konsep tersebut dipandang cukup relevan, karena pada hakikatnya mungguh adalah konsep estetika yang selalu melekat dan terkandung dalam konsepgarap itu sendiri. Dalam penerapannya, konsep garap tersebut dielaborasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini, sehingga terwujud sebuah model baru.Kata Kunci: mungguh, garap, subyektifitas.
MEMBANGUN KONSEP NUMPANG: SALAH SATU UNSUR SISTEM PELARASAN GAMELAN AGENG DALAM KARAWITAN JAWA GAYA SURAKARTA Dandun Danurwendo
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (702.858 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2035

Abstract

Tulisan ini menjelaskan salah satu konsep yang terdapat pada masyarakat seniman karawitan tradisi Jawa yaitu konsep numpang. Konsep numpang yang dimaksud merupakan posisi dan interaksi antar nada sehingga menghasilkan toleransi nada pada sistem pelarasan gamelan di Nusantara khususnyagamelan ageng Jawa. Numpang diartikan dengan nada yang timbul dari instrumen gamelan yang lebih tinggi dari nada fundamentalnya. Tulisan ini berusaha memaparkan unsur pembentuk konsep numpang. Konsep numpang pada awalnya teridentifikasi pada pelarasan instrumen rebab. Kemudiansetelah diamati secara seksama, konsep numpang terdapat pada sistem pelarasan gamelan ageng Jawa. Numpang menjadi salah satu unsur sistem pelarasan gamelan ageng Jawa. Unsur dalam konsep numpangsendiri dibagi menjadi dua, yaitu perabot fisik dan perabot non fisik. Pada perabot fisik terdiri dari instrumen berdawai dan instrumen non dawai. Instrumen non dawai yang dimaksud adalah instrumen yang memiliki tangga nada. Pada perabot non fisik terdiri dari tiga sub, yaitu: (a) nada pokok; (b)kepekaan atas pelarasan; (c) karakter pengrawit dan pelaras. Tulisan ini juga memaparkan salah satu contoh penggunaan konsep numpang pada instrumen gender dalam jangkah satu gembyang nada.Kata Kunci: Numpang, sistem pelarasan, Gamelan Ageng Jawa.
TEMBANG MACAPAT DALAM PENGEMBANGAN BENTUK MUSIKALNYA D., Darsono
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.02 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2029

Abstract

Tembang macapat merupakan salah satu karya sastra Jawa yang pernah mengalami jaman keemasan sekitar abad XVIII. Secara instrinsik mengandung dua unsur seni yaitu seni sastra dan seni musik (suara). Dari segi musikalnya, tembang macapat memiliki ciri-ciri di antaranya: lagu dan cengkoksederhana, tempo sedang, perubahan laya mendukung cerita, artikulasi yang jelas, ritme yang mendukung isi dan suasana cerita dan pernapasan diatur sesuai dengan isi kalimat dan tidak memutus kata. Meskipun demikian, sejalan dengan perkembangan seni karawitan, tembang macapat tidak sekedar memenuhi ciri-ciri tersebut, melainkan juga mengalami beberapa pengembangan dari segibentuk dan rasa musikalnya.Kata kunci: pengembangan, musikal, macapat.
KONVENSI-KONVENSI DALAM PEMENTASAN KARAWITAN KLENENGAN TRADISI GAYA SURAKARTA S., Sukamso
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (888.17 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2031

Abstract

Karawitan atau seni gamelan telah ada setidaknya sejak zaman pemerintahan Kerajaan Kediri, hingga sampai dengan pemerintahan Raja Paku Buwono X di Keraton Kasunanan Surakarta seni karawitan telah mencapai bentuknya yang sempurna baik di aspek: wangun (wujud) dan ukuran instrumen, panjang-pendek empuk–atos suara (nada), bentuk gending, garap kendangan, garap cengkok, garap instrumen, serta aturan-aturan dalam penyajian gendingnya. Seni Karawitan Gaya Surakarta sejak dulu sampai sekarang hidup dalam budaya lisan, sehingga sampai sekarang tidak satupun komposisi gending yang ditulis secara partitur. Begitu juga halnya aturan-aturan yang berlaku dalam duniaKarawitan Gaya Surakarta hanya bersifat kesepakatan. Oleh karenanya, perlu diadakan suatu kajian guna mengungkap mengenai aturan-aturan yang berlaku dalam dunia Karawitan Gaya Surakarta. Melalui pendekatan etnomusikologi, pendekatan karawitanologi, pendekatan fungsi, serta pendekatangarap dapat diketemukan, bahwa di dalam pementasan karawitan terdapat aturan-aturan atau konvensi-konvensi yang mengikat dan perlu diperhatikan pengrawit di dalam penggarapan gending.Kata kunci: Karawitan gaya Surakarta, budaya lisan, penggarapan, konvensi.

Page 1 of 1 | Total Record : 7