cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022" : 7 Documents clear
Reformulasi Kewenangan, Kelembagaan, dan Kepegawaian Penghubung Komisi Yudisial: Upaya Penguatan Pengawasan Perilaku Hakim di Daerah Zaki Priambudi; Bima Rico Pambudi; Natasha Intania Sabila
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2906

Abstract

The Judicial Commission is a product of reform that supervises and monitors the judges’ behavior. With time, there has been additional discretionary authority to the Judicial Commission to form liaisoninstitution in the regions if deemed necessary. However, as it turns out, the Judicial Commission Liaison could not carry out his duties optimally as an extension of the Judicial Commission in supervising the judges’ behavior in the regions. Therefore, this article aims to analyze the urgency of reformulation of the Judicial Commission Liaison and how the idea of strengthening the Judicial Commission Liaison could increase the effectiveness of supervision of the judges’ behavior in the regions. This article uses the juridical-normative research method and finds several shortcomings in the Judicial Commission Liaison arrangement, such as the absence of executive authority, the view of being a sub-secretary institution, and inadequate personnels’ recruitment, development, and career systems. To follow up on this problem, this article formulates several efforts to strengthen the Judicial Commission Liaison by adding executive authority, transferring the responsibility of the Judicial Commission Liaison to the Judicial Commission Chair, and improving the personnels’ recruitment, development, and career system. The efforts could start with amendments to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, revisions to the Judicial Commission Law, and insertion to government regulation on the Judicial Commission Liaison.AbstrakKomisi Yudisial merupakan produk reformasi yang berfungsi mengawasi dan memantau perilaku hakim. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat penambahan kewenangan diskresional kepada Komisi Yudisial untuk membentuk lembaga penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan. Namun, dalam perjalanannya, Penghubung Komisi Yudisial tidak dapat menjalankan tugasnya dengan optimal sebagai perpanjangan tangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim di daerah. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis apa urgensi reformulasi Penghubung Komisi Yudisial dan bagaimana gagasan penguatan Penghubung Komisi Yudisial dapat meningkatkan efektivitas pengawasan perilaku hakim di daerah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, artikel ini menemukan bahwa terdapat beberapa kekurangan dalam pengaturan Penghubung Komisi Yudisial seperti tidak adanya kewenangan eksekutorial, kesan sebagai lembaga sub-kesekretariatan, serta sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai yang tidak tepat. Untuk menindaklanjuti permasalahan itu, artikel ini memformulasikan beberapa penguatan Penghubung Komisi Yudisial dengan menambahkan kewenangan eksekutorial, mengalihkan pertanggungjawaban Penghubung Komisi Yudisial kepada Ketua Komisi Yudisial, serta memperbaiki sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai. Penguatan tersebut dilakukan melalui amandemen UUD NRI 1945, revisi UU KY, dan pengaturan Penghubung KY melalui peraturan pemerintah. 
Signifikansi Peran Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif bagi Eksistensi Sistem Single Bar demi Tegaknya Negara Hukum (Significance of the Role of the Executive, Legislative, and Judiciary for the Existence of a Single Bar System to Uphold the Rule of Law) Ramsen Marpaung
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2528

Abstract

The split of the advocates’ organizations in Indonesia has damaged the existence of a single bar system for upholding the rule of law because a weak single bar system can no longer guarantee the quality of advocates who could always uphold the principles of the rule of law. To overcome this, the executive, legislative, and judiciary roles must be optimized so that the policies and decisions regarding this issue would not further divide advocates’ organizations. This article examines the significance of the executive, legislative, and judiciary roles in maintaining the existence of a single bar system to uphold the supremacy of law, equality before the law, and human rights. The writing method used is normative juridical with approaches to laws, cases, comparisons, history, and concepts through library studies for secondary data, then analyzed descriptively and qualitatively. As for the discussion, it is known that the single bar system has been tested for its existence throughout the world. Only a single bar system can realize the advocates’ ideals to counsel quality advocates, which means at the same time guaranteeing fair law enforcement. For this reason, and for the achievement of national development goals especially in the field of law, a comprehensive and coordinated role of the executive, legislative, and judiciary is needed to resolve the split of the advocates’ organizations by returning and strengthening the Indonesian advocates’ organizations to a single bar system based on the Law on Advocates.AbstrakKondisi perpecahan organisasi advokat di Indonesia telah merusak eksistensi sistem single bar terhadap tegaknya rule of law karena bangunan sistem single bar yang lemah tidak dapat lagi menjamin kualitas advokat yang selalu mampu menegakkan prinsip-prinsip negara hukum. Untuk mengatasinya peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus lebih dioptimalkan sehingga kebijakan dan keputusan yang ditetapkan tidak lagi berdampak semakin memperuncing perpecahan organisasi advokat. Artikel ini mengkaji signifikansi peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menjaga eksistensi sistem single bar demi tegaknya supremacy of law, equality before the law, human rights. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan  endekatan undangundang, kasus, perbandingan, sejarah, dan konsep melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa sistem single bar telah teruji eksistensinya di seluruh dunia. Hanya sistem single bar yang dapat mewujudkan cita-cita advokat untuk membentuk advokat yang berkualitas, yang berarti sekaligus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu, demi terealisasinya tujuan pembangunan nasional, khususnya bidang hukum, maka peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara komprehensif dan terkoordinasi sangat diperlukan dalam upaya menyelesaikan perpecahan organisasi advokat dengan mengembalikan dan memantapkan organisasi advokat Indonesia ke sistem single bar sesuai dengan Undang-Undang Advokat.
Hak Pengelolaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk Kepentingan Investasi (Management Rights of Customary Law Communities Ulayat Land for investment purposes) Dian Cahyaningrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2970

Abstract

Ulayat land is of importance to customary law communities. Therefore, customary law communities need to continue controlling and defending it. However, customary land is also expected to be used for investment purposes through management rights originating from customary land. Consequently, this paper examines and aims to determine the regulation and implementation of management rights originating from customary land for investment purposes. This paper has both theoretical and practical uses. By using the normative juridical method, the results of the management rights originating from customary land are determined and must be registered. Communal lands with management rights can partner with investors, and customary law communities continue to control their customary lands after the partnership ends. It differs from ulayat land, whose management rights have not been determined. The ulayat land can work in partnership with investors, but the land will become state land after the land rights expire. Leasing is also impossible because it cannot be applied to ulayat land. Management rights can only be assigned to customary law communities whose existence has been recognized. Thus, local governments should have good intentions and actively make efforts to give recognition to indigenous peoples in their regions. Mapping and recording of customary land need to be continued. To strengthen ulayat rights, a draft law on the protection of the rights of indigenous and tribal peoples also needs to be ratified immediately. AbstrakTanah ulayat sangat berarti bagi masyarakat hukum adat, oleh karenanya penting bagi masyarakat hukum adat untuk tetap menguasai dan mempertahankannya. Namun tanah ulayat juga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan investasi melalui hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat. Untuk itu tulisan ini mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan pelaksanaan hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat untuk kepentingan investasi. Tulisan ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Dengan menggunakan metode  uridis normatif, diperoleh hasil hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan dan wajib didaftarkan. Tanah ulayat dengan hak pengelolaan dapat dikerjasamakan dengan investor dan masyarakat hukum adat tetap menguasai tanah ulayatnya setelah kerja sama berakhir. Beda halnya dengan tanah ulayat yang belum ditetapkan hak pengelolaannya. Tanah ulayat tersebut dapat dikerjasamakan dengan investor, namun menjadi tanah negara setelah hak atas tanahnya berakhir. Sewa menyewa juga tidak dimungkinkan berlaku untuk tanah ulayat. Hak pengelolaan hanya dapat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat yang telah diakui keberadaannya. Untuk itu pemerintah daerah sebaiknya beritikad baik dan aktif melakukan upaya memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di daerahnya. Pemetaan dan pencatatan tanah ulayat perlu terus dilakukan. Untuk memperkuat hak ulayat, rancangan undang-undang tentang pelindungan terhadap hak masyarakat hukum adat juga perlu segera disahkan.
Politik Hukum Kemudahan Berusaha dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (The Legal Politics of Ease of Doing Business Concepts in Law Number 11 of 2020 on Job Creation) Ubai - Yana; Akhmad Haris Supriyanto; Fajrul - Falah
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2629

Abstract

After the issuance of Law Number 11 of 2020 on Job Creation (UU CK) which contains the principle of ease of doing business, many people have given a negative response to the regulation. One of the content of the most controversial norms is the decrease in the power of amdal, the loss of the power of environmental permits, and the formulation of other articles that also weaken efforts to protect and manage the environment. In order to maximize the effectiveness of the law, this study seeks to answer and elaborate in depth what the concept of ease of doing business actually means and how the legal politics occurred in establishing this principle. The research method used in this research is a normative legal research method with a statutory approach and a conceptual approach. The results of this study indicate that the concept of ease of business is introduced to show the positive and negative aspects of a country’s economic life that affect the development of the business environment. Meanwhile, the legal politics that includes the ease of doing business in the CK Law is a responsive law that stands according to the needs of the nation and state, realizing economic transformation, increasing investment, and opening up as many jobs as possible. The recommendation from this research is that the central and local governments need to coordinate in implementing the policy packages that have been regulated and monitoring evaluations on a regular basis. AbstrakSetelah diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang memuat asas kemudahan berusaha, banyak kalangan yang memberikan respon negatif terhadap peraturan tersebut. Salah satu muatan norma yang paling kontroversial adalah menurunnya kekuatan amdal, hilangnya kekuatan izin lingkungan, serta rumusan pasal lain yang turut melemahkan upaya pelindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup. Dalam rangka memaksimalkan efektivitas dari UU tersebut, penelitian ini berusaha menjawab dan menguraikan secara mendalam apa sebenarnya maksud dari konsep kemudahan berusaha serta bagaimana politik hukum yang terjadi dalam penetapan asas ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kemudahan berusaha dikenalkan untuk menunjukkan aspek positif dan negatif kehidupan ekonomi suatu negara yang berpengaruh terhadap perkembangan lingkungan bisnis. Sementara itu, politik hukum dimuatnya kemudahan berusaha dalam UU CK adalah sebagai hukum responsif yang berdiri sesuai kebutuhan bangsa dan negara, mewujudkan transformasi ekonomi, meningkatkan investasi, dan membuka sebesarbesarnya lapangan pekerjaan. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dalam mengimplementasikan paket-paket kebijakan yang telah diaturdan melakukan monitoring evaluasi secara berkala.
Pengaturan Izin Penyadapan oleh KPK Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 (Wiretapping Permit Regulation by KPK After the Constitutional Court Decision No. 70/PUU-XVII/2019) Puteri Hikmawati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2969

Abstract

Based on the Constitutional Court (CC) Decision No. 70/PUU -XVII/2019 regarding the review of Law No. 19 of 2019, KPK investigators will notify their wiretapping only to the Supervisory Board. The CC Decision has been in the spotlight because the previous CC Decision stated a need for an authority to grant wiretapping permits. Therefore, the question arises on how to regulate wiretapping permits by the KPK after the CC Decision No. 70/PUU -XVII/2019. Based on that, the problems discussed in this article are, first, what is the legal politics of wiretapping permits?  Second, what is the provision for wiretapping for KPK? Third, what kind of provisions for wiretapping permits would be in the future? Several laws governing wiretapping permits are discussed using a qualitative normative juridical research method. The decision creates legal uncertainty. Wiretapping without permission from the authority by the KPK has caused a polemic regarding its legitimacy. At present, special arrangements for wiretapping do not exist. The Draft of the Criminal Procedure Code, which was discussed previously, had provisions for wiretapping but has not yet continued to be discussed by the DPR RI and the government. In the meantime, a court order is required for investigators who will conduct wiretapping in the Draft on Wiretapping, including KPK investigators. Therefore, it is recommended that the Draft on Wiretapping be a priority for discussion by the DPR RI and the government. AbstrakBerdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, Penyidik KPK hanya memberitahukan penyadapan yang dilakukan kepada Dewan Pengawas. Putusan MK tersebut menjadi sorotan karena Putusan MK terdahulu mengatakan perlu adanya otoritas yang memberikan izin penyadapan. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana pengaturan izin penyadapan oleh KPK pasca Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019. Berdasarkan hal itu, permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah pertama, bagaimana politik hukum pengaturan izin penyadapan?; kedua, bagaimana ketentuan izin penyadapan oleh KPK; dan ketiga, bagaimana pengaturan ketentuan izin penyadapan di masa yang akan datang?. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, dibahas beberapa undang-undang yang mengatur izin penyadapan secara berbeda. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Penyadapan tanpa izin oleh KPK menimbulkan polemik mengenai keabsahannya. Sementara pengaturan khusus penyadapan sampai saat ini belum ada. RUU KUHAP yang sempat dibahas memuat ketentuan penyadapan, tetapi belum dibahas kembali oleh DPR RI dan Pemerintah. Sementara itu, dalam RUU tentang Penyadapan adanya penetapan pengadilan merupakan persyaratan bagi penyidik yang akan melakukan penyadapan, termasuk KPK. Oleh karena itu, disarankan RUU tentang Penyadapan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI dan Pemerintah.
Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Hukum terhadap Para Ulama (The Urgency of Making the Law on Legal Protection for the Ulema) Muhammad Hasan Rumlus
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2771

Abstract

This article responds to the importance of making a firm and comprehensive law in providing legal protection for the ulema. This problem arises from the lack of clarity in the current regulations regarding the protection in carrying out the teachings of a religion, especially the teachings of Islam. Indonesia does not have any law that specifically regulates efforts to tackle crimes against the ulema. This paper will discuss the urgency of making the law on legal protection for the ulema and crime prevention policies for the ulema in Indonesia. The research method used is normative juridical research, focusing on studying the application of norms in positive law in Indonesia. The regulation regarding the legal protection for the ulema is still not clear or explicit. The rules used related to the protection of the ulema still rely on Article 156 of the Criminal Code and Article 22 of Law No. 39 of 1999 on Human Rights. Those Articles are still felt to be ineffective. Therefore, it is deemed necessary to immediately ratify a separate law relating to the legal protection of the ulema to provide safety guarantees and protection for the ulema in carrying out Islamic teachings or preaching. AbstrakArtikel ini menjawab pentingnya penetapan undang-undang yang tegas sekaligus komprehensif dalam memberikan perlindungan hukum terhadap ulama. Persoalan ini muncul dari adanya ketidakjelasan dalam regulasi saat ini yaitu mengenai keamanan atas menjalankan ajaran suatu agama khususnya ajaran agama Islam. Sejauh ini, Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur secara khusus upaya untuk menanggulangi kejahatan kepada para ulama. Tulisan ini akan membahas tentang urgensi pembentukan Undang-Undang Perlindungan kepada Ulama dan kebijakan penanggulangan kejahatan kepada para ulama di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian dengan fokus kajian mengenai penerapan norma-norma dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap ulama masih belum jelas atau eksplisit. Aturan yang digunakan berkaitan dengan perlindungan pada ulama masih menggunakan Pasal 156 KUHP dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi  Manusia. Pasal tersebut masih dirasakan kurang efektif. Oleh sebab itu, dipandang perlu segera disahkan Undang-Undang tersendiri yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap para ulama sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada para ulama dalam menjalankan ajaran Islam (berdakwah).
Dampak Hukum Penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (Legal Impact of Abolishing Article 20 of Law No. 13 of 2016 on Patent) Trias Palupi Kurnianingrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 13, No 1 (2022): JNH VOL 13 NO 1 JUNI 2022
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v13i1.2967

Abstract

The abolition of Article 20 of Law No. 13 of 2016 on Patent (Patent Law) related to the obligations of patent holders after the enactment of Law No. 11 of 2020 on Job Creation has caused debate. The debate is not without reason because removing the patent holder’s obligation to make products or use processes in Indonesia will indirectly reduce technology transfer, investment absorption, and/or employment. This article uses a normative juridical method to discuss the background of the abolition of Article 20 of the Patent Law and its legal consequences. In the discussion, it is stated that the background to the abolition of Article 20 of the Patent Law was influenced by several reasons, including flexibility in the obligation to make products or use processes in Indonesia, discrimination in Article 27 paragraph (1) of the TRIPS Agreement, violation of Article 20 of the Patent Law which resulted in the revocation of patents, and raw material difficulties. Removing Article 20 of the Patent Law is considered a non-solution because of the various legal consequences that arise from health and business aspects to the potential to create disharmony in the rules. It is necessary to revise the Patent Law to create legal certainty for patent holders who wish to register their patents or transfer their rights through licenses both in Indonesia and abroad. AbstrakPenghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) terkait kewajiban pemegang paten pasca diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menimbulkan perdebatan. Hal ini bukannya tanpa sebab dikarenakan dengan menghapus kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia secara tidak langsung akan menghilangkan transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif membahas latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dan akibat hukum di dalamnya. Dalam pembahasan disebutkan bahwa latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dipengaruhi oleh beberapa sebab di antaranya: fleksibilitas kewajiban membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, diskriminasi Pasal 27 ayat (1) Perjanjian TRIPS, pelanggaran Pasal 20 UU Paten yang berakibat pada pencabutan paten, serta kesulitan bahan baku. Menghapus Pasal 20 UU Paten dianggap bukan merupakan solusidikarenakan beragamnya akibat hukum yang ditimbulkan mulai dari aspek kesehatan, bisnis, hingga berpotensi menciptakan ketidakharmonisan aturan. Diperlukan adanya revisi UU Paten guna menciptakan kepastian hukum bagi pemegang hak yang ingin mendaftarkan patennya atau yang ingin melakukan pengalihan hak melalui lisensi baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Page 1 of 1 | Total Record : 7